Kemana-mana selalu begitu. Bahkan di tempat wisata kekinian juga. Sarung dan kopyahnya selalu menempel. Seakan menegaskan pada dunia: ini sarung. Ini kopyah. Kiai-kiai jaman dulu selalu mengenakannya dimanapun berada. Sarung mbah wahab. Sarung mbah hasyim. Ikut mendukung kemerdekaan kita: di tahun 45. Dia lalu mengambil sebatang rokok. Setelah sebelumnya bersikap sok kuat kalau sudah tidak merokok. Dasar! Kami banyak bercerita malam itu. Di warung kopi depan tempat dia mondok, di langitan, Tuban. Sampai larut sekali. Pertemuan itu sempat diwarnai kopi yang tumpah. Suara truk-truk besar yang lewat. Analisa politik dan keislaman hari ini. Lalu suara hatinya tentang perempuan yang belum bisa lepas dari hari-hari yang terus berlalu. "Muqollibal quluub" atau bolak-baliknya hati. Kami mendapatkan kalimat itu ditengah kopi yang terus menerus kami sruput. Mengenang masa indah dan kacaunya kami di SMA. Berpacaran dengan perempuan di jurusan yang sama. Dan mengalami kegalauan an...
Aku Berkelana dalam kata dan dalam nyata. Maka, Aku Ada!