Kami kebetulan lahir di bulan yang sama. Barangkali juga dengan pikiran yang sama. Bahwa laut adalah ibu, dimana kita bisa menitipkan segala lelah dan semua doa disana.
"Pak, arah ten wediombo pundi?"
"Tasek mriko, Mas. Mantun jembatan belok ngiri"
Ya. Kami berangkat terlalu malam. Tepatnya setelah isyak kami baru berangkat. Padahal perjalanan jogja - wediombo memakan waktu 2 jam lebih. Itupun masih ditambah saya yang hobi lupa jalan dan Ridlo yang belum pernah kesana.
Tapi Tuhan memang bersama Traveler. 2 jam 30 menit berlalu akhirnya kami sampai disana. Bermodal seadanya: tenda butut, gitar, beberapa bungkus mie rebus, dan kompor agak rusak. Kita siap bertamu di daerah kekuasaan Neptunus.
Sesampai disana pun langit sudah terlalu gelap. Itu juga yang akhirnya membuat kami tidak jadi melangkahkan kaki 1 jam 30 menit lagi ke pantai sedahan atau pantai greweng. Ya. Kami memilih pantai wediombo saja. Masih merupakan satu keinginan saya yang akhirnya terpenuhi untuk bisa mantai antara sedahan dan Greweng.
Motor pun kami parkir di salah satu rumah penduduk. Lalu kami melangkahkan kaki mencari spot tenda di pantai yang jauh dari bangunan fasilitas pantai. Yup. Biar suasana alamnya lebih terasa.
Akhirnya tenda terpasang. Meski agak reot. Senter sudah dibungkus kresek. Barang-barang sudah ditata. Saatnya kaki kami slonjorkan. Beralas pasir. Memandang gugusan bintang. Mendengar debur ombak menghambur karang.
Lagu pertama pun mengalun dari Hape Len*v* butut. Skid Row dengan cadas menyanyikan Youth Gonna Wild. Pas untuk alam sebagai pembuka malam!
Mie rebus kemudian kami remas. Ditabur bumbu. Diaduk rata. Digoyang-goyang bungkusnya. Dihidangkan lah diatas piring. Garingan. Ya. Kami masih cukup kenyang.
"Lha Kopine?"
"Iki loh otewe"
Saatnya gitar ambil bagian. Musisi kita (Ridlo) memasang kuda-kuda di jari jemarinya. Mulailah meluncur dengan syahdu lagu 'Kali Code', 'Orang-orang di jalanan', 'Hari ini kita bersama', sampai mematangkan lagu untuk perform besok dari puisi Paman Khamid: Anak-anak bukan Semen.
Ya. Tentu saja sambil kami ngobrol ngalor ngidul. Tentang Vokalis band keren yang banyak meninggal di usia 27. Tentang orang-orang gunung kidul yang banyak menikmati malam penghujung agustus di luar rumah sambil berkumpul ramai. Tentang hari lahir kita di bulan agustus. Masa kecil. Tentang jalanan, lautan, dan obrolan khas lelaki : Ya. Perempuan.
Sampai malam benar-benar jatuh. Kami sudah bernyanyi sambil teriak-teriak. Menghisap rokok berbatang-batang. Membicarakan banyak kebusukan. Mendengarkan lagu-lagu Rock cadas terbaik 80'an. Hingga kantuk datang. Menerjang.
"Jancuk. Udan"
Resleting tenda kami rusak. Hujan semakin deras. Akhirnya tali rambut kami jadikan pengikat kain biar air tidak menghabisi alas tenda. Hujan semakin menjadi-jadi. Tapi lagi-lagi Tuhan bersama para petualang: Tenda reyot yang diikat tali rambut menyelamatkan kami. Syukurlah!
Dan kami tertidur. Diiringi suara hujan yang mengguyur dan ombak yang berdebur.
...
"Woi tangi dlo, banyune nyampek ngarep tendo"
"Wah, iyo e. Assem tenan!"
Hari masih terlalu pagi(?). Jam setengah 7. Dengan mata agak berat tenda kami angkat kebelakang. Sambil mengucek mata pelan-pelan, kami tersadar: Meski tenda kami hampir disapu ombak, pemandangan berkata lain: Ya. laut sedang cantik-cantiknya.
Karang, siluet pagi, ombak, gugusan bukit, dan cakrawala merupa puisi yang belum sempat tertuliskan
Tapi ada yang lebih penting dari itu, cacing di perut juga sudah mulai berontak. Ya. Kali ini waktunya mie rebus dan kopi pagi ambil bagian.
"Kompor agak rusak, menyalalah"
"Wuush"
Eureka. Kompor menyala. Mie instan kami ceburkan ditambah makanan kaleng sayur asam sebagai campuran. Harum sedap bumbu mulai tercium. Masakan matang. Selamat makan Neptunus!
Dan kita selalu menjadi kanak-kanak di hadapan laut. Berlari, berenang, berteriak, menungu hempasan ombak datang, berguling diatas pasir, berteriak lagi, melompat, tiduran, memandang cakrawala, menarik nafas panjang, membuangnya lepas, menarik nafas lebih panjang lagi, lalu berteriak lepas. Sungguh, laut benar-benar penerima segala.
Kami lalu bersandar di batang-batang pohon besar, yang menjorok ke laut. Menyanyi lagi, menghisap rokok lagi. Lagu 'Anak-anak bukan semen' dan 'Orang-orang di jalanan' semakin matang dimainkan oleh Ridlo.
Kami begitu menikmati suasana itu. Dua anak muda yang percaya bahwa laut akan memberimu semangat yang lebih cadas seperti ombak yang menghantam ganasnya karang sembari kami juga berkontemplasi dengan suara angin, ombak, lagu john lennon, bob dylan, dan rolling stone yang menjadi satu.
Penghujung Agustus dan Laut telah sedikit banyak memberi hadiah kami. Pun kami bernyanyi lagi. Lalu berkemas. Berjalan lagi. Menuju pulang. Sambil mengingat malam lalu masuk kawasan pantai tanpa biaya retribusi, mencari tempat untuk memantapkan lagu, dan nekat besok akan datang ke rumah neptunus lagi. Tentu dengan pantai yang lebih tak terjamah.
Selamat ulang tahun, Laut. Terus mengombak. Terus abadi!
Diketik dengan Hape. Kereta. Menuju Jakarta. Awal september 2016.
"Pak, arah ten wediombo pundi?"
"Tasek mriko, Mas. Mantun jembatan belok ngiri"
Ya. Kami berangkat terlalu malam. Tepatnya setelah isyak kami baru berangkat. Padahal perjalanan jogja - wediombo memakan waktu 2 jam lebih. Itupun masih ditambah saya yang hobi lupa jalan dan Ridlo yang belum pernah kesana.
Tapi Tuhan memang bersama Traveler. 2 jam 30 menit berlalu akhirnya kami sampai disana. Bermodal seadanya: tenda butut, gitar, beberapa bungkus mie rebus, dan kompor agak rusak. Kita siap bertamu di daerah kekuasaan Neptunus.
Sesampai disana pun langit sudah terlalu gelap. Itu juga yang akhirnya membuat kami tidak jadi melangkahkan kaki 1 jam 30 menit lagi ke pantai sedahan atau pantai greweng. Ya. Kami memilih pantai wediombo saja. Masih merupakan satu keinginan saya yang akhirnya terpenuhi untuk bisa mantai antara sedahan dan Greweng.
Motor pun kami parkir di salah satu rumah penduduk. Lalu kami melangkahkan kaki mencari spot tenda di pantai yang jauh dari bangunan fasilitas pantai. Yup. Biar suasana alamnya lebih terasa.
Akhirnya tenda terpasang. Meski agak reot. Senter sudah dibungkus kresek. Barang-barang sudah ditata. Saatnya kaki kami slonjorkan. Beralas pasir. Memandang gugusan bintang. Mendengar debur ombak menghambur karang.
Lagu pertama pun mengalun dari Hape Len*v* butut. Skid Row dengan cadas menyanyikan Youth Gonna Wild. Pas untuk alam sebagai pembuka malam!
Mie rebus kemudian kami remas. Ditabur bumbu. Diaduk rata. Digoyang-goyang bungkusnya. Dihidangkan lah diatas piring. Garingan. Ya. Kami masih cukup kenyang.
"Lha Kopine?"
"Iki loh otewe"
Saatnya gitar ambil bagian. Musisi kita (Ridlo) memasang kuda-kuda di jari jemarinya. Mulailah meluncur dengan syahdu lagu 'Kali Code', 'Orang-orang di jalanan', 'Hari ini kita bersama', sampai mematangkan lagu untuk perform besok dari puisi Paman Khamid: Anak-anak bukan Semen.
Ya. Tentu saja sambil kami ngobrol ngalor ngidul. Tentang Vokalis band keren yang banyak meninggal di usia 27. Tentang orang-orang gunung kidul yang banyak menikmati malam penghujung agustus di luar rumah sambil berkumpul ramai. Tentang hari lahir kita di bulan agustus. Masa kecil. Tentang jalanan, lautan, dan obrolan khas lelaki : Ya. Perempuan.
Sampai malam benar-benar jatuh. Kami sudah bernyanyi sambil teriak-teriak. Menghisap rokok berbatang-batang. Membicarakan banyak kebusukan. Mendengarkan lagu-lagu Rock cadas terbaik 80'an. Hingga kantuk datang. Menerjang.
"Jancuk. Udan"
Resleting tenda kami rusak. Hujan semakin deras. Akhirnya tali rambut kami jadikan pengikat kain biar air tidak menghabisi alas tenda. Hujan semakin menjadi-jadi. Tapi lagi-lagi Tuhan bersama para petualang: Tenda reyot yang diikat tali rambut menyelamatkan kami. Syukurlah!
Dan kami tertidur. Diiringi suara hujan yang mengguyur dan ombak yang berdebur.
...
"Woi tangi dlo, banyune nyampek ngarep tendo"
"Wah, iyo e. Assem tenan!"
Hari masih terlalu pagi(?). Jam setengah 7. Dengan mata agak berat tenda kami angkat kebelakang. Sambil mengucek mata pelan-pelan, kami tersadar: Meski tenda kami hampir disapu ombak, pemandangan berkata lain: Ya. laut sedang cantik-cantiknya.
Karang, siluet pagi, ombak, gugusan bukit, dan cakrawala merupa puisi yang belum sempat tertuliskan
Tapi ada yang lebih penting dari itu, cacing di perut juga sudah mulai berontak. Ya. Kali ini waktunya mie rebus dan kopi pagi ambil bagian.
"Kompor agak rusak, menyalalah"
"Wuush"
Eureka. Kompor menyala. Mie instan kami ceburkan ditambah makanan kaleng sayur asam sebagai campuran. Harum sedap bumbu mulai tercium. Masakan matang. Selamat makan Neptunus!
Dan kita selalu menjadi kanak-kanak di hadapan laut. Berlari, berenang, berteriak, menungu hempasan ombak datang, berguling diatas pasir, berteriak lagi, melompat, tiduran, memandang cakrawala, menarik nafas panjang, membuangnya lepas, menarik nafas lebih panjang lagi, lalu berteriak lepas. Sungguh, laut benar-benar penerima segala.
Kami lalu bersandar di batang-batang pohon besar, yang menjorok ke laut. Menyanyi lagi, menghisap rokok lagi. Lagu 'Anak-anak bukan semen' dan 'Orang-orang di jalanan' semakin matang dimainkan oleh Ridlo.
Kami begitu menikmati suasana itu. Dua anak muda yang percaya bahwa laut akan memberimu semangat yang lebih cadas seperti ombak yang menghantam ganasnya karang sembari kami juga berkontemplasi dengan suara angin, ombak, lagu john lennon, bob dylan, dan rolling stone yang menjadi satu.
Penghujung Agustus dan Laut telah sedikit banyak memberi hadiah kami. Pun kami bernyanyi lagi. Lalu berkemas. Berjalan lagi. Menuju pulang. Sambil mengingat malam lalu masuk kawasan pantai tanpa biaya retribusi, mencari tempat untuk memantapkan lagu, dan nekat besok akan datang ke rumah neptunus lagi. Tentu dengan pantai yang lebih tak terjamah.
Selamat ulang tahun, Laut. Terus mengombak. Terus abadi!
Diketik dengan Hape. Kereta. Menuju Jakarta. Awal september 2016.
Comments
Post a Comment