![]() |
Design by Canva |
Ia memiliki nama yang jarang dijumpai di antara anak-anak seumuran kami. Saya bertemu dengannya pertama kali di masa sekolah menengah. Saya cukup terkesan dengan sosoknya yang berjalan sebelum kami saling berhadapan. Bentuk wajah dan rambut ikal yang cocok, tangannya yang memegangi rokok dengan terampil, serta celana pendek dan kaosnya yang kusam tapi nampak pantas dikenakan. “Peter,” ucapnya sambil kami saling menjabat tangan.
Saya lupa kota ia berasal. Namanya cukup sulit. Untuk memudahkannya, saya biasa mengingatnya dengan sebutan Peter dari Sarajevo. Kalau tidak salah nama kotanya mirip dengan itu. Toh kami juga jarang terlibat pembicaraan yang membahas nama rumit wilayah tempat kami dilahirkan masing-masing.
Peter awalnya cukup membuat saya terkesan karena dia bisa memainkan alat musik yang aneh-aneh. Pernah sekali waktu Ia membawa instrumen tiup dari kulit kerang, lalu tetabuhan India yang mirip kendi bolong, serta seruling Cina yang lebih cocok untuk dimainkan dengan ular kobra di atraksi pasar malam bersama pertunjukan bocah ajaib. Yang saya ingat, bebunyian yang dikeluarkan instrumen-instrumennya kadang terasa ganjil jika tidak dibarengi alat musik lain untuk melengkapi nadanya.
Pokoknya Ia ketika memainkan alat-alat musik aneh itu rasanya seperti ada karakter kuat yang tiba-tiba hadir di sekeliling. Namun yang paling mengesankan saya tentu saja adalah ketika Ia bernyanyi dan bermain gitar. Suara vokalnya bukan tipikal yang enak dan merdu, tapi terdengar pantas dan memiliki daya tarik tersendiri. Dan ketika jari-jarinya memetik gitar, terlihat begitu lihai dan senar-senarnya seperti mengikuti suasana yang Ia kehendaki. Saya biasa menyebutnya ‘Si Tangan Ghaib’ untuk ketrampilannya ini.
“Aku terkadang tidak yakin dengan semua ini,” ucap Peter tiba-tiba ketika kami berdua membicarakan topik musisi dan musik-musik yang keren di kedai kopi milik Pak Burhan di dekat dermaga.
Saat itu kurang lebih kami sudah saling akrab sejak Tujuh tahun dari pertemuan kami yang pertama. Obrolan kami pun yang awalnya santai dan menyenangkan kemudian beralih sedikit suram dan sendu.
“Ini kan ungkapan orang yang pesimis dan kurang sabar saja,” sahutku sambil menyeruput kopi yang rasanya tidak enak sejak masih utuh tadi, rasa kopi dan gulanya seperti tidak menyatu.
Peter terdiam sebentar. Ia lalu menyulut rokoknya dengan gaya pedagang yang cemas karena toko yang baru dibukanya terletak di tempat yang sepi pembeli. Setelah asap yang Ia hisap puas memenuhi paru-paru dan dilepasnya dengan penuh penghayatan, Ia menjawab dengan pilu, “Sebab rasanya aku tidak selalu bisa mengendalikan momen yang berpihak padaku.”
Percakapan semacam ini beberapa kali hadir di tengah topik beragam yang kami obrolkan. Terkadang Ia hadir setelah kami saling membicarakan tentang perempuan kami masing-masing, pembicaraan harga cabai yang dicurangi, serta obrolan khas rakyat jelata yang mengutuk negara menjalankan pemerintahannya dengan permainan yang sudah diaturnya sedemikian rupa.
Ada saat ketika kami cukup lama tidak bertemu terkadang membuat saya melamunkannya. Saya beranggapan bahwa Peter sebenarnya memiliki bakat musik dan penciptaan seni yang alami. Ia bahkan memiliki karakter yang musikal dalam laku kesehariannya. Entah saat bercanda, mengulas topik, atau melakukan sesuatu. Kesannya Ia memiliki iramanya tersendiri. Sekali waktu ia memulainya dengan nada mayor dan berakhir di minor, terkadang sebaliknya, dan tidak jarang juga ia menggunakan progresi aneh kontradiksi mayor-minor yang biasa ia mainkan dalam karya-karya komposisinya.
Sekali waktu ada juga saat ketika saya bersama pacar saya juga membicarakannya. Kami bertiga memang sudah saling akrab. Tidak jarang kami juga terlibat dalam pertunjukan seni yang memerankan kemampuan kami masing-masing. Pacar saya menganggap Peter seringkali terlalu rendah hati, mengalah, dan tidak segera menunjukkan kemampuan luar biasanya yang alami.
“Itu juga termasuk dalam hubungan asmaranya,” kata pacar saya.
Mendengar pendapatnya itu saya sedikit-banyak setuju. “Peter harusnya lebih dari semua proses yang kini sedang Ia jalani,” balas saya.
Tapi tentu saja kami tidak banyak membicarakannya. Saya dan pacar saya kembali ke momen kemesraan kami. Menghitung bintang-bintang dan meskipun kami berdua pasti tidak bisa menghitungnya tetap saja jumlah bintang itu semua tidak bisa mengalahkan cinta kami.
Setelah nyaris Dua Belas tahun saling kenal, saya menyimpulkan pada dasarnya Peter dari Sarajevo itu memang orang yang menyenangkan. Ia adalah teman mengobrol yang tidak pernah membosankan dari dulu. Atau sebenarnya Ia pernah juga membosankan tapi saya tidak ingat.
Ia juga orang yang berjasa mengenalkan lagu-lagu yang sering berada di luar radar pendengaran saya. Tidak jarang saya lebih menyukai lagu-lagu itu ketika ia yang menyanyikannya daripada versi penyanyinya yang asli. Peter mampu membuat lagu yang ajaib dengan chord yang sederhana. Peter yang begitu unik dengan ide, gagasan, dan rencananya yang besar tapi begitu rendah hati dengan dirinya sendiri.
“Barangkali kelak, lagu-lagu yang kita ciptakan berakhir dengan adegan yang mengharukan,” ucap Peter saat kami sedang nongkrong bersama anak-anak di dekat Pura yang sesajen dan dupanya masih terlihat baru. Kami pun seketika menyimaknya untuk melanjutkan kalimat itu. “Adegannya kita sudah begitu tua dan terbaring lemas sampai tidak bisa lagi menggerakkan sendi-sendi tubuh. Lalu anak-cucu kita hadir di sana, mereka dengan riang menyanyikan lagu yang pernah kita ciptakan. Kita begitu bahagia dan haru mendengarnya, sampai-sampai kita hanya bisa meneteskan air mata untuk mengekspresikan itu semua.”
Setelahnya, kami semua tertawa mendengarkan omongan Peter yang keren itu. Meskipun sedikit-banyak akhirnya terdiam dan merenung juga saat beranjak pulang ke rumah masing-masing sembari memikirkan apa yang diucapkannya.
Rasanya, hidup dan mati mungkin pada dasarnya memang biasa saja. Namun selalu saja ada yang indah di antara jarak keduanya yang tak terperkirakan itu. Seperti saat ini. Setelah sekian tahun berlalu. Peter akhirnya menetap di Sarajevo. Namun Ia masih sering bolak-balik ke kota ini. Kami juga masih sering bertemu. Ia terkadang bercerita tentang studionya, tentang keluarga, juga tentang rencana kami yang masih terus berlanjut. Namun di tengah obrolan itu masih saja selalu terselip pembicaraan harga cabai yang mahal, negara yang pemerintahannya sudah seharusnya diganti, dan kegelisahan a-b-c-d yang ditutup dengan tawa yang meskipun nada dasarnya sudah diturunkan, rasanya masih tetap sama dengan irama masa muda dulu.
Yogyakarta, Akhir Maret, 2023
Comments
Post a Comment