Langit masih gelap. Ribuan orang berbondong-bondong mengenakan pakaian yang semarak dan outfit lari yang lengkap. Mereka semua, dan saya juga, ini rasa-rasanya termasuk sebagian besar orang-orang yang rela tidur sebentar, menempuh perjalanan jauh, berlatih cukup keras, berharap-harap cemas saat undian acak kelolosan, dan mengeluarkan biaya untuk menyakiti diri sendiri demi berlari puluhan kilometer.
Saya berjalan beriringan bersama yang lain menuju garis start. Ada suasana haru, merinding, cemas, bangga, bahagia, dan semangat yang bercampur di sana, seperti potongan perasaan yang melebur halus dan lembut dalam blender jiwa. Sembari melewati jalanan aspal di kompleks candi, rindang pepohonan, dan basah rerumputan setelah hujan, saya mencoba mengingat bagaimana ini semua dimulai.
Saat itu, akhir tahun 2022. Saya mencoba berlari menggunakan aplikasi pengukur waktu, jarak, dan kecepatan dari Nike. Sebelumnya, setelah saya mengalami gejala covid-19 dan mengisolasi diri dua minggu bersama karya-karya Haruki Murakami, saya mencoba memutuskan akan rutin berolah raga. saya mulai berlari dengan jarak 2 kilometer dan dilanjut jalan kaki 2 kilometer dari tempat saya tinggal di Wirobrajan sampai ujung pertigaan jalan dan kembali lagi. Namun, itu tidak berhasil rutin. Selalu saja ada alasan. Sampai waktu ketika saya menginstal aplikasi itu, bersamaan dengan saya yang merasa seperti diberi pelajaran dan tamparan keras juga dari apa yang ditulis Haruki Murakami dalam What I Talk When I Talk about Running lembar ke 42.
“Bagiku, berlari setiap hari sudah seperti garis hidup. Jika aku terbiasa menggunakan sibuk sebagai alasan untuk tidak berlari, aku tidak akan pernah berlari lagi. Aku hanya punya sedikit alasan untuk berlari, tetapi punya segudang alasan untuk berhenti. Semua yang perlu kulakukan hanyalah memoles yang sedikit itu dengan baik”, tulisnya.
Pada tahun 2023-2024, saya kemudian mulai menikmatinya. Saya mencoba lari di berbagai rute, mengkombinasikan latihan jarak jauh dan jarak pendek, menjalani semacam wisata kecil berlari di tempat-temat yang saya kunjungi, dan membeli beberapa kaos lari, celana, tas pinggang, jam tangan, dan sepatu. Saya sebenarnya tidak cukup percaya diri menyebut ini sebagai investasi, rasanya saya hanya meyakini kalau beberapa hal ini akan menopang aktifitas lari harian menjadi lebih nyaman dan menyenangkan.
Saya juga menyempatkan ikut event lari di beberapa kota. Beberapa diantaranya untuk jarak 10 km, 5 km, dan 21 km. Tentu saja saya mengikuti lari itu tidak untuk mengejar podium juara, hanya rasanya menggembirakan sekali berlari bersama banyak orang dengan tujuan garis finish yang sama. Sampai saat itu, belum pernah sekalipun saya terpikir untuk berlari penuh 42 km. Selain fisik dan mental yang rasanya belum cukup, terakhir saya mencoba berlari sendiri dengan jarak 24 km rasanya sangat-sangat melelahkan, seperti tenaga dan pikiran saya benar-benar diperas habis dengan sekuat-kuatnya sampai tak tersisa.
Sampai saat sebelum tanggal Borobudur Marathon, dari tanggal akhir Desember 2022 hingga akhir November 2024 atau sekira dua tahun ini, saya telah berlari 212 kali dengan total jarak tempuh 1537 km serta rata-rata 2-3 lari setiap minggunya. Saya biasa menjalani semacam rutinitas berlari ini pada waktu sore hari. Bersamaan dengan matahari akan tenggelam diiringi lagu-lagu bergenre rock, blues, dan alternatif yang berputar di telinga. Entah mengapa, untuk berlari, album dan lagu-lagu favorit saya di genre heavy metal, trash metal, death metal, dan black metal kurang begitu cocok, rasanya seperti lari saya jadi terburu-buru dan malah ingin headbang sendiri.
Mari kembali lagi ke Borobudur Marathon. Sesampainya di garis start, waktu menunjukkan pukul 04.15. Matahari masih akan terbit satu jam lagi. Kami semua melakukan pemanasan kecil masing-masing sebelum pistol penanda dimulainya flag-off ditembakkan ke udara. Nampak pelari mancanegara dan dalam negeri dengan klasifikasi elit-runner berbaris di depan. Beberapa selebriti tanah air juga turut serta dalam kategori 10k, 21k, dan 42k pada event ini. Namun, Saya tidak memerhatikan itu semua, saya lebih terfokus pada apakah bisa menyelesaikan jarak tempuh 42.195 km ini dengan aman sentosa, mengingat jarak ini adalah dua kali lipat jarak lari yang pernah saya lakukan, keterbatasan latihan, dan waktu tidur sebelum perlombaan yang hanya sekitar tiga jam.
Total 2.150 pelari untuk kategori full marathon telah memulai langkahnya. Dikarenakan padatnya kerumunan, kami memulai start dengan berjalan dan berlari pendek. Ada 4.250 pelari untuk kategori half marathon dan 4.100 pelari untuk 10 km yang nanti akan menyusul di belakang, sesuai dengan waktu dan rutenya masing-masing. Saya bersama beberapa pelari lain setelah 100 meter dari garis start langsung menyempatkan diri dan mengantri menuju toilet di pinggir jalan untuk buang air kecil. Hal ini membuat kami agak tertinggal jauh di belakang. Namun perlahan dan pasti, dengan rencana pace di sekitaran angka 7, saya mulai bisa menyusul pelari-pelari lain dan berada di barisan tengah dengan stabil dan mantap. Saya juga merencanakan heart rate untuk sebisa mungkin tidak melebihi angka 155-160 dengan harapan tetap bisa kuat dan nyaman sampai garis finish.
Hal menyebalkan kemudian terjadi. Saat saya mencoba menyalakan headset untuk memutar beberapa album musik yang telah saya siapkan sebelumnya ternyata tidak berfungsi. Saya mencoba beberapa kali dengan memencet dan menahannya lama ternyata tidak berhasil juga. Cobaan apa ini, batin saya. Akhirnya dengan perasaan kecewa saya masukkan headset itu ke dalam tas pinggang. Saya jadi ragu, apakah saya bisa melewati puluhan kilometer ke depan tanpa lagu-lagu penyemangat yang berkumandang di telinga.
Namun, ternyata saat masih di kilometer awal, bersama sedikit rasa kecewa dan putus asa itu, saya melihat kelompok anak-anak muda di tikungan yang menabuh drum dan bersorak menyemangati para pelari yang melintas. Saya sedikit tergerak. Mungkin ini kesempatan yang menarik untuk merasakan pengalaman berlari jarak jauh dengan berinteraksi dengan suara di sekeliling dan sepanjang rute tanpa lagu dari album-album favorit saya.
Benar juga, 5 kilometer awal bisa saya lalui dengan santai dan hampir tidak terasa. Bahkan semangat saya cenderung bertambah hingga kecepatan lari saya meningkat 30-45 detik lebih cepat. Saya buru-buru menahan diri. Sebab, jika terlalu cepat di awal, saya yakin di akhir nanti akan cepat kelelahan. Sampai kilometer ke-15, saya tetap berusaha lari cukup santai dengan pace 7, meskipun kadang-kadang masih terlalu cepat juga. Bahkan, water station yang disedikakan setiap jarak 2 km - 3 km hanya saya gunakan beberapa kali untuk minum air seteguk saja.
Sembari memperhatikan sekeliling, saya dibuat takjub dengan upaya panitia dan masyarakat menyemarakkan acara ini. Warga dan pelajar sekolah terlihat sangat antusias berkumpul di sepanjang sisi rute untuk memberikan semangat, sorak-sorai, dan banyak diantaranya bahkan menampilkan kostum tradisi, kesenian daerah, serta poster-poster penyemangat yang ditulis tangan untuk para pelari agar terus melaju dan tidak menyerah. Saya tentu saja jadi terpana dengan sambutan semeriah ini. Apalagi ketika anak-anak yang masih sangat kecil sambil didampingi orangtuanya itu melambaikan tangannya untuk tos tangan dengan para pelari. Rasanya saya menjadi begitu bangga, terharu, penuh makna, dan ingin menangis sambil berlari. Hal ini masih ditambah pemandangan alam setelah matahari terbit seperti area persawahan, gunung-gunung, sungai, dan hijau pepohonan yang terlihat begitu mengagumkan.
Saya pun masih berlari cukup santai sampai kilometer ke-20. Bahkan beberapa tanjakan yang cukup mendominasi rutenya pun bisa saya lalui dengan nyaman. Lalu tibalah saya mulai merasa sedikit cemas saat memasuki kilometer 23 ke atas. Pasalnya, jarak ini belum pernah saya lalui sebelumnya. Belum lagi, tanjakan-tanjakan cukup tinggi mulai mengisi rute-rute yang kami lewati. Akhirnya, mulai kilometer 26, kecepatan lari saya perlahan mulai menurun. Meskipun sempat meningkat lagi karena minta kaki saya disemprot pendingin otot dari tim medis, minta diguyur air es karena tubuh dan cuaca mulai memanas, serta pekik semangat dari masyarakat sekitar dan perasaan kembali takjub melihat mereka menyiapkan teh hangat, gorengan, dan jajanan sederhana di pinggir jalan untuk bisa diambil dan dinikmati secara gratis oleh pelari. Tapi tetap saja, pada kilometer ke-30, segalanya nampak terasa tak bisa lagi ditopang oleh kaki.
Saya teringat apa yang Haruki Murakami katakan dalam catatan larinya bahwa ujian marathon terbesar ada di kilometer ke-35. Dan ini saya yang masih di kilometer awal 30-an rasanya sudah merasakan ujian terbesar itu. Beberapa kali saya minta diolesi balsem dengan cepat oleh tim medis sambil berdiri di water station untuk minum air, isotonik, dan sesekali makan potongan buah segar. Mulai kilometer ini saya lebih banyak minum, bahkan sejak kilometer 20-an akhir sebenarnya. Saya juga mulai tidak lagi peduli dengan fotografer yang mengambil gambar para pelari di ruas-ruas jalan. Di pikiran saya hanya ingin fokus menyelesaikan ini sampai garis akhir. Itu saja.
Waktu sudah menunjukkan 4 jam lewat. Di kilometer ke-34 saya rasanya tidak sanggup lagi berlari di tanjakan. Baru saja lari seperempat tanjakan, rasanya kaki sudah begitu kesakitan dan akhirnya saya memutuskan untuk berjalan. Sesampainya melewati tanjakan, saya kemudian berlari lagi. Tidak berselang lama, tanjakan di kilometer ke-35 sudah menghadang. Tanjakan di kilometer ini adalah check poin terakhir bagi pelari full marathon. Orang-orang menyebut ini sebagai tanjakan cinta. Cinta apanya, batin saya. Sebagaimana yang lain, saya pun berjalan kaki lagi menaiki tanjakan ini. Di barisan sekeliling saya bahkan saya tidak terlihat ada yang berlari melintasi medan ini. Rasanya kami semua berjalan dengan ekspresi kelelahan yang luar biasa.
Setelah melewati tanjakan di kilometer ke-35 ini, rasanya kaki saya memang sudah benar-benar tidak sanggup. Saya beberapa kali berusaha melakukan stretching untuk menguatkannya kembali tapi tak berdampak banyak. Saya bahkan mulai berpikiran aneh demi apa dan untuk apa mengikuti acara lari yang menyakiti diri sendiri dan melelahkan sekali ini. Mengapa ribuan orang rela berbondong-bondong datang untuk mengalami kondisi yang tidak mengenakkan seperti ini. Sembari melihat sekeliling, mengamati orang-orang, panitia yang menyemangati, mengingat bahwa Borobudur Marathon hanya menerima 10.500 pelari dari 44.000 pendaftarnya, dan membayangkan garis finish, saya coba mengumpulkan sisa semangat yang tersisa untuk berlari lagi. Jarak dari kilometer ke-36 sampai 39 akhirnya saya bisa tempuh dengan menggabungkan berjalan dan berlari. Kira-kira 100-200 meter berjalan dan sisanya berlari untuk setiap kilometernya. Sebenarnya, sampai kilometer ini nafas saya masih nyaman, heart rate juga sedikit-banyak cukup terkendali, tapi kaki saya memang terasa seperti memiliki pemikirannya sendiri dan bersetia dengan prinsip kelelahannya.
Saya jadi teringat saat ketika saya mendapatkan pengumuman lolos ballout Borobudur Marathon pada bulan 30 Juli 2024. Saya memang senang dengan informasi itu, tapi sekaligus ragu dan cemas juga. Apa mungkin saya bisa menyelesaikannya. Belum lagi, saya akan melakukannya sendiri. Sebab, biasanya ada satu kawan saya yang kita sering berlari bersama, baik berlari biasa di jalan atau dalam beberapa event tertentu. Saya juga sempat khawatir apakah extra-latihannya akan cukup dari bulan Agustus sampai akhir November di tengah beragam agenda yang padat dan telah menunggu di depan mata. Saya kemudian mencoba menyusun jadual latihan yang cukup ketat sampai bisa menempuh jarak lari hingga 32-35 km, memang beberapa latihan berhasil tapi untuk latihan berlari dengan jarak 30-an km itu ternyata saya gagal menjalankannya. Mungkin ini juga yang menyebabkan kaki saya mengalami kelelahan dan kesakitan yang luar biasa itu.
Kembali di kilometer ke-39 Borobudur Marathon. Kali ini terlihat lebih banyak kerumunan orang memberikan semangat, matahari juga mulai terasa terik, dan jarak menuju garis finish hanya tinggal tiga kilometer lagi. Satu-satunya yang saya pikirkan saat itu adalah menyelesaikan ini. Artinya menuju garis finish. Titik. Saya mulai berlari penuh lagi dan hanya berkonsentrasi dengan itu. Saya bahkan sudah tidak begitu peduli dengan pace dan waktu di jam tangan. Saya hanya akan berlari. Berlari. Dan berlari saja sampai garis finish.
Saya kemudian mulai berlari penuh lagi dan tidak mau berjalan. Awalnya saya berlari pelan-sedang dan kemudian perlahan menjaga kestabilan dan sesekali, meskipun kecil, juga meningkatkan kecepatan. Memasuki kilometer ke-40, saya merasakan atmosfir garis finish semakin dekat karena telah hampir memasuki venue acara. Saya merasakan bisa mendapatkan semangat serta kekuatan fisik dan mental saya lagi. Aneh sekali mengingat beberapa kilometer sebelumnya kaki saya tidak mau diajak bekerjasama. Memasuki kilometer 41, para pelari dari berbagai kategori yang telah mencapai garis finish terlebih dahulu terlihat memadati ruas-ruas jalan. Mereka menyemangati dan memberikan tos tangan untuk para pelari yang sebentar lagi mencapai garis finish. Beberapa di antara mereka juga menunjukkan poster ‘besok kerja’, ‘makanya latihan’, ‘semangat dikit lagi’, dan aneka tulisan lain yang membuat saya cukup terhibur dan berhasil meningkatkan kecepatan lagi.
Akhirnya saya berhasil finish dengan tetap berdiri tegak setelah menempuh jarak 42,195 km dengan total waktu tempuh 5 jam 7 menit dan rata-rata pace 7 menit 17 detik setiap kilometernya. Ada perasaan lega yang luar biasa. Seperti baru saja melepas beban yang menggantung dari tiap kilometer hingga berjatuhan sampai habis tak menyisakan apa-apa. Sembari menyaksikan sekeliling, saya melihat wajah-wajah penuh kepuasan atas capaian konkret yang telah mereka gapai. Kami tidak saling berbicara, tapi senyum kebahagiaan itu rasanya sudah cukup untuk mewakili semuanya.
Seketika itu, pengatur waktu di jam tangan saya tekan stop dan simpan. Jika dihitung secara keseluruhan beserta antrian di toilet, stretching di km 37, dan beberapa kali berhenti di water station, totalnya bisa menjadi 5 jam 28 menit.
Setelah mengambil medali dan jersey finisher, kawan saya yang telah lebih dulu finish pada nomor 10k segera menghampiri saya. Kami kemudian bergegas ke tempat duduk di sekitaran area candi yang memungkinkan untuk merokok. Segera saja sebatang kretek kami nyalakan masing-masing untuk perayaan kecil ini. Sungguh, kenikmatan sederhana yang tak terkira.
Selepas itu, kami melihat-lihat stand di venue panggung utama dan merasakan kembali sisa-sisa euforia dan antusiasme para pelari dari berbagai kota dan mancanegara ini sebelum pulang. Rasanya kami sama-sama disatukan kegemaran aneh perihal menikmati rasa sakit menempuh puluhan kilometer dan berpuas diri pada hasil akhirnya.
Mereka ini saya kira adalah orang yang tergerak dan juga bisa berhasil karena diri mereka sendiri. Meskipun, bisa jadi ada pengaruh dari teman, media, FOMO, atau apapun namanya. Tapi, tetap mereka masing-masing yang menentukan pilihannya. Mengutip salah satu dialog serial anime run with the wind pada episode ke-15, “Mau bersikeras apapun, kamu tidak akan memaksa orang lain berlari. Orang ingin berlari itu hanyalah satu, yaitu keinginannya sendiri.”
Di tengah perjalanan pulang, dengan kaki yang masih menyisakan kelelahan luar biasa, saya tetap berharap bisa terus bisa berlari menempuh marathon penuh lagi yang selanjutnya!
Yogyakarta, Desember 2024
Comments
Post a Comment