KEBERAGAMAAN KITA DALAM
UJUNG TANDA TANYA*
Oleh MH Maulana
Moralitas dan
agama hanya penting sepanjang membantu politik atau kepentingan diatas
kepentingan manusia
(goenawan muhammad)
(goenawan muhammad)
Agama menjadi acuan refleksi dan
jalan kembali di abad 21 ini ditengah kebuntuan pemikiran atau intelektual yang
tak bisa memecahkan problema yang kerap menemui jalan buntu. Namun ditengah itu
semua, agama menjadi sesuatu yang dikambinghitamkan pada banyak sektor, baik itu sektor sosial sampai
perpolitikan internasional. Simbolisme atas nama agama pun membanjiri kemanusiaan kita, dimana kita
terdidik untuk menuhankan eksternalisme dari manusia, kita lebih mementingkan
bentuk daripada isi yang mestinya kita dituntut seimbang, dan kita juga larut
dalam anggapan mayoritas yang belum tentu benar adanya. Dalam kajian ilmu
tasawuf dipaparkan bahwa syariat tanpa hakikat adalah buta dan hakikat tanpa
syariat adalah pincang, jadi kita dituntut untuk hidup secara seimbang dan
proporsional terhadap hubungan kepada tuhan dan hubungan kepada manusia, secara
konsep kemanusiaan adalah yang mengarah pada nilai toleransi dan keadilan.
Masalahnya dalam keadaan sekitar yang kerapkali kita saksikan, Apakah orang
yang memakai jubah panjang sudah tentu ia pemegang agama yang teguh atau pelaku
radikal yang tangguh. disini kita dituntut untuk menilai manusia bukan dari
segi luarnya. Melainkan, dari dalam atau isinya yang berwujud tindakan yang kerap kali kita elu-elukan
sebagai moralitas.
Bangsa kita yang kini terjebak dalam
dimensi krisis kepercayaan diantara satu dan yang lain. Kelompok agama yang
satu selalu berusaha menunjukan eksistensi ajaran atau juga kiprahnya dan tak
lupa menunjukan kebenciannya terhadap kelompok-kelompok agama yang lain.
Sehingga tidak bisa dipungkiri, lama kelamaan antara kelompok satu dan berjuta
kelompok agama yang lain menaruh permusuhan baik itu bersifat tersirat ataupun
tersurat. Namun penghapusan agama juga bukanlah solusi yang tepat, bahkaan
adalah sebuah kesalahan mutlak. Salah satu filusuf barat mengatakan bahwa,”ada
agama saja sudah seperti ini, apalagi tidak ada agama.” Bisa dibayangkan betapa
rancaunya jalannya kehidupan ini apabila tidak ada agama. Secara mayor dalam
kajian antropologi, agama menjadi pengendali sosial bagi manusia, agama pula
sebagai hubungan manusia dengan penciptannya dan tentunya agama selaku sektor
yang berusaha mengajarkan kebenaran dan kasih sayang terhadap sesama manusia.
Namun kesadaran beragama yang benar sangat minor disadari, karena orang-orang
terlalu fanatik dengan agama yang mereka ikuti, pada keyakinan yang terlalu
banyak dimakan mentah-mentah.
KH Mustofa bisri menerapkan sebuah
solusi agar masyarakat mau melakukan revolusi mental, dengan menerapkan
kesederhanaan terhadap semua sektor kehidupan. Termasuk pula kesadaran untuk
bersikap sederhana dalam beragama. Karena fanatisme beragama tidak akan bisa
mendatangkan simbiosis mutualisme pada masyarakat dan lingkungan sekitarnya,
yang ada hanya satu diuntungkan dan yang lain dirugikan bahkan yang lain harus
dihancurkan. Benar-benar jauh dari nilai hak untuk mendapatkan kehidupan yang
layak, hak beragama dan jaminan perlindungan hak asasi manusia.
Al-quran sebagai karya monumental
tuhan dimuka bumi ini menghimbau bahwa perbedaan suku, kelompok, ras jenis
kulit bukan untuk bersiteru, tetapi untuk lita’arafuu
saling mengerti, memberi, dan menerima keberadaannya tanpa ada maksud untuk
mengusik dan menghancurkannya.
Agama bukan mengajarkan pemaksaan
manusia untuk mengikuti keyakinan atau ajaran yang ada disana. Karena agama
adalah proses menghormati kemerdekaan dan kebebasan manusia untuk menentukan
pilihannya. Agama membentuk kesadaran untuk secara rela dan yakin menjalankan
nilai-nilai dan ajaran yang terkandung didalamnya, dibalik itu semua pemaksaan
agama sendiri adalah merupakan perbudakan spiritual yang sangat jauh dari
eksistensial kebenaran agama tersebut.
Ditengah maraknya ketidakyakinan
manusia akan beragama kemudian lahir sebuah paham humanisme (kemanusiaan) yang
diyakini karl max, neitschze,
dan sigmeun freud. Mereka adalah
tokoh yang anti agama dan mereka justru
adalah orang-orang yang cerdas. Mereka adalah orang-orang yang konsep
nilai-nilai yang diusung mengandung kebaikan, namun tidak bersumber dari sumber
yang benar dalam kacamata agama, karena mereka adalah orang yang mengingkari
semua agama. disini nurcholis majid mengungkap statement tentang pemikirannya
dan perbandingan ilmu pengetahuan yang bersifat universal, paham kemanusiaan
(humanisme)
bukan menuntut pada anti agama atau areligion karena justru agama hadir untuk
keseimbangan antara kemanusiaan dan keyakinan manusia kepada tuhan.
Kesadaran tercipta dari usaha
manusia untuk belajar, keyakinannya untuk
khusnudzan terhadap ilmu pengetahuan. Jadi, seperti yang kita lihat kasus
beragama yang sudah semakin runyam, akankah kita justru ikut terlarut dalam
kerunyaman tersebut. Atau kita mau mempelajari beragama yang baik dan benar
serta konstruksif agar mencetak jiwa-jiwa yang sadar betapa merugikannya
fanatisme beragama dan kerugian saling menaruh kebencian dan dendam antara
kelompok beragama tersebut. Sadar adalah
mahkota teragung sedang tidak menghiraukan keadaan adalah kerugian terbesar
manusia.
Tulung agung, 28
April13
*) Dimuat dalam majalah Ponpes Al-muhibbin Tambakberas Jombang 2012
*) Dimuat dalam majalah Ponpes Al-muhibbin Tambakberas Jombang 2012
Comments
Post a Comment