Skip to main content
PETILASAN ANGLING DHARMA DAN NYAI AMBARWATI

Oleh MH Maulana

            Desa Bendo, kecamatan Kapas, Bojonegoro menyimpan sebuah tempat unik, mistik, damai, sekaligus kaya sejarah. Tepatnya di sisi waduk Bendo. disana terdapat sebuah tempat Pamoksaan dan petilasan prabu angling dharma da nyai ambarwati. Sebuah tempat menyerupai labirin dengan hiasan batu-batu dan atap dari ilalang kering membuat suasana petilasan terasa rindang dan tenang. Selain itu disisi petilasan ini terdapat waduk bendo yang merupakan tempat pemancingan gratis dengan pemancing yang tak pernah sepi tiap harinya.
            Menurut keterangan juru kunci, pak ali. tempat petilasan ini dulunya adalah tempat dimana prabu angling dharma bertemu pertama kali dengan nyai ambarwati dan saling menumbuhkan benih-benih cinta. Selain itu terdapat pula pohon bambu lumayan tinggi yang dipakai sebagai rumah pohon. Konon katanya pohon bambu ini awalnya berasal dari sebilah potongan bambu pemberian dari sunan kalijaga yang ditanam di sebelah kiri petilasan.
            Petilasan ini berdiri sekitar tahun 1999 yang disusun oleh pak ali sendiri tanpa bantuan orang lain. Dari mulai penataan kayu-kayu dan bebatuannya termasuk juga dalam melukis ekspresi wajah di beberapa batu. Dimana ketika ditanyai maksud lukisan tersebut, beliau menjawab itu adalah perintah sendiri dari prabu angling dharma.
            Banyak orang yang berkunjung disini. Tidak hanya dari daerah lokal, tapi hampir seluruh penjuru jawa timur dengan keinginan dan tujuan masing-masing. Ada yang sekadar ingin tahu seperti apa bentuk petilasan, adapula sekadar memadu kasih, menginginkan pangkat atau jabatan, sampai sebuah keyakinan yang menyatakan bahwa siapa yang membawa pasangannya ke Petilasan, itulah kelak yang akan menjadi jodohnya.
            Terlepas dari semua itu, petilasan angling dharma dan nyai ambarwati berada lumayan jauh dari kota, sekitar 10 KM dan berada di kawasan pedesaan tanpa rambu akses menuju lokasi membuat tempat ini tidak begitu ramai, hanya beberapa orang yang sudah mengenal atau mempunyai tujuan tertentu yang pergi ke petilasan angling dharma dan nyai ambarwati.
            Pengelolaan petilasan sangat sederhana, dimana tidak ada penarikan tarif masuk sepeser pun. Hanya saja alangkah lebih baik kalau kita membawa sebatang rokok atau lebih untuk diberikan kepada pak ali selaku juru kunci.
            Nampaknya, dinas pariwisata kota bojonegoro pun belum memasukkan tempat ini ke daftar pariwisata kota, sehingga belum memiliki citra pariwisata dan pengelolaan yang efektif. Diharapkan kedepannya petilasan prabu angling dharma dan nyai ambarwati menjadi daya tarik tersendiri wisata mitos dan sejarah di kota Bojonegoro, semoga.
           
Bojonegoro, 14 agustus 2013

Comments

  1. tolong tulisan ini di kaji lagi,dan ditelusuri lagi dari sumber yang kompeten..sebab saya sebagai orang bendo tidak merasa bahwa tempat tersebut adalah pamoksan prabu angling dharma,setahu saya pak ali yg anda maksud adalah orang yang mengalami gangguan jiwa yg sehari-hari tinggal di area situ dan berimajiner bahwa area tersebut adalah tempat sakral atau mistis.kalau mau meneliti sejarah desa bendo..alangkah baiknya jika penulis mencoba menggali sejarah situs watu dilat,situs mbah bakung di santren,atau makam kyai kasan wirangi yang juga berada di Santren.semoga bermanfaat...terima kasih.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

'Menikah itu Biasa Saja'

/1/. Saya sepertinya akan selalu memikirkan pembuka novel Anna Karenina karangan Leo Tolstoy sampai kapan pun. "Keluarga bahagia, bahagia dengan cara yang sama. Keluarga tidak bahagia, tidak bahagia dengan caranya masing-masing," tulisnya. Dan saya menikah. Mengucap janji di hadapan penghulu, orang tua, saksi, hadirin yang datang, dan tentu saja pacar saya yang menjadi istri saya: Yeni Mutiara. Mungkin aneh. Tapi saya berharap ini biasa saja. Seperti menggubah lagu Efek Rumah Kaca yang dimuat dalam album debut eponimnnya. Ketika rindu, menggebu gebu, kita menunggu Jatuh cinta itu biasa saja. /2/. Saya masih mengingatnya. Tertanggal 4 Maret. Pagi tiba ketika kapal laut mengangkat sauh di selat sunda. Itu kali pertama Abah, Ibuk, Adek, dan Budhe mengalaminya. Kami duduk di ruang terbuka. Mengamati gugusan pulau kecil dengan pepohonan kelapa yang berjejer, seperti lanskap di buku gambar anak-anak. Sesekali kami minum kopi, memakan cemilan, dan meresapi udara se

Kau, Cahaya

Di hadapan pintu kebahagiaan. Kesedihan menyeruak, membawa pedih, menggigilkan tubuh waktu sebelum keberangkatan. Segala yang bernyawa, berujung tiada. Pada keheningan itu, sebelum maut. Nama umat yang kau sebut Seorang penyair melagukannya. Sebatang pohon kurma menangis, tatkala kau pergi. Air matanya luruh melebur embun shubuh. Kesejukan pagi itu, angin yang berhembus di sekitarnya, dan tangis yang belum berhenti, seperti pertanda perasaan kehilangan, yang akan selamanya. Tapi mengapa nama umat yang kau sebut, bukan sorga, juga bukan Tuhan yang menciptakan semuanya, saat kematian itu tiba?  Kau manusia. Mengembala. Berniaga. Bersedih dan bercanda. Dan di hatimu, terbuat dari apa relung sanubari itu, begitu hidup, begitu luasnya. Begitu jernih, menarik semuanya.  Kau yang penuh cinta.  Cahayamu terbit dari kegelapan suatu masa. Pendarnya membuat orang-orang menghampirimu. Bahkan di hari lahirmu, orang yang kelak sangat membencimu, pernah begitu bahagia. Ia haru, ia merdeka