/1/.
Saya
sepertinya akan selalu memikirkan pembuka novel Anna Karenina karangan Leo
Tolstoy sampai kapan pun. "Keluarga bahagia, bahagia dengan cara yang
sama. Keluarga tidak bahagia, tidak bahagia dengan caranya masing-masing,"
tulisnya.
Dan
saya menikah. Mengucap janji di hadapan penghulu, orang tua, saksi, hadirin
yang datang, dan tentu saja pacar saya yang menjadi istri saya: Yeni Mutiara.
Mungkin
aneh. Tapi saya berharap ini biasa saja. Seperti menggubah lagu Efek Rumah Kaca
yang dimuat dalam album debut eponimnnya.
Ketika
rindu, menggebu gebu, kita menunggu
Jatuh
cinta itu biasa saja.
/2/.
Saya
masih mengingatnya.
Tertanggal
4 Maret. Pagi tiba ketika kapal laut mengangkat sauh di selat sunda. Itu kali
pertama Abah, Ibuk, Adek, dan Budhe mengalaminya. Kami duduk di ruang terbuka.
Mengamati gugusan pulau kecil dengan pepohonan kelapa yang berjejer, seperti
lanskap di buku gambar anak-anak. Sesekali kami minum kopi, memakan cemilan,
dan meresapi udara segar dari atas geladak.
Sekitar Lima Belas jam jam sepelumnya, dari stasiun Babat-Lamongan, kami gagal naik kereta.
Sebabnya Abah dan Ibuk belum vaksin ketiga. Seketika itu, saya menelfon saudara
untuk mengantar menggunakan mobil. Berkejaran dengan waktu, kami memacu jantung
agar bisa sampai di Semarang pukul tujuh.
Kebijakan
perusahaan BUMN kereta api ini lumayan menjengkelkan. Covid-19, meskipun
mungkin saja masih ada, tapi telah diputus bebas dari aturan Indonesia. Namun
regulasi kereta api ini masih saja berbelit. Seperti umumnya regulasi dan
pejabat di Indonesia. Saya jadi teringat ucapan Kruschev, "Para politisi
selalu berjanji untuk membangun jembatan. Padahal tidak ada sungai di
sana."
Dan
kami sampai di terminal bus Rosalia Indah Semarang tepat 30 menit sebelum
keberangkatan tiba. Pak Gopur (sekarang ketua SERBUK Komite Wilayah Jateng-DIY)
menyambut. Ia bersiaga di lokasi. Berjaga untuk memastikan bus mengantarkan
kami. Ia membawakan jambu air hasil panenannya sendiri. Terimakasih, Pak. Akan
selalu kami ingat kebaikan hati ini.
Dan
bus melaju. Menembus malam, melewati kota-kota dengan rentang jarak seperti
puisi 'kembali' yang ditulis Rendra.
...
aku
akan kembali kepadamu.
Kerna
kamu adalah masa kini yang harus aku hadapi.
Dan
masa depan adalah masa kini yang dihayati.
Delapan
ratus kilo akan kutempuh
untuk
berendeng bersamamu.
Delapan
ratus kilo akan kukebut
untuk
membaca kemarau bersamamu.
(1982)
/3/.
Saya
dengarkan lagi lagu dari Melancholic Bitch yang berjudul 'Lagu untuk Resepsi
Pernikahan'. Meresapi lirik 'kering dan kemarau' yang terus diulang.
Di
benak saya, rasanya pernikahan bukan akhir. Ia hanya penggalan dari rentang
liku hidup yang panjang. Alangkah indahnya jika pernikahan memberikan ruang
berkembang yang lebih baik −yang semakin menyuburkan cinta pada kehidupan, pada
kemanusiaan.
Memang,
di tengah jalan akan ada serangkaian adaptasi dan kompromi kebudayaan. Semoga
cinta kita semua selalu bisa menghadapinya dengan penuh kejernihan. Saya
teringat Cristopher Nolan yang menyajikan dialog indah sekali di film
Interstellar.
Dengarkan
aku. Saat aku bilang bahwa cinta bukan sesuatu yang kita ciptakan, tapi bisa
diamati, begitu kuat. Cinta itu begitu berarti.
Cinta
satu-satunya milik kita yang mampu mengamati dan melampaui dimensi ruang dan
waktu. Mungkin kita harus mempercayainya. Walau kita tak bisa memahaminya.
/4/.
Perihal
saya dan istri saya −ternyata mengenai status ini, saya masih harus
membiasakannya. Haha.
Kita
telah melewati sekitar 740.000 jam kebersamaan yang tidak singkat. Dengan atau
tanpa jarak. Meskipun kita meyakini bahwa semuanya telah dimulai tanpa sejak. Memandangi
matamu. Merasai setiap pejal peristiwa dan riuh suasana yang berkelindan tiada
habisnya.
Berawal
dari giat budaya bersama. Kita semakin terlibat dalam relasi yang penuh
dinamika. Rindu dan temu. Amarah dan haru. Tawa dan kegetiran silih berganti
hadir bergiliran.
Dan
aku ungkapkan perasaanku. Di beranda kontrakanmu. Entah mengapa, saat kamu mengatakan
iya, rasanya itu akan berlangsung selamanya.
Saat
itu, Lagu-lagu Sisir Tanah dan Silampukau menjadi musik latar awal hubungan
kita. Pertunjukan teater, pameran lukisan, dan panggung musik, sering sekali
menjadi latar tempat romansa kita. Terutama juga, anak-anak di pinggiran
sungai, relawan pengajar dan orang tua, serta sahabat di Yogyakarta yang
menjadi rumah sekaligus keluarga.
Dalam
1Q84, Murakami pernah begitu liris menuliskannya, "Ingatan kita terbuat
dari ingatan pribadi dan ingatan kolektif," jelas Tengo. "Kedua jenis
ingatan itu berjalin erat. Dan sejarah adalah ingatan kolektif. Kalau sejarah
dirampas, atau direvisi, kita tidak bisa mempertahankan kepribadian yang
utuh." (Jilid 2, hlm. 428)
Terimakasih
untuk semua pihak yang membersamai hubungan kita!
/5/.
Pernikahan
adalah pilihan. Cukup banyak orang mengatakannya demikian. Sementara, beberapa
yang lain mengatakannya sebagai kewajiban, juga belenggu.
Semoga
kita tidak berubah menjadi penjara. Semoga ini menjadi salah satu pilihan
terbaik kita. Semoga kewajiban terhadap sesama, terhadap perjuangan umat
manusia, kita selalu bisa menunaikannya.
Untuk
pernikahan ini, semoga engkau abadi selamanya!
/6/.
Beberapa
menit sebelum akad.
Pak
Hepi (sekarang Wakil Bendahara Umum SERBUK) memberikan sambutan penyerahan
mempelai pria dengan menyenangkan. Sesekali gayanya melucu dan menyapa membuat
hadirin tertawa. Tidak terasa sudah sepuluh tahun kami telah bersama di Jogja.
Ia menempuh perjalanan yang tidak singkat untuk tiba di pulau Sumatra. Cukup
mengharukan menyaksikannya memberikan pidato pernikahan untuk kali pertama.
Di
atas meja, di dalam masjid. Beberapa keluarga, tetangga, dan tamu undangan
terisak. Suasananya begitu haru. Saya bersalaman dengan paman dari istri untuk
mengucap janji.
Bapak
dari istri sedang dalam tahap pemulihan paska operasi. Beliau mengiringi di
samping kami. Semoga kesembuhan segera datang menghampiri ya, Bapak!
Pak
Khamid (sekarang staf regional BWI Asia Pasifik) yang juga datang bersama Pak
Hepi menjadi saksi. Tanda tangan dibubuhkan. Akhirnya secara negara dan agama,
saya dan istri telah sah sebagai pasangan.
Mas
Narno (sekarang bagian di media KPBI) mengambil beberapa momen dengan cekatan.
Kameranya melesat ke sana ke mari untuk merekam fragmen pernikahan. Hasil
karyanya memang begitu mengagumkan.
Kepada
berbagai pihak lain yang belum tersebutkan, berjuta-juta terima kasih, kami
haturkan!
/7/.
Di
Pesawaran, juga di tempat lain di seluruh penjuru dunia, mungkin setiap hari
pernikahan dilangsungkan. Seperti kelahiran dan kematian. Sehingga semua
berjalan dalam rute kewajaran.
Ketidakwajaran
terjadi ketika penindasan, belenggu dan eksploitasi kemanusiaan, serta
perampasan ruang hidup terus dilanggengkan. Ia bisa mengatasnamakan apa saja.
Keluarga, negara, bahkan juga agama. Maka, penting mengambil sikap dan tindakan
untuk memerankan diri di pihak yang seharusnya dibela.
Selebihnya,
biasa saja. Seperti juga perkawinan kami. Kami berharap segala yang kami
lakukan bisa senantiasa berpihak pada kebenaran. Pada kebahagiaan insani dan
kesejahteraan banyak orang. Kami berharap kita semua bisa saling hadir untuk
memberi dukungan.
/8/.
Sebagai
penutup, pada usianya ke-18, Karl Marx menulis puisi yang begitu menggetarkan
untuk Jenny Von Westphalen, yang kelak menjadi istrinya. Sajak itu berjudul
'duniaku'. Salah satu penggalannya adalah berikut ini:
...
Ada
yang tak bertepian,
Seperti
pedihnya kerinduan,
Seperti
dirimu adanya,
Seperti
sang Segalanya.
(1836)
Ya,
sepertinya menikah itu memang biasa saja. Kalau mengutip Pramodya, "yang
hebat hanya tafsirannya."
Kepada
daya hidup dan daya juang ini: semoga senantiasa baik-baik saja!
Pesawaran,
Maret 2023
Comments
Post a Comment