Skip to main content

Posts

Showing posts from November, 2016

SEANDAINYA SAYA BUKAN SEORANG P3S

"Apa sih sebenarnya yang dilakukan orang-orang itu?" Saya heran. Sangat heran. Mengapa kelompok relawan sekolah rakyat pinggir sungai codhe itu tak kunjung bubar. Padahal saya lihat beberapa pengajarnya sering tidak ikut mengajar. Kalo rapat sepi. Dan beberapa relawannya lebih senang berkesenian dan jalan-jalan daripada membaca teori-teori pendidikan. Saya sih kurang tahu pasti. Ada yang bilang gerombolan relawan itu mendeklarasikan namanya --nama paguyuban pengajar pinggir sungai (P3S) itu sejak tanggal 30 November 2014 di gedung Xaverius Sanata Dharma. Sambil ngomongin filsafat pendidikan. Ngomongin pendidikan kerakyatan. Ngomongin manifesto P3S. Halah. Sok-sok-an sekali. Dan sampai hari ini mereka belum bubar juga. Kadang saya bertanya-tanya. Kenapa sih orang-orang P3S itu tidak memilih melakukan aktifitas lain yang lain saja. Yang lebih berguna gitu. Seperti ikutan jadi tim sukses Parpol. Ikutan audisi artis. Ikutan nggosip sana nggosip sini. Ngapain coba malah

KERETA API

Apa jadinya jika kereta api yang romantis tak semanis kisah para pekerjanya? Saya mengawali tulisan ini ketika sedang berada di stasiun Prabumulih, Sumatra Selatan.  Stasiun cukup sepi. Sepi sekali. Hanya beberapa gelintir orang saja yang menduduki ruang tunggu dan smoking area. Saya termasuk dari bagian yang duduk di smoking area. Duduk dan berbincang bersama beberapa pegawai kereta api. "Kereta ke Tanjung Karang masih lama kan, Mas?" "Iya. Sekitar 1 jam-an lagi." Jam menunjukkan tepat pukul 21.36. Saya menikmati rokok sembari menyaksikan detail pemandangan yang cukup sepi disekitar rel kereta api stasiun. Tak ada lagi penjual asongan, gorengan, atau nasi bungkus didalam stasiun. Yang ada hanya lantai yang dingin dan sepi. Kereta pengangkut minyak pertamina yang angkuh. Dan suara hewan-hewan malam yang menambah ramainya kesunyian.  Saya sendiri saja. Mencoba menarik ingatan ke tahun-tahun yang telah lewat. Adalah tahun 2013. Tahun yang boleh dibilang merupakan

PERJALANAN KE BARAT (Bagian 1)

Perihal Kereta, Toko buku Kwitang, dan Kemenangan keadilan di PN Jakarta Pusat  "Naik kereta aja. Langsung turun Pasar Senen. Ndak usah ke Karawang dulu" Kurang lebih begitulah pesan Paman Khamid di suatu siang  merubah rencana yang awalnya mampir ke Karawang terlebih dahulu. Saya pun akhirnya agak lega. Pasalnya baju kotor untuk ganti perjalanan baru saja dijemur dan menemui petugas lembaga sosial daerah baru bisa diatas jam satu siang. "Berarti pakek kereta malam?" "Iya. Naik kereta aja. Nanti sesampai di stasiun senen nunggu sampai jam 8 pagi" *** Hari ini (21/10) dan seminggu kedepan adalah hari yang cukup bersejarah buat saya. Ya. Untuk pertama kalinya saya akan keluar jawa dalam agenda diajak mengisi pendidikan (atau lebih tepatnya belajar) tentang pendidikan manajemen aksi di serikat pekerja batubara di Muara Enim, Palembang, Sumatra Selatan. Sebelum keberangkatan tersebut saya usahakan sudah menyelesaikan urusan-urusan di Jogja. Bayangkan s

SAMBAL TERI AMBA

"Aku bar nyoba gae sambel teri" Pukul 12.42 sms itu masuk. Cuaca langit Jogja sedang mendung-mendungnya. Dan benar saja tak lama kemudian datang hujan deras dan angin kencang yang bertiup kesana-kemari. Saya bertahan di kontrakan Wisnu. Sendiri. Mencoba menyelesaikan beberapa editan tulisan untuk persiapan acara Anniversary 2 tahun relawan pengajar pinggir sungai codhe. Tak cukup hanya dengan angin dan hujan kencang itu, listrik tiba-tiba padam. Laptop yang dicolokkan itu juga ikut padam. Untung saja editan tulisan tersebut terselamatkan. Sembari menghentikan aktifitas yang dihentikan listrik padam tersebut, saya goda si pengirim sms-nya "Iku cuma ngabari opo dikon nyicipi" " Dua-duanya" Begitulah dia menjawab. Dan dia berencana membawakan sambel teri buatannya saat malam nanti kita bertemu.  *** Adalah Amba. Perempuan yang selalu bilang bisa masak tapi tidak mau kalau masakannya dicicipi orang lain. Barangkali masakannya memang hanya dibuat untuk

HABEDE, BEB

Namanya Reres. Lengkapnya restu lathifah. Tanah Tegal adalah kota dimana dia tinggal. Barangkali juga tempat dimana awal tahun setelah kelahirannya tertanggal. "Reres ulang tahun loh" "Ah, mosok?" Di masa-masa awal semester dia berkacamata, lugu, polos, dan tak banyak bicara. Mungkin dia masih enggan menampilkan dirinya yang energik, ceria, dan suka banyak bercanda. Tapi itu di masa yang lewat. Waktu bisa merubah apa saja. Termasuk hatinya reres yang suatu waktu bisa berlabuh ke lain dermaga. "Iki reres enak e diapakne?" "Diumbah, terus dijemur" "Hah?" Dia punya suara seperti penyiar radio, di masa SMA-nya pernah menjadi model, dan beberapa hari belakangan ini sibuk dengan bisnis jilbanya. Ya. Dia sedang ingin menabung untuk membantu calon suami, tapi suaminya yang mana? Ini masih misterius. Tapi dia cukup optimis. Pada akhirnya lelaki manapun akan bangga melihat perempuan yang melipat jilbab, memasukkan ke dalam pl