Skip to main content

PERJALANAN KE BARAT (Bagian 1)

Perihal Kereta, Toko buku Kwitang, dan Kemenangan keadilan di PN Jakarta Pusat 

"Naik kereta aja. Langsung turun Pasar Senen. Ndak usah ke Karawang dulu"

Kurang lebih begitulah pesan Paman Khamid di suatu siang  merubah rencana yang awalnya mampir ke Karawang terlebih dahulu. Saya pun akhirnya agak lega. Pasalnya baju kotor untuk ganti perjalanan baru saja dijemur dan menemui petugas lembaga sosial daerah baru bisa diatas jam satu siang.

"Berarti pakek kereta malam?"

"Iya. Naik kereta aja. Nanti sesampai di stasiun senen nunggu sampai jam 8 pagi"

***

Hari ini (21/10) dan seminggu kedepan adalah hari yang cukup bersejarah buat saya. Ya. Untuk pertama kalinya saya akan keluar jawa dalam agenda diajak mengisi pendidikan (atau lebih tepatnya belajar) tentang pendidikan manajemen aksi di serikat pekerja batubara di Muara Enim, Palembang, Sumatra Selatan.

Sebelum keberangkatan tersebut saya usahakan sudah menyelesaikan urusan-urusan di Jogja. Bayangkan saja, bagaimana jika perjalanan hanya mengingatkan beban-beban yang belum selesai. Ya, Nampaknya memang sangat tidak menarik sekali

Siang itu, Amba datang ke Rumah baca. Dialah perempuan ajaib yang paling banyak saya repotkan sebelum keberangkatan, mulai dari menjemput dan menemani saya ke petugas sosial dinas daerah, kemudian menata packing pakaian saya, sampai mengantarkan saya ke Stasiun. Itupun masih juga dibarengi hujan yang kadang turun agak lama di sepanjang jalan-jalan kota.

Hasilnya beberapa urusan di Jogja memang belum bisa dikatakan selesai. Tapi setidaknya beberapa hal sudah bisa ditinggal dan tidak terlalu mengganggu pikiran. Ya. Saya ingin perjalanan saya tidak terlalu terganggu dengan hal semacam itu.

Setelah maghrib, kami menuju stasiun. Amba mengingatkan untuk membeli nasi kotak terlebih dahulu untuk makan di dalam kereta. Juga beberapa barang yang perlu saya lengkapi. Di jalanan itulah tiba-tiba gerimis berderai. Jam hampir jatuh di waktu keberangkatan kereta.

Sesampai di stasiun, kereta masih akan berangkat 40 menit lagi. Syukurlah!. Kami menunggu disekitar loket tiket sambil ngobrol dan tentu saja saya sambil menikmati rokok sebaik-baiknya. Pasalnya, 8 jam berikutnya saya akan menahan keinginan untuk itu. Ya. Kereta memang tak seperti dulu. Ya. Dulu dimana sambungan gerbong jadi tempat terbaik untuk merokok dan melihat pemandangan. Dan dulu juga, di dalam stasiun, kita bisa melepas kepergian seseorang sambil melambaikan tangan.

Kami mengobrol biasa saja. Tak perlu drama. Toh saya pikir juga bukan perjalanan yang sangat lama. Sampai 30-an menit berlalu. Kereta Jaka tingkir telah tiba di Lempuyangan. Saya bergegas masuk ke dalam stasiun. Tentu sambil melambaikan tangan dan telah bersiap kalau kangen itu tiba-tiba datang.

Kereta berangkat menembus gerimis yang pelan sekali. Perempuan itu sudah tak terlihat lagi.

"Semoga dia baik-baik saja"

***

Saya duduk sendirian di ujung gerbong enam. Kereta tidak terlalu penuh. Ruangannya bersih. Beberapa orang yang sudah duduk terlihat asyik ngobrol sambil menengok ke jendela,

"Ooh. Ini to stasiun Lempuyangan Jogja"

Kereta ini pun rasa-rasanya hampir sama dengan yang saya naiki dua kali sebelumnya. Semacam kereta malam. Dengan penumpang yang jarang-jarang. Dan terlihat cukup ekslusif, meskipun kerita ekonomi. Keinginan untuk naik kereta api ekonomi seperti dulu yang penuh sesak dengan penjual asongan dan para perokok di sambungan gerbong hanya menjadi kenangan masa silam saja.

Sembari kereta menembus malamnya tiap-tiap kota, saya menghubungi beberapa kawan untuk pamit selama semingguan tidak berada di Jogja. Mereka pun membalasnya, dengan doa, harapan, dan tentu saja: guyonan-guyonan. Sementara itu, di dalam kereta, saya tak ada teman duduk. Baiklah. barangkali sebentar lagi tiba waktu untuk mengantuk

Beberapa jam terlelap, tiba-tiba saja kereta sudah akan tiba di stasiun purwokerto. Pun perut saya terasa lapar saat itu juga. Akhirnya nasi kotak yang dibawa dari Jogja itu segera saya tandaskan. Memang tidak begitu kenyang. Tapi cukup untuk menambah kekuatan dan menuntaskan kelaparan.

Kereta berhenti. Saya menghampiri salah satu petugas kereta.

"Pak, keretanya berhenti lama kan di purwokerto?"

"Lumayan lama, Mas"

Saya turun. Beberapa yang lain juga. Segera menyalakan rokok dan berharap kereta bergerak lagi cukup lama. Lega sekali. Satu hisapan. Dua hisapan. Tiga hisapan. Kami benar-benar menikmati momen sakral yang biasanya sebentar ini. Dan benar saja. Rokok baru saja terhisap setengah, peluit pertanda keberangkatan kereta sudah menjerit dari jauh.

Kami membanting rokok kami dan naik kembali ke dalam gerbong kereta. Barangkali juga sambil mengumpat dalam hati masing-masing.

"Hassem!"

Saya kembali lagi ke tempat duduk. Berencana untuk tidur lagi. Dan sebelum itu, saya sempatkan membaca beberapa pesan dan esai di media sosial. Saya pun kelihatannya mulai mengantuk. Kali ini sambil membayangkan didalam gerbong ada seorang HOS. Tjokroaminoto, semaoen, darsono, dan musso yang sedang berdebat perihal Sarekat Islam yang punya banyak massa tapi kurang begitu radikal dalam menentukan garis politik. Semua perdebatan itu tidak dilakukan dengan marah yang berlebih atau sombongnya pengetahuan. Perdebatan yang panas namun damai. Sampai satu bersatu bayangan saya itu menghilang. Menyisakan seorang semaoen saja yang memobiliasi buruh-buruh kereta api untuk melakukan mogok kerja.

Saya tertidur. Terjaga lagi. Tertidur lagi. Terjaga lagi. Tertidur lagi. Lumayan lama.

Sampai suara pengumuman stasiun Jatinegara yang cukup keras membangunkan saya. AC kereta pun cukup ampuh membuat badan menggigil. Orang-orang menurunkan tas dan barang bawaan. Banyak diantara mereka masih dengan wajah mengantuk. Gerbong kereta lalu hanya menyisakan para penumpang terakhir untuk jurusan terakhir. Ya.  Satu stasiun lagi saya sampai di Pasar Senen.

Tepat shubuh berkumandang saya tiba di Pasar Senen. Sumpah. Bulan sabit sedang indah-indahnya. Hawa pagi yang dingin. Orang-orang yang tidur di luar stasiun. Kuli barang yang nenawarkan jasanya. Meskipun tidak ramai seperti malam hari, stasiun yang bertempat di jakarta pusat ini masih bisa dikatakan padat. Saya ke mushola stasiun sebentar. Untuk cuci muka dan melakukan sesuatu.

Saya kemudian melangkahkan kaki ke luar stasiun. Menghampiri beberapa orang yang berjualan.

"Bubur ayam satu mas"

Saya memesan bubur ayam di pagar dekat tukang ojek berkumpul. Saya merasa perlu mengisi perut lagi sebagai kekuatan untuk menunggu rombongan karawang yang baru akan tiba di stasiun 4 jam lagi.

Sembari menunggu, saya putuskan berjalan-jalan sebentar. Menikmati jakarta sebelum menjadi riuh dan gaduh.

***

Pemandangan pagi di daerah pasar senen cukup menyegarkan. Saya memesan kopi hitam di salah satu pedagang sepanjang trotoar. Saya hisap rokok. Lega. Sejuk. Sambil menyaksikan patung pejuang di pasar senen nampak basah oleh sisa hujan dan embun. Tak jauh dari itu, ada pemandangan sekitar 20 Lansia melakukan olah raga pagi. Dan beberapa orang pun nampak duduk-duduk yang entah sedang menunggu apa atau siapa.

Tempat saya duduk cukup tepat. Saya bisa melihat siluet matahari yang sebentar lagi terbit. Sambil menyeruput kopi. Sambil menghisap rokok. Sambil berselancar di dunia maya untuk mencari sesuatu yang berhubungan dengan dunia nyata.

Dan pencarian itu menemukan 'Kwitang'. Satu wilayah yang terhitung masih dekat dengan pasar senen. Bermodal tanya-tanya orang, saya berjalan kesana.

Kwitang sendiri adalah toko buku bekas yang cukup legendaris di jakarta. Saya pernah melihatnya di film AADC 1. Tempat dimana Rangga mengajak kencan Cinta untuk yang pertama kalinya. Berjubel buku-buku bekas, baru, dan bajakan diperdagangkan disana, mulai dari yang berjenis langka, populer, sampai yang stensilan.

Namun hari masih terlalu pagi. Saya tidak menemukan satu pun toko buku yang buka. Saya putuskan berjalan-jalan lagi di sekitar jalan Kwitang Raya. Nampak toko buku Gunung Agung yang lumayan besar itu memasang poster novelnya 'Pidi Baiq: Milea, Suara hati Dilan'. Barangkali toko buku ini jika dilihat dalamnya akan menyerupai Gramedia kecil atau Toga Mas yang ada di Jogja.

Taman Kwitang akhirnya saya jadikan tempat bersantai sejenak. Saya duduk di taman yang sejuk ini sambil melihat orang-orang berolah raga lalu lalang. Pohon-pohonnya rindang. Penghijauannya menenangkan. Jakarta baik sekali pagi itu.

Tapi toh sendirian pada akhirnya membosankan juga. Saya pun lalu jalan-jalan lagi. Kali ini menuju penjual kopi di trotoar dekat toko buku Gunung Agung. Saya coba mengawali obrolan.

"Toko bukunya belum pada buka ya, Pak?"

"Belum, Mas. Masih jam 9 nanti."

"Ooh. Iya iya. Berarti kalo udah buka, ramai dong jalan-jalan ini"

"Ya lumayanlah, meski tidak seramai dahulu", Seorang bapak paruh baya di samping saya menimpali

Bapak paruh baya itu pun melanjutkan.

"Memang Mas nyari buku apa?"

"Buku-buku sastra lawas dan bekas gitu, Pak"

Obrolan pun terus berlanjut. Dan ternyata bapak paruh baya ini adalah salah seorang pemilik toko buku di Kwitang ini juga.

Saya mendapat banyak cerita, diantaranya tentang toko-toko buku Kwitang yang tidak seramai dulu karena baru kena gusur di sekitar tahun 2014. Banyak penjual buku yang kemudian beralih profesi, tapi beberapa memilih bertahan. Bapak itu kemudian mengajak saya ke toko bukunya. 

"Silahkan melihat-lihat, Mas"

Saya cukup senang dan tertarik. Toko bukunya menyerupai lorong kecil. Buku-buku yang  tersedia ini didominasi novel baru yang bajakan, buku kuliah, buku agama, dan beberapa buku bekas. Mata saya lalu tertuju pada Novel Kolam Darahnya Abdullah Harahap. Novel misteri berbungkus kisah stensilan ini pasti begitu populer di zamannya. Saya baca sebentar. Menarik. Tapi tangan saya langsung berpindah ke buku puisi Proposal Berlin-nya Afrizal Malna. Sebab buku puisi itu cukup ramai diperbincangkan tempo lalu.

Matahari sudah mulai naik. Telpon berdering. Ternyata beberapa kawan karawang sudah tiba di stasiun.

Kwitang akhirnya memberikan saya buku Puisinya Afrizal Malna dan Novel Dari hari ke hari-nya Mahbub Junaidi. Harganya pun terjangkau. Lebih murah dari toko-toko buku populer pada umumnya. Ya, 2 buku itu dihargai 30 ribuan. Dan yang terpenting, buku itu cetakan asli. Bukan bajakan. Dan bukan juga hasil dari pinjamam yang tidak dikembalikan.

Saya kemudian menuju ke stasiun. Bergabung bersama kawan-kawang karawang yang baru saja tiba.

Total kami berlima berangkat menuju Pengadilan Negeri (PN) Jakarta pusat. Berjalan kaki. Melewati pinggir stasiun. Melewati toko-toko kalilima penjual alat musik. Melewati pakaian yang begitu saja dijemur di pagar-pagar. Melewati gang-gang kecil. Melewati semuanya. Melewati yang belum pernah saya lewati sebelumnya.

Perjalanan dengan jalan kaki memang harus diakui cukup jauh. Tapi yang jadi asyik, kami terus bercanda ria di jalan, menikmati pemandangan hilir mudik percetakan, dan tak terasa Pengadilan Negeri (PN) Jakpus sudah terlihat selepas melewati stasiun kemayoran.

Kami duduk-duduk sebentar didepan PN Jakpus. Bergabung bersama berbagai serikat buruh dari masing-masing pabrik sampai mobil komando datang. Terdengar korlap menyeru dengan microphone kencang sekali dari sound sistem yang terpasang di mobil.

"Hidup Buruuh!"

"Hiduuup"

"Bebaskan Kawan kamii!"

"Bebaskan. Bebaskan. Sekarang juga!"

Suara koor barisan pejuang buruh membahana. Kami lalu bersatu dalam barisan. Menyatu dalam perlawanan. Jalan raya depan pengadilan penuh sesak dan macet oleh seragam merah dengan panji-panji yang beraneka rupa. Tuntutannya jelas: bebaskan 26 aktifis buruh yang dikriminalisasi dan cabut PP 78.

Hari itu (22/10) adalah pembacaan vonis putusan sidang dari sekitar 30-an rangkaian sidang yang telah digelar sebelumnya untuk kasus kriminalisasi ini. Solidaritas buruh yang datang lebih banyak. Orasi tuntutan disuarakan secara tegas dan berapi-api.

Saya bertemu beberapa pimpinan gerakan buruh dan saya sempatkan juga ngobrol dengan beberapa pimpinan gerakan mahasiswa. Kami membicarakan perkembangan situasi nasional, pendidikan alternatif, prediksi putusan sidang, dan... jogja.

"Ah. Jogjaa"

Sampai sidang sudah hampir dimulai. Saya dan yang lain berdesakan memasuki ruang persidangan. Ya. Ruangan itupun akhirnya penuh sesak oleh warna perlawanan untuk perjuangan atas keadilan di negeri ini.

Menit berlalu. Jam berlalu. Lelah, deg-deg-an. Bercampur aduk menjadi satu. Rangkaian pertimbangan, berita acara, tuntutan, dan keterangan dibacakan oleh hakim. Kami gelisah. Resah. Suasana perdidangan boleh dibilang cukup membosankan. Apalagi dengan hadirnya berjubel polisi di dalam dan di luar ruang sidang yang membuat suasana semakin tidak nyaman.

Sampai tibalah detik-detik vonis dibacakan. Kali ini putusan untuk 2 pengacara LBH dan 1 mahasiswa. Kami deg-deg-an lagi. Resah lagi. Gelisah lagi. Waktu berjalan lambat. Wajah-wajah kami dan terdakwa menunjukkan kepasrahan.

Hakim membacakan putusannya,

"Dengan demikian saudara-saudara sekalian dinyatakan... B E B A S"

Kami bersorak, menjerit, bertepuk tangan meriah sekali. Sontak berteriak keras,

"Hiduup Buruuuh"

"Hiduuuup"

Tuntutan 2 bulan kurungan dan 1 bulan percobaan kurungan akhirnya batal. Tapi lagi-lagi kami dibuat tegang. Kali ini pembacaan putusan untuk 23 Buruh yang dikriminalisasi. Suasana kembali gelisah. Resah. Pasrah. Dan segala perasaan tidak enak yang lain.

"Dengan demikian saudara (disebutkan semua idenditas 23 Nama buruh) diputus ... B E B A S"

Kali ini kami semua larut dalam kebahagiaan itu. Tangis haru memenuhi ruangan. Tepuk tangan. Slogan perjuangan. Yel yel perlawanan. Kami meneriakkan semua itu sekencang-kencangnya.

Lalu lagu indonesia raya dikumandangkan. Khidmat sekali. Disusul lagu Internatiole. Ritmis dan kontemplatif sekali!

Saya merasakan atmosfir itu. Sidang yang sudah berjalan hampir 1 tahun. Bagaimana lelah dan letihnya perjuangan Tim Tabur. Kegelisahan para terdakwa. Dan hari itu semua dibayar oleh kemenangan yang nyata. Putusan bebas itu benar-benar membahagiakan kita semua. Saya ikut menitikan air mata. Saya melihat sekeliling pun juga sama.

Aksi sidang itu ditutup dengan mengangkat para terdakwa yang bebas sampai ke mobil komando. Orasi orasi kemenangan disuarakan. Lautan buruh yang bersolidaritas bergemuruh. Semua dalam satu rasa. Satu sama. Dan satu suara: perjuangan buruh dimanapun berada harus diperjuangkan senyata-nyatanya.

Sungguh senja di langit ibukota. Tersenyum semanis-manisnya!

Saya, Paman Khamid, Pak Nelson, dan Mbak Luviana kemudian menuju LBH Jakarta. Ada semacam diskusi dari acara aliansi demokrasi dan keadilan. di sepanjang perjalanan kami mengobrol berbagai hal, termasuk saya yang begitu menikmati cerita bapak-bapak dan ibu itu mengenai pengasuhan terhadap anaknya, dimana mereka lebih memilih anaknya untuk lebih berani dan kreatif daripada hanya mengejar nilai akademik semata.

Sesampai di LBH. Beberapa kawan mahasiswa dan gerakan rakyat juga tengah menunggu acara dimulai.

Acara berjalan sebagaimana umumnya seminar kecil. Ada beberapa hiburan kecil, termasuk aksi panggung akustik Melanie Suobono yang cukup syahdu dan asyik membawakan lagu Sajak Suara dari puisi Wiji Thukul, lagu tanah air, dan nyalakan tanda bahaya-nya Iksan Skuter.

Seminar pun kemudian dilanjutkan dengan pembahasan tentang demokrasi, ancaman militer, dan toleransi. Saya sesekali memperhatikan dan mengobrol bersama Arif dan Nui. Saya coba fokus dengan pembahasan yang menyangkut penghidupan rakyat, di luar itu saya lebih memilih melanjutkan obrolan dan bercanda bersama samping saya tentang jogja. Tentang rindu dan luka yang mengerak di dalamnya.

Mas Khamid kemudian menghampiri saya,

"Ayok balik"

"Oke, Mas"

Mas Khamid lalu mengajak saya balik ke rumahnya di Karawang. Besok pagi sudah harus bersiap ke bandung dan sorenya bergegas ke bandara untuk melanjutkan agenda ke pulau Sumatra.

Dari bus kota ke bus kota. Dari menunggu yang sebentar dan yang lama. Oh ya. saya lupa. Apa kabar kamu yang di Jogja?

Bersambung...

Diketik dengan Hape. Palembang, November 2016

Comments

Popular posts from this blog

'Menikah itu Biasa Saja'

/1/. Saya sepertinya akan selalu memikirkan pembuka novel Anna Karenina karangan Leo Tolstoy sampai kapan pun. "Keluarga bahagia, bahagia dengan cara yang sama. Keluarga tidak bahagia, tidak bahagia dengan caranya masing-masing," tulisnya. Dan saya menikah. Mengucap janji di hadapan penghulu, orang tua, saksi, hadirin yang datang, dan tentu saja pacar saya yang menjadi istri saya: Yeni Mutiara. Mungkin aneh. Tapi saya berharap ini biasa saja. Seperti menggubah lagu Efek Rumah Kaca yang dimuat dalam album debut eponimnnya. Ketika rindu, menggebu gebu, kita menunggu Jatuh cinta itu biasa saja. /2/. Saya masih mengingatnya. Tertanggal 4 Maret. Pagi tiba ketika kapal laut mengangkat sauh di selat sunda. Itu kali pertama Abah, Ibuk, Adek, dan Budhe mengalaminya. Kami duduk di ruang terbuka. Mengamati gugusan pulau kecil dengan pepohonan kelapa yang berjejer, seperti lanskap di buku gambar anak-anak. Sesekali kami minum kopi, memakan cemilan, dan meresapi udara se

Kau, Cahaya

Di hadapan pintu kebahagiaan. Kesedihan menyeruak, membawa pedih, menggigilkan tubuh waktu sebelum keberangkatan. Segala yang bernyawa, berujung tiada. Pada keheningan itu, sebelum maut. Nama umat yang kau sebut Seorang penyair melagukannya. Sebatang pohon kurma menangis, tatkala kau pergi. Air matanya luruh melebur embun shubuh. Kesejukan pagi itu, angin yang berhembus di sekitarnya, dan tangis yang belum berhenti, seperti pertanda perasaan kehilangan, yang akan selamanya. Tapi mengapa nama umat yang kau sebut, bukan sorga, juga bukan Tuhan yang menciptakan semuanya, saat kematian itu tiba?  Kau manusia. Mengembala. Berniaga. Bersedih dan bercanda. Dan di hatimu, terbuat dari apa relung sanubari itu, begitu hidup, begitu luasnya. Begitu jernih, menarik semuanya.  Kau yang penuh cinta.  Cahayamu terbit dari kegelapan suatu masa. Pendarnya membuat orang-orang menghampirimu. Bahkan di hari lahirmu, orang yang kelak sangat membencimu, pernah begitu bahagia. Ia haru, ia merdeka

Selamat Ulang Tahun, Istriku

Beberapa puisi ini untukmu.   /1/. Pohon-pohon meranggas di sekujur tubuhnya,  usia dan waktu  berkejaran.  pernah kita memandanginya  di sana-sini  menghitung hari-hari  yang ditinggalkan hujan.  kita terus saja berbicara  menginginkan suatu hari  hanya angin, dingin,  dan luasnya cakrawala.    kau sandarkan kepalamu  di pundakku  tangan kita berpegangan.  Rasanya seperti  menggenggam erat seluruh isi dunia ini.    /2/. Cat yang belum kering  wangi ini akan selalu kuingat  dengan cara terbaik  yang kumiliki.    saat itu, dinding kusam  tubuhnya mengelupas  oleh lupa  dan terabaikan.    kita mengingat suasana  yang kita inginkan  sebelum bulan berganti  dengan penyesalan.    kuas menyapu sekeliling  menghapus kesedihan,  dan dendam  di balik pintu.    perlahan, udara baru  masuk dari ruang tamu  untuk tinggal  dan menetap.    dunia ini bukan ruang tunggu kita memang sengaja diundang  untuk berbahagia.   /3/. Kacamata di atas meja    seringkali aku menemukannya