Skip to main content

KERETA API

Apa jadinya jika kereta api yang romantis tak semanis kisah para pekerjanya?

Saya mengawali tulisan ini ketika sedang berada di stasiun Prabumulih, Sumatra Selatan. 

Stasiun cukup sepi. Sepi sekali. Hanya beberapa gelintir orang saja yang menduduki ruang tunggu dan smoking area. Saya termasuk dari bagian yang duduk di smoking area. Duduk dan berbincang bersama beberapa pegawai kereta api.


"Kereta ke Tanjung Karang masih lama kan, Mas?"

"Iya. Sekitar 1 jam-an lagi."


Jam menunjukkan tepat pukul 21.36. Saya menikmati rokok sembari menyaksikan detail pemandangan yang cukup sepi disekitar rel kereta api stasiun.

Tak ada lagi penjual asongan, gorengan, atau nasi bungkus didalam stasiun. Yang ada hanya lantai yang dingin dan sepi. Kereta pengangkut minyak pertamina yang angkuh. Dan suara hewan-hewan malam yang menambah ramainya kesunyian. 

Saya sendiri saja. Mencoba menarik ingatan ke tahun-tahun yang telah lewat.

Adalah tahun 2013. Tahun yang boleh dibilang merupakan era revolusi kereta api di Indonesia. Semua sistem berubah total di tahun itu. Di tahun kepemimpinan menteri Jonan.

Segala jenis kereta penumpang menjadi semakin ekslusif dan nyaman, juga mahal. Tak ada lagi aktifitas merokok di sambungan gerbong kereta. Tak ada lagi pembayaran uang karcis didalam gerbong. Tak ada lagi yang lain-lain.

Saya tiba-tiba membayangkan Surabaya. Kota yang paling sering saya kunjungi dengan kereta api. Baik sejak masih di Bojonegoro atau ketika sudah di Jombang. Saya cukup sering bertandang kesana. Baik untuk ngamen, mencari kitab kuning, ziarah ke sunan ampel, atau bahkan menggelandang saja dari jembatan merah dan menyusuri bangunan-bangunan tua.

Kereta api pun lalu menjelma objek dari berbagai macam rupa dan cara proses kreatif seseorang melahirkan karya.

Saya pernah menulis puisi tentang kereta api, 


...
Tak ada kereta sehebat remajaku di surabaya
Tak ada kereta semanis bersamamu menuju Jakarta
...


Saya mungkin tak sendiri. Banyak sekali penulis, penyair, dan pengarang yang menulis tentang kereta api. Salah satunya mungkin Sungging Raga. Dengan cerpennya yang cukup liris berjudul: Salju turun di Lempuyangan.

Kendaraan satu ini memang pernah menjadi primadona. Bahkan sampai sekarang. Tapi ada harga tinggi yang harus dibayar untuk semua keindahan itu. Ya. Yang membayar itu adalah penindasan yang dialami para buruh atau pekerjanya.

Sejarah kita menyebut bahwa Belanda atau Inggris barangkali yang mula-mula membawa kendaraan ini ke hindia belanda sebagai pengangkut rempah. Lalu menjadi tumpangan kaum bangsawan. Sampai menjadi sasaran pemogokan oleh Semaoen dan kawan-kawan.

Tahun 1920-an tepatnya. tahun kebangkitan buruh kereta api atas penindasan yang dialami selama bertahun-tahun lamanya. Mulai dari upah rendah, keselamatan kerja yang sering diabaikan, juga tunjangan yang tak pernah diberikan.

Semaoen lalu mengambil kepemimpinan pemogokan itu bersama VSTP atau serikat buruh kereta api di Semarang. Terhitung 12 hari lamanya pemogokan itu dijalankan. Belanda kalang kabut. Perekonomian macet. Sehingga tiada pilihan lain kecuali menuruti tuntutan para buruh yang melawan.

Pemenuhan tuntutan itu tidak lantas membuat semaoen dan para buruh berpuas diri dan berpesta pora. Justru, gerakan buruh di lain tempat semakin digalakkan. Mogok kerja menggurita. Kantor pegadaian mogok. Pekerja pabrik gula mogok. Juga pekerja-pekerja yang lain. 

Sampai semaoen bersama yang lain ditangkap. Tindak tandunya semakin membahayakan. Dia pun lalu diasingkan.

Kelak. Di Uni Soviet, dalam.masa pengasingan itu. Semaoen berhasil menduduki posisi kepemimpinan di negara bagian Tajikistan. 

Tapi berbicara kereta api tak lepas dari mereka yang berjasa menyiapkan jalan, jembatan, dan rel landasan agar kereta api bisa berjalan. Tak terhitung yang mati dalam kerja rodi itu. Ya. Para buruh rendahan itu mati untuk kita yang tertawa diatas gerbong-gerbongnya.

Saya kemudian mengenal Kang Abet. Dia barangkali penerus perjuangan Semaoen. Dia adalah pimpinan serikat pekerja kereta api Jabodetabek.

Saya banyak bertanya tentang seluk beluk kereta api dengan beliau. Mulai dari bagian kerja. Regulasi peraturan. Sampai teknis kerja perkereta apian. Beberapa hal membuat saya terkejut, sekaligus miris.

Kang Abet di PHK sejak tahun 2013. Posisinya saat itu sebagai penjual karcis. Dia di PHK bersama 240 pekerja yang lain gara-gara melakukan mogok kerja.

Bagaimana lantas tidak mogok. Pekerja vital BUMN itu bekerja hanya dijadikan pekerja kontrak, upah lembur tidak dibayar, bahkan upah pokok pun seringkali dicicil.

"Kita pun masih saja tertawa-tawa diatas gerbong kereta."

Undang-undang Ketenagakerjaan ayat 59 mengatur bahwa pekerja kontrak hanya diperbolehkan untuk pekerjaan yang sifatnya sementara dan sekali selesai. Lantas apakah pekerja kereta api itu bekerja untuk sesaat? Para penjaga palang pintu perlintasan itu? Para penjual tiket itu? Dan mereka yang merawat mesin kereta api itu? 

Saya tertegun. Bahkan perusahaan milik negara itu tak menjamin kesejahteraan para pekerjanya. 

"Tapi kita akan terus bangkit. Semakin kuat. Dan ketika tiba waktunya nanti, kita tidak akan bisa dibendung" 

Saya ikut membara. Kang Abet yakin sekali mengucapkan kata-kata itu.

***

Kereta Api Sriwijaya yang akan mengantarkan saya dari stasiun Prabumulih ke Tanjungkarang Lampung ternyata sudah tiba. Ini pertamakalinya saya naik kereta api di luar jawa. Saya tentu akan menikmati perjalanan ini. Saya ingin menyaksikan segala pemandangan yang ada melalui jendela.

Saya mungkin akan menulis puisi lagi. Mungkin juga hanya tiduran saja. Yang pasti prinsip saya jelas untuk para pekerja kereta api yang berjuang dan melawan penindasan itu,

"Saya bersama kalian" 



Diketik dengan Hape. Tarahan Lampung, November 2016


Comments

Popular posts from this blog

Marathon Pertama, Akhirnya

Langit masih gelap. Ribuan orang berbondong-bondong mengenakan pakaian yang semarak dan outfit lari yang lengkap. Mereka semua, dan saya juga, ini rasa-rasanya termasuk sebagian besar orang-orang yang rela tidur sebentar, menempuh perjalanan jauh, berlatih cukup keras, berharap-harap cemas saat undian acak kelolosan, dan mengeluarkan biaya untuk menyakiti diri sendiri demi berlari puluhan kilometer.  Saya berjalan beriringan bersama yang lain menuju garis start. Ada suasana haru, merinding, cemas, bangga, bahagia, dan semangat yang bercampur di sana, seperti potongan perasaan yang melebur halus dan lembut dalam blender jiwa. Sembari melewati jalanan aspal di kompleks candi, rindang pepohonan, dan basah rerumputan setelah hujan, saya mencoba mengingat bagaimana ini semua dimulai.  Saat itu, akhir tahun 2022. Saya mencoba berlari menggunakan aplikasi pengukur waktu, jarak, dan kecepatan dari Nike. Sebelumnya, setelah saya mengalami gejala covid-19 dan mengisolasi diri dua minggu...
PETILASAN ANGLING DHARMA DAN NYAI AMBARWATI Oleh MH Maulana             Desa Bendo, kecamatan Kapas, Bojonegoro menyimpan sebuah tempat unik, mistik, damai, sekaligus kaya sejarah. Tepatnya di sisi waduk Bendo. disana terdapat sebuah tempat Pamoksaan dan petilasan prabu angling dharma da nyai ambarwati. Sebuah tempat menyerupai labirin dengan hiasan batu-batu dan atap dari ilalang kering membuat suasana petilasan terasa rindang dan tenang. Selain itu disisi petilasan ini terdapat waduk bendo yang merupakan tempat pemancingan gratis dengan pemancing yang tak pernah sepi tiap harinya.             Menurut keterangan juru kunci, pak ali. tempat petilasan ini dulunya adalah tempat dimana prabu angling dharma bertemu pertama kali dengan nyai ambarwati dan saling menumbuhkan benih-benih cinta. Selain itu terdapat pula pohon bambu lumayan tinggi yang dipakai sebagai rumah poh...

'Menikah itu Biasa Saja'

/1/. Saya sepertinya akan selalu memikirkan pembuka novel Anna Karenina karangan Leo Tolstoy sampai kapan pun. "Keluarga bahagia, bahagia dengan cara yang sama. Keluarga tidak bahagia, tidak bahagia dengan caranya masing-masing," tulisnya. Dan saya menikah. Mengucap janji di hadapan penghulu, orang tua, saksi, hadirin yang datang, dan tentu saja pacar saya yang menjadi istri saya: Yeni Mutiara. Mungkin aneh. Tapi saya berharap ini biasa saja. Seperti menggubah lagu Efek Rumah Kaca yang dimuat dalam album debut eponimnnya. Ketika rindu, menggebu gebu, kita menunggu Jatuh cinta itu biasa saja. /2/. Saya masih mengingatnya. Tertanggal 4 Maret. Pagi tiba ketika kapal laut mengangkat sauh di selat sunda. Itu kali pertama Abah, Ibuk, Adek, dan Budhe mengalaminya. Kami duduk di ruang terbuka. Mengamati gugusan pulau kecil dengan pepohonan kelapa yang berjejer, seperti lanskap di buku gambar anak-anak. Sesekali kami minum kopi, memakan cemilan, dan meresapi udara se...