Skip to main content

SEANDAINYA SAYA BUKAN SEORANG P3S

"Apa sih sebenarnya yang dilakukan orang-orang itu?"

Saya heran. Sangat heran. Mengapa kelompok relawan sekolah rakyat pinggir sungai codhe itu tak kunjung bubar. Padahal saya lihat beberapa pengajarnya sering tidak ikut mengajar. Kalo rapat sepi. Dan beberapa relawannya lebih senang berkesenian dan jalan-jalan daripada membaca teori-teori pendidikan.

Saya sih kurang tahu pasti. Ada yang bilang gerombolan relawan itu mendeklarasikan namanya --nama paguyuban pengajar pinggir sungai (P3S) itu sejak tanggal 30 November 2014 di gedung Xaverius Sanata Dharma. Sambil ngomongin filsafat pendidikan. Ngomongin pendidikan kerakyatan. Ngomongin manifesto P3S. Halah. Sok-sok-an sekali.

Dan sampai hari ini mereka belum bubar juga.

Kadang saya bertanya-tanya. Kenapa sih orang-orang P3S itu tidak memilih melakukan aktifitas lain yang lain saja. Yang lebih berguna gitu. Seperti ikutan jadi tim sukses Parpol. Ikutan audisi artis. Ikutan nggosip sana nggosip sini. Ngapain coba malah ngurusin anak-anak orang. Nggak dibayar lagi. Kalo saya sih mending ngopi aja. Ngomongin teori-teori kehidupan dari malam hari sampai pagi tiba.

"Tuh kan. Mereka emang sering aneh-aneh. Ngapain sih seneng banget bikin acara?"

Mereka ituloh. Nggak punya duit. Seneng banget bikin acara. Ada minggu ceria lah. Pentas hardiknas. Kerja bakti. Pameran. Dan tetek bengek yang lain. Seneng banget sih nyiksa diri. Susah banget jadi manusia normal!

Dan anehnya acara-acara itu bisa berjalan.

"Halaah, paling juga pakek dukun. Atau kalo nggak ya ngemis duit ke salah satu pejabat"

Sumpah. Saya sering marah sendiri kalau lihat anak-anak P3S. Dipikirnya negara tuh nggak becus ngurusin pendidikan. Dipikirnya sekolah-sekolah formal itu nggak bisa membuat pinter anak didiknya. Mereka malah bikin bimbingan belajar alternatif. Bikin rumah baca. Bikin kurikulum belajar ceria. Dasar!. Kuliah aja belum lulus. Udah ngrasa paling bisa berbuat sesuatu untuk negeri ini

"Heh. Tapi ada yang bilang, mereka abis kongres kemarin?"

"Huahahaha. Jangan bercanda deh. Mana mungkin relawan-relawan itu ngerti kongres. Mereka itu ngertinya nyanyi-nyanyi balonku ada lima. Gundul-gundul pacul. Paling banter ya tepuk pramuka."

Saya mengelus dada. Untung saja, saya bukan termasuk bagian dari orang-orang P3S yang udik itu. Orang kok sukanya berjuang untuk orang lain. Ngurusin diri sendiri aja masih susah. Sudahlah. Bubar aja!

Pokoknya banyak hal yang saya nggak sukai dari gerombolan itu.

Salah satunya: Jargon. Iya. jargonnya loh sok heroik sekali. Mereka bilang: belajar bersama. Belajar kok bersama-sama. Belajar ya sendiri-sendiri. Biar pinter sendiri. Biar untung sendiri. Biar kaya raya sendiri juga. Kenapa sih nggak mau nyontoh para birokrat di jakarta sana. Mereka itu kan enak banget hidupnya. Lihat aja rumahnya. Mobilnya. Istri-istrinya. Dan nggak perlu ngurusin rakyat. Lagian rakyat juga bukan bagian trah keluarganya. Huh. Payah!

Tapi emang dasar! Para gerombolan P3S itu emang nggak ada kapoknya. Masak mereka masih juga lancang ngomongin kemandirian. Mereka bilang bahwa prinsip utama organisasi adalah kemandirian. Dengan iuran. Dengan ekonomi kreatif. Dengan mengajak masyarakat untuk mewujudkan cita-cita bersama. Dengan usaha untuk tidak menggantungkan aktifitasnya pada para pendonor. Kayak mereka nggak butuh duit aja. Kenapa sih benci banget sama yang namanya manja-manja. Padahal kan enak. Ditambah suka menjilat dan jadi kutu loncat kan bisa dekat sama penguasa.

Huft. Tapi mereka emang udah dari sononya berkepala batu. Masak mereka ngutip novel jejak langkah-nya pram segala,

"Didiklah rakyat dengan organisasi. Dan didiklah penguasa dengan perlawanan"

Mbuh lah. Sekarepmu!

Saya jadi capek sendiri. Mereka emang terlalu kuat untuk bisa dikalahkan. Mereka terlalu solid untuk bisa dihancurkan. Mereka sudah terlalu saling percaya untuk tujuan bersama. Mereka sudah terlalu sering bangkit dari berbagai persoalan yang ada.

"Loh. Kok saya malah memuji mereka sih"

Tapi emang sih. Soal kesabaran, ketulusan, dan dedikasi mereka memang cukup tangguh. Mereka mau belajar. Mengevaluasi diri. Menginovasi hal-hal lama agar semakin menarik. Mereka juga terbuka. Siapapun yang ingin belajar dan bergabung, mereka siap mengulurkan tangganya. Mereka percaya bahwa pendidikan alternatif semacam itu bisa dilakukan anak muda kapanpun dan dimanapun berada.

"Saya kok malah jadi tertarik sama P3S gini sih"

Mereka memang masih muda. Terhitung hari ini mereka berumur dua tahun. Tapi nampaknya mereka semakin siap dan matang untuk berbenah yang semakin baik. Melangkah yang semakin bijak. Dan berproses yang semakin jauh. Saya percaya, perubahan-perubahan kecil untuk negeri ini ada di tangan-tangan dingin mereka.

"Oh ya, ngomong-ngomong open recruitmen untuk pendaftaran relawan baru P3S kapan ya? Saya mau nggabung. Hehee."

Diketik dengan Hape. Buat Ulang tahun P3S yang ke-2. Karawang, 30 November 2016

Comments

Popular posts from this blog

Marathon Pertama, Akhirnya

Langit masih gelap. Ribuan orang berbondong-bondong mengenakan pakaian yang semarak dan outfit lari yang lengkap. Mereka semua, dan saya juga, ini rasa-rasanya termasuk sebagian besar orang-orang yang rela tidur sebentar, menempuh perjalanan jauh, berlatih cukup keras, berharap-harap cemas saat undian acak kelolosan, dan mengeluarkan biaya untuk menyakiti diri sendiri demi berlari puluhan kilometer.  Saya berjalan beriringan bersama yang lain menuju garis start. Ada suasana haru, merinding, cemas, bangga, bahagia, dan semangat yang bercampur di sana, seperti potongan perasaan yang melebur halus dan lembut dalam blender jiwa. Sembari melewati jalanan aspal di kompleks candi, rindang pepohonan, dan basah rerumputan setelah hujan, saya mencoba mengingat bagaimana ini semua dimulai.  Saat itu, akhir tahun 2022. Saya mencoba berlari menggunakan aplikasi pengukur waktu, jarak, dan kecepatan dari Nike. Sebelumnya, setelah saya mengalami gejala covid-19 dan mengisolasi diri dua minggu...
PETILASAN ANGLING DHARMA DAN NYAI AMBARWATI Oleh MH Maulana             Desa Bendo, kecamatan Kapas, Bojonegoro menyimpan sebuah tempat unik, mistik, damai, sekaligus kaya sejarah. Tepatnya di sisi waduk Bendo. disana terdapat sebuah tempat Pamoksaan dan petilasan prabu angling dharma da nyai ambarwati. Sebuah tempat menyerupai labirin dengan hiasan batu-batu dan atap dari ilalang kering membuat suasana petilasan terasa rindang dan tenang. Selain itu disisi petilasan ini terdapat waduk bendo yang merupakan tempat pemancingan gratis dengan pemancing yang tak pernah sepi tiap harinya.             Menurut keterangan juru kunci, pak ali. tempat petilasan ini dulunya adalah tempat dimana prabu angling dharma bertemu pertama kali dengan nyai ambarwati dan saling menumbuhkan benih-benih cinta. Selain itu terdapat pula pohon bambu lumayan tinggi yang dipakai sebagai rumah poh...

'Menikah itu Biasa Saja'

/1/. Saya sepertinya akan selalu memikirkan pembuka novel Anna Karenina karangan Leo Tolstoy sampai kapan pun. "Keluarga bahagia, bahagia dengan cara yang sama. Keluarga tidak bahagia, tidak bahagia dengan caranya masing-masing," tulisnya. Dan saya menikah. Mengucap janji di hadapan penghulu, orang tua, saksi, hadirin yang datang, dan tentu saja pacar saya yang menjadi istri saya: Yeni Mutiara. Mungkin aneh. Tapi saya berharap ini biasa saja. Seperti menggubah lagu Efek Rumah Kaca yang dimuat dalam album debut eponimnnya. Ketika rindu, menggebu gebu, kita menunggu Jatuh cinta itu biasa saja. /2/. Saya masih mengingatnya. Tertanggal 4 Maret. Pagi tiba ketika kapal laut mengangkat sauh di selat sunda. Itu kali pertama Abah, Ibuk, Adek, dan Budhe mengalaminya. Kami duduk di ruang terbuka. Mengamati gugusan pulau kecil dengan pepohonan kelapa yang berjejer, seperti lanskap di buku gambar anak-anak. Sesekali kami minum kopi, memakan cemilan, dan meresapi udara se...