Skip to main content

HABEDE, BEB

Namanya Reres. Lengkapnya restu lathifah. Tanah Tegal adalah kota dimana dia tinggal. Barangkali juga tempat dimana awal tahun setelah kelahirannya tertanggal.

"Reres ulang tahun loh"

"Ah, mosok?"

Di masa-masa awal semester dia berkacamata, lugu, polos, dan tak banyak bicara. Mungkin dia masih enggan menampilkan dirinya yang energik, ceria, dan suka banyak bercanda. Tapi itu di masa yang lewat. Waktu bisa merubah apa saja. Termasuk hatinya reres yang suatu waktu bisa berlabuh ke lain dermaga.

"Iki reres enak e diapakne?"

"Diumbah, terus dijemur"

"Hah?"

Dia punya suara seperti penyiar radio, di masa SMA-nya pernah menjadi model, dan beberapa hari belakangan ini sibuk dengan bisnis jilbanya. Ya. Dia sedang ingin menabung untuk membantu calon suami, tapi suaminya yang mana? Ini masih misterius. Tapi dia cukup optimis. Pada akhirnya lelaki manapun akan bangga melihat perempuan yang melipat jilbab, memasukkan ke dalam plastik kresek, dan menerima beberapa lembar kertas merah bergambar sukarno hatta.

Dan kini hari itu tibalah juga. Tertanggal 4 November, dia sudah genap mengedipkan mata di dunia yang semakin tua ini selama 21 tahun lamanya. Banyak hal yang datang dan pergi. Banyak orang yang sudah jadi pertimbangan untuk pantas tidaknya dicintai. Ya. Sebab berbicara mengenai Reres adalah membicarakan tentang seorang biasa yang luar biasa. Dia adalah salah satu yang awal sekali ikut bersama mendampingi anak-anak di kali codhe yang suatu pulang seringkali menghabiskan kopi dan malam di kedai pocinan. Lalu perempuan yang tangguh menjejaki puncak gunung sikunir dan prau. Juga perempuan yang selalu rindu kawan-kawannya untuk kembali memasang tenda lagi di pinggir pantai, tiduran diatas pasir, bermalam bersama angin, dan menghitung bintang-bintang jatuh sambil menunjuk yang manakah kerlip cahaya terbaiknya.

"Iki engko langsung nang kos e wae berarti?"

"Yowes. Manut"

Lalu masa kuliah pun seperti rokok yang lama dihisap. Ya. Semakin sampai pada ujung yang akhir. Begitupun reres yang saat ini sedang berjuang mengerjakan skripsi. Judulnya cukup cadas. Pokoknya tentang kesejahteraan buruh outsorching di kotanya. Barangkali hal ini juga sedikit dipengaruhi dia yang pernah terlibat dalam aksi may day. Dimana keadilan untuk buruh di negeri ini masih jauh dari kata cukup apalagi sempurna. Tapi toh tetap saja. Reres adalah reres. Dia yang kadang kesepian, kadang marah dengan keadaan, pun bosan dengan keseharian yang seringkali begitu-begitu saja.

Reres pun kemudian memilih beraktifitas. Mewarnai kehidupan sehari-hari tidak hanya dengan warna hitam dan putih. Dia menjadi seorang yang peduli. Pernah menjadi pencatat kas dan arisan komunitas kami dengan kesabaran ekstra menghadapi kawan-kawannya yang kadang tak tahu diri. Pernah menjadi aktor teater dengan semangat tinggi. Lalu menjadi panitia konsumsi terhebat jika dipasangkan dengan simbok. Juga seorang yang selalu bertanggung jawab atas tugas-tugasnya.
 
Namun Reres adalah seorang yang seringkali membela diri dengan bilang, "Aku tuh ndak gendut, tapi montok". Belakangan ini sih memang nampaknya dia agak kurus. Tapi biarpun panas atau hujan. Musim berganti. Daun-daun berguguran. Apapun yang terjadi dengan dia, kawan-kawan seringkali memanggilnya 'kurus'. Semacam doa, yang ketika diucap tangan-tangan malaikat mengaminkannya.

"Oke. Senin sore yo berarti?"

"Siap"

Begitulah beb pokoknya. Semoga ulang tahun. Selamat panjang umur. Kami belum tahu juga nanti sore akan membuatmu menjadi apa.

Semoga aja sih tetap ada makan-makan, telur, tepung, dan siksaan-siksaannya. Haha!

Senin. 7 November. Selesai ditulis waktu adzan ashar untuk wilayah jogja dan sekitarnya.

Comments

Popular posts from this blog

Marathon Pertama, Akhirnya

Langit masih gelap. Ribuan orang berbondong-bondong mengenakan pakaian yang semarak dan outfit lari yang lengkap. Mereka semua, dan saya juga, ini rasa-rasanya termasuk sebagian besar orang-orang yang rela tidur sebentar, menempuh perjalanan jauh, berlatih cukup keras, berharap-harap cemas saat undian acak kelolosan, dan mengeluarkan biaya untuk menyakiti diri sendiri demi berlari puluhan kilometer.  Saya berjalan beriringan bersama yang lain menuju garis start. Ada suasana haru, merinding, cemas, bangga, bahagia, dan semangat yang bercampur di sana, seperti potongan perasaan yang melebur halus dan lembut dalam blender jiwa. Sembari melewati jalanan aspal di kompleks candi, rindang pepohonan, dan basah rerumputan setelah hujan, saya mencoba mengingat bagaimana ini semua dimulai.  Saat itu, akhir tahun 2022. Saya mencoba berlari menggunakan aplikasi pengukur waktu, jarak, dan kecepatan dari Nike. Sebelumnya, setelah saya mengalami gejala covid-19 dan mengisolasi diri dua minggu...
PETILASAN ANGLING DHARMA DAN NYAI AMBARWATI Oleh MH Maulana             Desa Bendo, kecamatan Kapas, Bojonegoro menyimpan sebuah tempat unik, mistik, damai, sekaligus kaya sejarah. Tepatnya di sisi waduk Bendo. disana terdapat sebuah tempat Pamoksaan dan petilasan prabu angling dharma da nyai ambarwati. Sebuah tempat menyerupai labirin dengan hiasan batu-batu dan atap dari ilalang kering membuat suasana petilasan terasa rindang dan tenang. Selain itu disisi petilasan ini terdapat waduk bendo yang merupakan tempat pemancingan gratis dengan pemancing yang tak pernah sepi tiap harinya.             Menurut keterangan juru kunci, pak ali. tempat petilasan ini dulunya adalah tempat dimana prabu angling dharma bertemu pertama kali dengan nyai ambarwati dan saling menumbuhkan benih-benih cinta. Selain itu terdapat pula pohon bambu lumayan tinggi yang dipakai sebagai rumah poh...

'Menikah itu Biasa Saja'

/1/. Saya sepertinya akan selalu memikirkan pembuka novel Anna Karenina karangan Leo Tolstoy sampai kapan pun. "Keluarga bahagia, bahagia dengan cara yang sama. Keluarga tidak bahagia, tidak bahagia dengan caranya masing-masing," tulisnya. Dan saya menikah. Mengucap janji di hadapan penghulu, orang tua, saksi, hadirin yang datang, dan tentu saja pacar saya yang menjadi istri saya: Yeni Mutiara. Mungkin aneh. Tapi saya berharap ini biasa saja. Seperti menggubah lagu Efek Rumah Kaca yang dimuat dalam album debut eponimnnya. Ketika rindu, menggebu gebu, kita menunggu Jatuh cinta itu biasa saja. /2/. Saya masih mengingatnya. Tertanggal 4 Maret. Pagi tiba ketika kapal laut mengangkat sauh di selat sunda. Itu kali pertama Abah, Ibuk, Adek, dan Budhe mengalaminya. Kami duduk di ruang terbuka. Mengamati gugusan pulau kecil dengan pepohonan kelapa yang berjejer, seperti lanskap di buku gambar anak-anak. Sesekali kami minum kopi, memakan cemilan, dan meresapi udara se...