Skip to main content

JAWABAN SUKAB*

(Ini 'semacam cerpen suka-suka' yang saya buat atas beberapa cerpen mahaguru Seno Gumira Ajidarma yang membuat saya gregetan. Terutama Cerpen Sepotong senja untuk pacarku, epilog: surat, dan Jawaban Alina. Monggo, buat yang selo. Sila membaca ketiga cerpen tersebut di duniasukab.com sebelum membaca 'semacam' cerpen saya. Atau mau langsung dibaca, bahkan tidak dibaca pun sungguh sangat tidak apa-apa. Hayuk. Tetap SemangART berkarya)

JAWABAN SUKAB*
Oleh: MH Maulana

Dan aku membaca suratmu, Alina. Tepat saat kusaksikan tubuhmu lunglai dengan mata nanar memandang senja sambil memegang Indomie terakhir di dunia.

Kau pun tahu. Di dunia yang dibatasi oleh nama-nama ini pernah tinggal orang suci. Kau mungkin pernah mendengar ceritanya saat masih sekolah dasar. Atau sebelum kau terjun di pekerjaanmu yang penuh perhitungan --kau yang suka membaca itu-- pernah membeli buku kisah 25 nabi di pasar loakan.

Dalam halaman yang entah, diceritakanlah Nabi Yunus(1). Dia diselamatkan ikan Paus dari pelariannya atas penduduk nuwawa yang membuat hatinya pupus. Entah apakah aku sesalih Yunus. 40 hari yang jika aku masih mengingat waktu, aku terus menyebut namamu dalam perut ikan paus --Selebihnya kurasakan kekosongan.

Dan suara lengking paus yang mungkin baru saja kau dengar adalah suara rinduku yang paling dalam.

Aku mencintaimu, Alina. Sangat mencintaimu, dan masih teramat sangat mencintaimu. Sampai kadang aku bingung apakah aku sedang mencintaimu atau mencintai cinta itu sendiri. Aku teringat Rumi, di Negeri cinta, akal digantung. Tapi mungkin kau pun mengira kita tidak sedang di negeri cinta, negeri ini nyata akan habis hanya gara-gara Amplop surat yang berisikan sepotong senja paling picisan di dunia.

Kau pun tahu Alina. Ruang dan waktu yang kita namai ini terus berubah. Begitupun suratmu yang kubaca ini. Juga suratku yang baru sampai padamu setelah sepuluh tahun berlalu.

Aku menghabiskan sepuluh tahun waktuku dengan masih saja mencintaimu. Pun menunggu balasan suratmu.

Aku pergi ke banyak tempat. Bekerja apa saja, dari kuli bangunan sampai menjual batu akik di pinggir-pinggir jalan. Semua kusiapkan untuk membangun rumah yang atapnya langsung menghadap bintang-bintang dan rembulan --sebagai pelengkap sepotong senja yang kukirimkan.

Tapi alina, sepotong senja yang kukirimkan itupun tak kunjung mendapat balasan. Aku sedih. Aku juga kecewa. Mungkin kau sibuk atau kau benar-benar tak peduli sepotong senja itu. Tapi sungguh Alina, aku masih tetap menunggumu, masih tetap mencintaimu. Dengan getar dan debar yang masih saja sama saat kita pertama kali berjumpa.

Alina, Alina. Bulan sudah berganti tahun. Suratmu masih belum juga datang. Kini Negara sudah semakin tak karuan, aku melihat orang-orang semakin kehilangan cinta. Mungkin juga kehilangan akal sehatnya. Bagaimana negeri yang kaya raya ini bisa memunculkan orang-orang kaya yang hanya segelintir saja. Modal-modal asing begitu menggurita. Aku tahu, ini berdampak langsung di pekerjaanmu yang penuh perhitungan. Tentunya, kau jadi semakin sibuk, kau jadi semakin terpuruk. Pekerjaanmu Delapan jam ditambah ancaman pemecatan yang kapan-kapan bisa datang. Itulah Alina, yang membuatku khawatir kau tak mampu lagi menikmati hal yang remeh temeh dan bagian dari kegembiraan(2) kita saat masih sering bersama, seperti membaca puisi, menulis prosa, dan menonton pertunjukan drama.

Almanak sudah berganti rupa, Alina. Dan suratmu pun aku tak tahu bagaimana kabarnya.

Pernah aku bertemu seseorang yang mirip sekali denganmu, Alina. apalagi ketika dia tertawa. Pupus sudah segala resah yang gulana. Perempuan itu bernama Elika. Kami bertemu saat insiden masjid, gereja, wihara, pura, dan kuil-kuil dibakar(3) oleh orang-orang demi kelancaran ekonomi politik segelintir perusahaan. Dalam insiden itu, kami jadi relawan bagian kesehatan dan pendataan. Kau juga mengikuti insiden itu kan, Alina --mungkin di ruang kerjamu yang sumpek, kau menonton TV sambil mengutuki orang-orang tak bertanggung jawab yang mengatasnamakan agama untuk melakukan kejahatan,

"Dasar Jahannam"

Dan situasi negara saat itu benar-benar memanas.Krisis Ekonomi terjadi, orang-orang berperang menggunakan senjata. Ada yang atas nama Agama, Ras, Suku, sudut pandang berpikir, bahkan remaja jomblo dan yang bukan jomblo. Padahal perang itu dimaksudkan agar pabrik senjata laku, Pabrik senjata internasional tidak jadi bangkrut. Pun pabrik obat-obatan juga demikian. Tapi orang-orang sudah semakin kalap. Perang saudara itu akhirnya dapat dihentikan ketika tim sepakbola kita dicurangi tim sepakbola tetangga dalam final piala dunia antar benua. Orang-orang yang awalnya bermusuhan akhirnya bersatu untuk menggempur negeri tetangga tersebut, Basoka, Tank, Ak-47, Meriam, Ketapel, sampai Santet sudah disiapkan. Tapi presiden dalam instruksi darurat mengatakan,

"Wahai Rakyatku yang tercinta, permainan sudah selesai. Sudah saatnya kita kembali bekerja"

Dan orang-orang mulai menyadarinya. Uang mereka habis untuk membeli obat dan senjata.

Kau dimana, Alina. Bahkan ketika kejadian itu aku tak mendengar kabarmu. Pun juga suratmu, tapi sungguh. Demi Seperseribu detik(4) waktu, Aku masih mencintaimu.

Akhirnya, setelah kejadian itu, Alina. Aku dan Elika memutuskan untuk pindah kerja. Kami bergabung dengan kelompok petani dan buruh di pelosok negeri. Kami belum saling mencintai, apalagi untuk saling menyakiti dan melupakan.

Di tempat yang baru --dengan bentuk pulau yang tak besar, kami membangun komunitas dan koperasi. Kami biasa bekerja enam jam dalam sehari dengan bidangnya masing-masing, Berkebun, belajar bersama, mencangkul, dan bekerja di pabrik. Kami atur perputaran uang secara kolektif. Kami atur tata kepemilikan rumah dan tanah secara merata. Karena bagi kami, kekayaan tidak boleh dimiliki segelintir orang saja. Dan kau tahu, Alina.Setiap malam setelah bermusyawarah di tempat ini, orang-orang pasti menari. Ya, mereka sering menyebutnya Tarian gasing atau tarian cinta(5)

Dan tahun berganti, Alina --Dan Kau memang benar ketika di suratmu yang baru saja kubaca, kau mengatakan aku bodoh, tolol, dan menyedihkan. Terlalu bodoh dan tolol untuk mencintaimu(6) dan masih menunggu suratmu yang sudah terlalu lama tak ada kabar dan jejaknya.

Beberapa bulan setelah pabrik dan pertanian kami berjalan. Elika memutuskan pergi. Dia bilang hendak menemui penyair gadungan bernama Emha Maulana di pulau seberang. Kami memang sudah bersepakat untuk tidak saling berhubungan serius,

"Sukab, Aku tidak ingin kau nanti mencintaiku hanya untuk lebih mencintai sosok Alina."

"Iya, El. Aku juga tidak berharap demikian. Apakah kau benar-benar tetap akan pergi?"

"Iya Sukab. Dan mungkin tak akan kembali."

Dan Elika pergi. Bersama cintaku padamu yang belum kunjung mati, Alina.

Sudah hampir sepuluh tahun surat dan kabarmu tak kunjung datang, Alina.Sampai sekarang aku masih bekerja di kebun dan masih juga menari setiap malam. Ada larik dalam tarian cinta yang begitu kuingat --dan mengingatkanku padamu,

"Aku sudah ada pada hari itu, tatkala nama-nama belum ada / Dan tatkala tidak ada tanda wujud diberi nama / ... Pada hari tatkala belum ada 'aku' dan 'kita'."(7)

Hingga datang petaka di hari itu, Alina. Di musim kemarau yang kering. Ribuan tentara menyerbu tempat kami dan menangkapi kami. Mereka bilang kami melawan negara. Pabrik yang kami bangun dibakar, sawah-sawah dan kebun dirusak, sekolah yang kami dirikan pun dihancurkan tak tersisa. Beberapa dari kami dibawa ke pinggir pantai. Dibungkus karung berisi pemberat dan dibuang ke samudera. Aku ingat sebelum aku ditangkap. Ada orang-orang merencanakan pemusnahan kami karena aktifitas yang kami lakukan terlalu berbahaya untuk kepentingan modal internasional, juga akan menimbulkan banyak rakyat sadar akan pentingnya kedaulatan ekonomi politik dan pendidikan secara mandiri.

Aku ditangkap di tengah hutan, Alina. Dipukul popor senapan. Pingsan. Aku dimasukkan karung dan digotong oleh dua orang yang samar-samar sadar aku mendengar akan ada konspirasi sepotong senja paling picisan di dunia. Mereka bilang ada salah satu bukit yang menyimpan cadangan minyak terbesar di dunia. Tapi pengeborannya terlalu beresiko. Mereka bilang kalau pengeboran itu gagal, maka akan ada banjir paling besar di dunia. Dan perusahaan akan menghubungkan bencana itu dengan surat ajaib yang berisi sepotong senja oleh seseorang yang pernah jatuh cinta sepuluh tahun yang lalu.

Aku merasakan tubuhku terlempar di lautan yang maha luas, Alina. Asin air laut kurasakan memenuhi kerongkonganku. Setelah hampir tidak sadar aku merasakan seseorang membukakan ikatan tali karungku. Aku bisa melihatnya. lelaki tampan dengan wajah bercahaya,

"Siapakah kamu, Tuan?"

"Aku Dzun(8)"

"Bagaimana bisa..."

"Aku hanya melakukan apa yang pernah orang lain lakukan padaku"

Perlahan sosok itu menghilang bersama semburat cahaya jingga senja di lautan. Tubuhku tiba-tiba mengecil. Meliuk-liuk. Dan aku sepertinya berubah menjadi cacing(9). Tepat saat kulihat ikan paus membuka mulutnya, sehingga aku masuk di dalamnya.

Berhari-hari aku menyebut namamu, Alina. Suara hatiku mengatakan terjadi bencana maha dahsyat di bumi. Tapi kau masih kurasakan bertahan disana. Ada bayangan dalam diriku, kita berdua akan memulai peradaban yang baru. Di dalam perut paus aku terus membaca lirik-lirik cinta. Aku mulai tak bisa lagi membedakan ruang dan waktu. Sampai saat kubuka mata. Tubuhku menjadi utuh kembali. Kurasakan ikan paus hendak menghirup nafas di atas laut. Dan kulihat bumi hampir terisi penuh oleh air. Tak ada gedung-gedung, pepohonan, dan manusia. Tapi, tunggu. Aku sepertinya melihat sesosok perempuan diatas puncak gunung. Ya, seperti gunung himalaya yang tinggal ujungnya. Ya, sepertinya juga perempuan itu memegang indomie. Lalu ikan paus menceburkan diri kembali. Aku merasakan perempuan itu dirimu, Alina. Sungguh aku rindu sekali.

Lalu, Ikan paus yang menelanku ini hendak mengambil nafas lagi. Kuputuskan saat itu aku akan melompat.

Dan benar. Tepat saat ikan paus membuka mulut, aku langsung melompat keluar.

Kurasakan dingin air samudera. Kugapai bongkahan kayu yang mengambang. Aku akan segera menemuimu Alina. Dan hei, ada perahu kertas mungil yang berlayar sendirian.

Kubuka perlahan perahu kertas itu. Dan disitu tertulis namamu. Oh Cinta. Oh Alina. Aku masih sulit percaya. Segalanya nampak seperti cerita pendek.

Akhirnya aku tahu sekarang. Tentang tukang pos, Tentang Kesalahpahaman kita, Tentangmu yang sudah berkeluarga, tentang konspirasi. Tentang kita yang sudah sepuluh tahun. Oh Cinta. Oh Alina.

Bongkahan kayu ini pun sampai di daratan satu-satunya di dunia. Aku merasakan kakiku sudah lama tak berjalan. Mulai kugerakkan kakiku pelan-pelan. Menghampirimu dari depan. Sampai jarak beberapa meter dihadapanmu.

Oh Cinta. Oh Alina. Aku tak percaya atas apa yang kulihat. Penulis cerita ini pun tak percaya atas apa yang dia tulis. Aku melihatmu, Alina. Memakan indomie dengan lauk kedua bola matamu sendiri. Aku melihat mulutmu penuh darah. Pun wajahmu. Setelah kedua bola matamu kau telan, kau mulai memakan jari-jarimu, terlihat kau cukup kesulitan mengoyaknya. Aku masih tak percaya dengan apa yang kulihat. Kukucek mataku dengan telapak tangan. Tapi tak ada yang berubah. Kulihat penulis cerita ini pun sama. Mengucek matanya. Tidak percaya dengan apa yang dia tulis.

Lalu, dengan keberanian terakhir di dunia. Aku panggil namamu, Alina. Tapi kau tak mendengar. Aku menghampirimu. Tapi kau tak bergeming. Aku Menyentuh pundakmu. Tapi kau tiba-tiba tergeletak. Dan mati. Ya, Mati.

Kulihat kunang-kunang(10) jingga keluar dari mulutmu yang terbuka, Alina. Dan kunang-kunang itu menuju senja yang perlahan menggulita.

Kini nampaknya tinggal aku sendiri di bumi. Sunyi. Sepi. Begitu menakutkan.Bersama lengkung jingga yang perlahan menghitam, Aku teringat salah satu halaman penting di kitab omong kosong,

"Manusia pertama, memandang bumi. Bertanya, dirinya datang dari mana. Manusia terakhir memandang langit. Bertanya, dirinya hendak pergi kemana."(11)

***

CATATAN:
*Semacam cerpen suka-suka atas cerpen seno gumira Ajidarma: Sepotong Senja untuk Pacarku, Epilog Surat, dan Jawaban Alina

(1). Dinukil dari kisah nabi Yunus dalam buku 25 nabi
(2). Meminjam judul puisi acep zamzam noor - bagian dari kegembiraan
(3). Membaca tragedi poso, tanjung priok, tolikara, dll
(4). Meminjam Judul cerpen seno gumira - seperseribu detik sebelum pukul 16.00
(5). Terinspirasi tarian shema thariqat maulawiyah maulana jalaludin rumi
(6). Terinspirasi film Taiwan 'you are aple of my eye' yang kurang lebih dialognya, "Hanya orang bodoh yang mencintaimu sampai saat ini"
(7). Diambil dari buku sepilihan puisi lagu seruling rumi - aku sudah ada hlm. 71 (terj. Abdul Hadi WM)
(8). Secuplik Kisah Sufi - Dzun nun al-misri
(9). Terinspirasi kisah syeh siti jenar dan sunan bonang
(10). Terinspirasi beberapa cerita kunang-kunang Agus noor, seperti kunang-kunang di Langit jakarta dan requiem kunang-kunang
(11). Novel Kitab omong kosong seno gumira, lupa halaman berapa


Diketik dengan Hape. Kampung halaman, Juli 2015

Comments

Popular posts from this blog

'Menikah itu Biasa Saja'

/1/. Saya sepertinya akan selalu memikirkan pembuka novel Anna Karenina karangan Leo Tolstoy sampai kapan pun. "Keluarga bahagia, bahagia dengan cara yang sama. Keluarga tidak bahagia, tidak bahagia dengan caranya masing-masing," tulisnya. Dan saya menikah. Mengucap janji di hadapan penghulu, orang tua, saksi, hadirin yang datang, dan tentu saja pacar saya yang menjadi istri saya: Yeni Mutiara. Mungkin aneh. Tapi saya berharap ini biasa saja. Seperti menggubah lagu Efek Rumah Kaca yang dimuat dalam album debut eponimnnya. Ketika rindu, menggebu gebu, kita menunggu Jatuh cinta itu biasa saja. /2/. Saya masih mengingatnya. Tertanggal 4 Maret. Pagi tiba ketika kapal laut mengangkat sauh di selat sunda. Itu kali pertama Abah, Ibuk, Adek, dan Budhe mengalaminya. Kami duduk di ruang terbuka. Mengamati gugusan pulau kecil dengan pepohonan kelapa yang berjejer, seperti lanskap di buku gambar anak-anak. Sesekali kami minum kopi, memakan cemilan, dan meresapi udara se

Kau, Cahaya

Di hadapan pintu kebahagiaan. Kesedihan menyeruak, membawa pedih, menggigilkan tubuh waktu sebelum keberangkatan. Segala yang bernyawa, berujung tiada. Pada keheningan itu, sebelum maut. Nama umat yang kau sebut Seorang penyair melagukannya. Sebatang pohon kurma menangis, tatkala kau pergi. Air matanya luruh melebur embun shubuh. Kesejukan pagi itu, angin yang berhembus di sekitarnya, dan tangis yang belum berhenti, seperti pertanda perasaan kehilangan, yang akan selamanya. Tapi mengapa nama umat yang kau sebut, bukan sorga, juga bukan Tuhan yang menciptakan semuanya, saat kematian itu tiba?  Kau manusia. Mengembala. Berniaga. Bersedih dan bercanda. Dan di hatimu, terbuat dari apa relung sanubari itu, begitu hidup, begitu luasnya. Begitu jernih, menarik semuanya.  Kau yang penuh cinta.  Cahayamu terbit dari kegelapan suatu masa. Pendarnya membuat orang-orang menghampirimu. Bahkan di hari lahirmu, orang yang kelak sangat membencimu, pernah begitu bahagia. Ia haru, ia merdeka

Selamat Ulang Tahun, Istriku

Beberapa puisi ini untukmu.   /1/. Pohon-pohon meranggas di sekujur tubuhnya,  usia dan waktu  berkejaran.  pernah kita memandanginya  di sana-sini  menghitung hari-hari  yang ditinggalkan hujan.  kita terus saja berbicara  menginginkan suatu hari  hanya angin, dingin,  dan luasnya cakrawala.    kau sandarkan kepalamu  di pundakku  tangan kita berpegangan.  Rasanya seperti  menggenggam erat seluruh isi dunia ini.    /2/. Cat yang belum kering  wangi ini akan selalu kuingat  dengan cara terbaik  yang kumiliki.    saat itu, dinding kusam  tubuhnya mengelupas  oleh lupa  dan terabaikan.    kita mengingat suasana  yang kita inginkan  sebelum bulan berganti  dengan penyesalan.    kuas menyapu sekeliling  menghapus kesedihan,  dan dendam  di balik pintu.    perlahan, udara baru  masuk dari ruang tamu  untuk tinggal  dan menetap.    dunia ini bukan ruang tunggu kita memang sengaja diundang  untuk berbahagia.   /3/. Kacamata di atas meja    seringkali aku menemukannya