Skip to main content

SAMBAL TERI AMBA

"Aku bar nyoba gae sambel teri"

Pukul 12.42 sms itu masuk. Cuaca langit Jogja sedang mendung-mendungnya. Dan benar saja tak lama kemudian datang hujan deras dan angin kencang yang bertiup kesana-kemari.

Saya bertahan di kontrakan Wisnu. Sendiri. Mencoba menyelesaikan beberapa editan tulisan untuk persiapan acara Anniversary 2 tahun relawan pengajar pinggir sungai codhe. Tak cukup hanya dengan angin dan hujan kencang itu, listrik tiba-tiba padam. Laptop yang dicolokkan itu juga ikut padam. Untung saja editan tulisan tersebut terselamatkan.

Sembari menghentikan aktifitas yang dihentikan listrik padam tersebut, saya goda si pengirim sms-nya

"Iku cuma ngabari opo dikon nyicipi"

" Dua-duanya"

Begitulah dia menjawab. Dan dia berencana membawakan sambel teri buatannya saat malam nanti kita bertemu. 

***

Adalah Amba. Perempuan yang selalu bilang bisa masak tapi tidak mau kalau masakannya dicicipi orang lain. Barangkali masakannya memang hanya dibuat untuk dirinya sendiri. Atau dia sedang mengembangkan eksperimen masakan menjadi resep yang tak mudah ditiru sembarang orang. Apapun itu, nampaknya adalah hal yang menarik.

Saya selalu percaya. Para pembuat masakan itu adalah seniman terbaik yang begitu besar peranannya dalam kehidupan ini. Bayangkan saja penemu gado-gado, rujak, pecel, dan segala macam jenis masakan sayur tentu adalah pelopor percampuran bumbu dan bahan masakan yang terus abadi di kehidupan kita sehari-hari.

Saya membayangkan para pelopor masakan itu adalah para pemberani dan penantang resiko yang kreatif dan selalu siap gagal. Bayangkan saja bagaimana ide menemukan sambal kacang dengan berbagai macam sayuran atau bahkan buah-buahan sehingga menjadi makanan yang legendaris dan tentu saja ; abadi.

Diantara berbagai eksperimen dan inovasi masakan tersebut salah satunya melahirkan sambal dengan berbagai jenis dan rupa. Bahan-bahan dasar cabai tersebut ada yang menggunakan campuran tomat, pepaya, terasi, teri, dengan pengolahannya yang mentah, matang, atau bahkan dipanggang. Sambal ini juga yang akhirnya menjadi pilihan utama setelah nasi untuk melengkapi selera makan masyarakat nusantara. Sehingga tak heran jika ada orang yang merasakan makan kurang lengkap hanya karena ketidakhadiran sambal dalam menu makanannya.

Hari itu (8/10) pun saya dibuat cukup penasaran dengan sambal teri olahan tangan kreatifnya Amba. Masakan buatannya mengingatkan saya dengan nasi goreng 'konflik' yang pernah kita berdua buat.

Perkenalan saya dengan sambal dimulai sejak usia awal sekolah dasar. Koki terbaik di dunia lah yang membuat saya mencintai masakan tersebut. Ya. Dia adalah ibu saya. Di usia SD, saya dibuatkan ibuk sambal matang dengan tomat, cabai merah panjang, dan satu atau dua cabai pedas. Biasanya juga diberi tambahan terasi. Sambal inilah yang seringkali dipenyet bersama tempe dan telur dadar. Seiring bertambahnya usia juga membuat bertambahnya jumlah cabai yang dihancurkan oleh cobek legendaris tercinta ibu saya.

Malam itu saya memang bertemu Amba. Tapi karena berbagai kendala sambal itu tak terbawa. Sehingga nanti sambal teri tersebut harus diambil terlebih dahulu di kontrakan. Oke. Kenapa tidak?

Malam hampir purna ketika saya tiba di kontrakannya. Sambal teri tersebut diwadahi toples imut kecil. Dimasak siang tadi dan sudah dibuat matang sehingga tidak khawatir akan basi. Saya pun kemudian langsung membawanya menuju kos galih. Mengingat saya yang juga akan bermalam disana.

Saya sengaja hendak mencoba sambal teri buatan tangan Amba malam itu juga. Meskipun saya sudah makan setelah maghrib, tentu hal tersebut bukanlah suatu masalah. Sebab bagi saya, cara mencoba masakan yang baik bukanlah saat perut kita lapar. Karena seringkali semua makanan menjadi enak hanya karena perut kita lapar saat menikmatinya.

Mulanya saya membeli nasi terlebih dahulu di depan kos Galih. Lalu saya coba beberapa potong teri berselimut ulekan cabai tersebut. Saya mengira sambel teri ini mungkin akan terlalu asin, karena mengolah sambal teri butuh ketelitian akan garam sebab ikan terinya juga sudah berasa asin. Tapi dugaan saya tidak terbukti. Ulekan ikan teri dan sambal cabai yang bercampur tersebut ternyata tidak berlebihan rasa asinnya. Ya. Amba berhasil. Gurih ikan teri, irisan tomat, dan ulekan bumbu bawangnya berpadu mantap dengan rasa pedas dan asinnya.

Saya membayangkan Amba begitu bersemangat ketika memasaknya. Ya. Dia pergi belanja ke tukang sayur pagi-pagi sekali. Memilih Teri, tomat, cabai dan bahan-bahan lain untuk segera di eksekusi di dapur kontrakannya. Dia pun mengupas bawang sambil menahan pedih, memotong kecil-kecil cabai, dan mencuci sebentar bahan-bahan yang telah siap dimasak. Ya. Sampai tahapan akhir dimana semua-mua komposisi itu diremuk-hancurkan oleh cobek. Saya menilai, meskipun sambal teri itu masih menyisakan sedikit irisan kecil tomat dan kulit cabai yang tidak ikut hancur, tapi kira- kira memang disitulah seninya.

Barangkali satu hal yang membuat Amba begitu termotivasi semangat memasaknya adalah saat setelah satu hari sebelumnya saya ajak ke Playen Gunung Kidul dan bertemu dengan Mak'e. Mak'e adalah salah satu Ibu dari buruh konstruksi yang kebetulan sedang kami dampingi. Beliau begitu pandai memasak. Segala kesederhanaan dan bahan masakan yang apa adanya selalu berhasil menjadi masakan yang enak dan memuaskan selera. Saya kira hampir seluruh ibu di segala bumi manusia ini pun demikian. Mereka selalu berhasil menjadi koki terbaik untuk anak dan suaminya. Untuk keluarganya. Dan untuk siapapun juga. Terlepas bagaimana pun masakannya. Sebab memasak adalah proses pengolahan dan penciptaan yang tak akan pernah selesai. Maka bisa jadi benar, Ketidaksempurnaan masakan barangkali hanyalah kesementaraan untuk membuat masakan lagi yang akan enak pada nantinya.

***

Sambal teri buatan Amba itu pun akhirnya tandas. Pedas dan enaknya masih membekas. Barangkali memasak memang dialektis. Bukan kebetulan yang membuat masakan itu enak. Tapi lebih pada hasil dari seringnya kita belajar dari masakan-masakan yang pernah kita masak sebelumnya. Esok harinya pun kami bertemu,

"Sambel teri ne enak. Sesuk masak maneh yoo"

Dia tersenyum. Manis sekali.

Diketik dengan hape. Jogja, November 2016

Comments

Popular posts from this blog

Marathon Pertama, Akhirnya

Langit masih gelap. Ribuan orang berbondong-bondong mengenakan pakaian yang semarak dan outfit lari yang lengkap. Mereka semua, dan saya juga, ini rasa-rasanya termasuk sebagian besar orang-orang yang rela tidur sebentar, menempuh perjalanan jauh, berlatih cukup keras, berharap-harap cemas saat undian acak kelolosan, dan mengeluarkan biaya untuk menyakiti diri sendiri demi berlari puluhan kilometer.  Saya berjalan beriringan bersama yang lain menuju garis start. Ada suasana haru, merinding, cemas, bangga, bahagia, dan semangat yang bercampur di sana, seperti potongan perasaan yang melebur halus dan lembut dalam blender jiwa. Sembari melewati jalanan aspal di kompleks candi, rindang pepohonan, dan basah rerumputan setelah hujan, saya mencoba mengingat bagaimana ini semua dimulai.  Saat itu, akhir tahun 2022. Saya mencoba berlari menggunakan aplikasi pengukur waktu, jarak, dan kecepatan dari Nike. Sebelumnya, setelah saya mengalami gejala covid-19 dan mengisolasi diri dua minggu...
PETILASAN ANGLING DHARMA DAN NYAI AMBARWATI Oleh MH Maulana             Desa Bendo, kecamatan Kapas, Bojonegoro menyimpan sebuah tempat unik, mistik, damai, sekaligus kaya sejarah. Tepatnya di sisi waduk Bendo. disana terdapat sebuah tempat Pamoksaan dan petilasan prabu angling dharma da nyai ambarwati. Sebuah tempat menyerupai labirin dengan hiasan batu-batu dan atap dari ilalang kering membuat suasana petilasan terasa rindang dan tenang. Selain itu disisi petilasan ini terdapat waduk bendo yang merupakan tempat pemancingan gratis dengan pemancing yang tak pernah sepi tiap harinya.             Menurut keterangan juru kunci, pak ali. tempat petilasan ini dulunya adalah tempat dimana prabu angling dharma bertemu pertama kali dengan nyai ambarwati dan saling menumbuhkan benih-benih cinta. Selain itu terdapat pula pohon bambu lumayan tinggi yang dipakai sebagai rumah poh...

'Menikah itu Biasa Saja'

/1/. Saya sepertinya akan selalu memikirkan pembuka novel Anna Karenina karangan Leo Tolstoy sampai kapan pun. "Keluarga bahagia, bahagia dengan cara yang sama. Keluarga tidak bahagia, tidak bahagia dengan caranya masing-masing," tulisnya. Dan saya menikah. Mengucap janji di hadapan penghulu, orang tua, saksi, hadirin yang datang, dan tentu saja pacar saya yang menjadi istri saya: Yeni Mutiara. Mungkin aneh. Tapi saya berharap ini biasa saja. Seperti menggubah lagu Efek Rumah Kaca yang dimuat dalam album debut eponimnnya. Ketika rindu, menggebu gebu, kita menunggu Jatuh cinta itu biasa saja. /2/. Saya masih mengingatnya. Tertanggal 4 Maret. Pagi tiba ketika kapal laut mengangkat sauh di selat sunda. Itu kali pertama Abah, Ibuk, Adek, dan Budhe mengalaminya. Kami duduk di ruang terbuka. Mengamati gugusan pulau kecil dengan pepohonan kelapa yang berjejer, seperti lanskap di buku gambar anak-anak. Sesekali kami minum kopi, memakan cemilan, dan meresapi udara se...