KOMEDI PUTAR KEHIDUPAN*
Oleh MH Maulana
Selamat datang, kawan
Di komedi putar kehidupan.
Di dunia yang serba lelucon dan kekonyolan ini
Kesadaran lah yang jadi pahlawannya.
Namun seperti film-film dan cerita silat.
Pahlawan hanya akan keluar ketika kejahatan telah mengambil
alih
Telah hampir menguasai segalanya.
Di pagi yang buta, ketika siluet matahari masih dipuja-puja
kaum pecinta.
Para petani yang tak punya lahan. Melanjutkan keseharian.
Buruh pabrik yang gontai melangkahkan pijak ke tempat
kerja.
Pekerja tambang mempertaruhkan kehidupannya lagi. Seperti
biasa.
Kaum intelektual datang ke kampus. Untuk datang. Duduk. Dan
pulang kembali.
Setiap hari. Setiap masa. Selalu terulang.
Dimana kesadaran ?
Media kah. Yang setiap hari membentuk pemikiran. Menjadi
panutan. Atau barangkali sudah menjadi tuhan.
Atau mungkin Pendidikan. Yang sampai hari ini membuat kaum
terpelajar untuk terus manut, dan manut pada peraturan
Sementara kita masih menanyakan kesadaran.
Kemiskinan mengambil alih. Menjadi alasan.
Orang mencuri karena kemiskinan.
Perempuan melacurkan diri karena kemiskinan.
Tidak dapat berobat karena kemiskinan.
Pembunuhan merajalela karena kemiskinan.
Siapa yang membuat miskin ?
Siapa yang mau miskin ?
Bagaimana membunuh kemiskinan ?
Sekali lagi kritik adalah angin di negeri ini.
Datang dari ufuk shubuh. Melewati siang kering. Hinggap di
lanskap senja.
Kemudian hilang lagi. Setiap hari. Tak pernah berganti.
Jangan-jangan memang kita sebenarnya yang mau miskin. Mau
menderita.
Berkali-kali kita diingatkan bahwa kita adalah bangsa yang
malas.
Dalam hati. Kita meng-iya-kannya.
Jangan-jangan memang kita pesimis. Kita tidak bersemangat.
Dan kita tidak berontak.
Kalau sudah hati dan pikiran saja tidak mau menyapa
kesadaran.
Bagaimana kita melakukan tindakan ?
Berkali-kali kita menghujat pemerintah.
Mengibliskan kapitalis
Dan kita hanya diam saja
Sesekali turun ke jalan. Menyuarakan perlawanan.
Namun karena terlalu bersemangat. Kita lupa. Setelah itu
mau melakukan apa.
Kesadaran adalah ketepatan berpikir. Tidak hanya
perlawanan. Tidak hanya umpatan-umpatan.
Pemerintahan kita lemah, memang lemah. Sangat lemah. Dan
apakah kita tidak punya kewajiban menguatkannya
Rumah sakit yang sering lalai. Orang mati yang tiap hari
tergadai. Sumpah dokter yang sering dilupakan. Sesekali kita mengingatkan.
Namun tak pernah diperhatikan.
Dimana keadilan?
Jangan-jangan kita selama ini memang merasa menumpang. Di
Negara sendiri. Tidak ikut memiliki.
Sehingga kita rela diperbudak. Dan terkadang mengumpat
ketika tidak ada pimpinan.
Kebuntuan berpikir kita. Serampangannya tindakan kita.
Seharusnya memunculkan teriakan.
kalau
Kesadaran adalah persatuan.
Bersatu kalau kita ditengah penderitaan dan kemiskinan.
Kita punya martabat. Punya harga diri.
Bersatu untuk menyatukan kesadaran kalau kita lelah dengan
penindasan.
Bersatu untuk membentuk gagasan. Ketepatan berpikir.
Untuk merancang peradaban yang baru. Dengan kesejahteraan.
Juga perasaan memiliki negara dengan kerelaan.
Bersatu untuk tidak hanya berteriak lawan, lawan, lawan.
Namun tak pernah masuk dalam peperangan.
Bersama suara pembebasan.
Bersama petani yang mungkin sekarang masih memikirkan nasib
esok hari.
Bersama buruh pabrik yang dibingungkan outsorching. Juga
PHK yang melayang-layang dikepala.
Bersama pekerja tambang yang resiko kematiannya didepan
mata.
Kita akan menuntut kesejahteraan. Juga ikut menggagasnya.
Kita adalah pewaris kemanusiaan. Penentu peradaban.
Kita akan bersumpah untuk tidak selamanya menggantungkan
diri. Karena kita manusia. Dan mempunyai hak untuk menentukan.
Kita akan menjauhi dosa besar
Dosa besar sebagai manusia yang mendiamkan segala
kemungkaran. Mengacuhkan segala penindasan. Dan menutup diri dari segala
kekacauan peradaban
Di komedi putar kehidupan hari ini kawan.
Pahlawan akan menang
Dan dia telah hadir. Merasuki kita. Dan menjelma dalam
kesadaran
Jogja, 2014
*) dipentaskan dalam musikalisasi puisi komunitas NAMA dalam rangka rapat kerja buruh di Hotel Rich Yogyakarta
nama wooyyyyyy
ReplyDeletelapo wan ??
ReplyDelete