MASIH LUMAYAN ONANI
INTELEKTUAL
Oleh MH Maulana
Yang
paling saya takutkan atas umat ini
adalah orang munafik yang berilmu”
(Umar bin khatab)
adalah orang munafik yang berilmu”
(Umar bin khatab)
Sungguh
menarik apa yang disampaikan Zulkifar Akbar di kompasiana tentang onani
intelektual. Dimana onani intelektual diartikan kondisi kaum terpelajar atau
kaum intelek yang menguasai ilmu tertentu tidak diamalkan secara meluas, tetapi
hanya dinikmati untuk dirinya sendiri. Sepertinya memang sesuai dengan kabar
dunia keilmuan kita hari ini, terutama juga banyak terjadi ditengah modernisasi
pendidikan negeri ini, yang bisa dengan mudah kita saksikan, terlebih
mendominasi.
Kondisi
onani intelektual akhirnya terlihat rawan dan juga miris di dunia keilmuan,
terlebih mahasiswa. Pasalnya mahasiswa yang (sering) sibuk berdiskusi perihal
berbagai macam persoalan ternyata kaget melihat dunia luar kampus atau lapangan
kerja nyata. Lain pihak, beberapa dosen dengan kemegahan ilmu dan gelar yang disandangnya
tidak bisa melihat lingkungan sekitarnya tengah berjuang mati-matian untuk
menikmati sececap kenikmatan dunia pendidikan dan kehidupan yang layak.
Hemat saya, kaum intelektual atau
dalam fokusnya mahasiswa, bisa digolongkan menjadi tiga kriteria. Pertama, kaum intelektual dengan ilmu
pengetahuan yang dimiliki bisa menerapkannya dalam lingkungan, masyarakat, serta
yang membutuhkannya. Ini mungkin termasuk sebaik-baik kaum intelektual.
Kedua,
kaum intelektual dengan ilmu dan pengetahuan yang dimiliki hanya dinikmati
sendiri, tidak dikontribusikan secara meluas. Karena merasa semua yang
dilakukan adalah dari jerih payah dan usaha kerasnya sendiri (ini yang digolongkan
pelaku onani intelektual).
Ketiga,
(jangan-jangan kita sendiri) adalah kaum intelektual yang mempunyai potensi
ilmu dan pengetahuan justru kebingungan dengan apa yang dimiliki, apalagi
diminta buru-buru untuk diamalkan atau dinikmati. Dalam keadaan seperti ini
jelas tergambar situasi “ketololan” yang dilematis. Sebab tidak tahu tindakan
apa yang harus dilakukan. Ini adalah kondisi yang lebih tragis dari onani
intelektual, karena pelaku onani intelektual masih bisa menikmati ilmunya,
masih lumayan lah dalam bahasa perhitungannya. sedangkan kriteria ketiga ini
justru masih bingung dengan dirinya sendiri. Memunculkan banyak pertanyaan pada
diri dan tak kunjung mencari jawabannya. Tapi tenang, bingung adalah awal
pengetahuan, kata penyemangat dari pak Asep Jahidin, dosen filsafat IKS. Meski
sejatinya tetap saja, orang bingung akan kesulitan menemukan jalan keluar.
Lalu, apa yang harus kita lakukan
selaku kaum intelektual (konon agen perubahan)
menghadapi problematika keilmuan seperti ini? Data UNESCO tahun 2011
masih menempatkan Indonesia peringkat pendidikannya masih nomor 64 dari 120
negara lain. Sementara itu, data KEMENDIKBUD tahun 2010 memaparkan 1,8 juta
anak tiap tahun tidak dapat melanjutkan pendidikan. Sungguh, kondisi yang
memprihatinkan, sementara hampir semua
orang disibukkan dan menyibukkan diri dengan perbincangan politik, konflik
agama, dan kaum seni yang terlalu eksistensialis, dalam bahasa WS Rendra, yang
sibuk bersyair tentang anggur dan rembulan, sementara ketidakadilan
disampingnya. Kebiasaan apatis semacam ini yang kini marak mewarnai kehidupan
sosial bangsa Indonesia.
Maka dengan demikian, Kita pasti
butuh langkah konstruksif untuk menyelesaikan problem pendidikan juga keilmuan
seperti ini. selayaknya langkah strategis perlu diambil dalam rangka perbaikan.
Ushul Fiqh mempunyai gagasan menarik dalam pernyataan “Dar’ul Mafaasidi Muqoddimu Jalbil Masyoolikh” mencegah bahaya
didahulukan daripada menarik datangnya kebaikan. Anggap saja kondisi keilmuan
kriteria 2 dan 3 adalah bahaya yang harus kita cegah dan diberantas. Maka langkah
preventif harus kita upayakan bersama. Coba kita fokuskan pada kriteria nomer
Dua, untuk para pelaku onani intelektual, kita ajukan pertanyaan untuk
memancing kesadaran: sebarapa tidak pentingkah orang lain untuk kita? haruskah
kita melakukan onani intelektual sepanjang masa? Tentunya dibutuhkan kesadaran
yang tinggi bahwa pendidikan untuk semua harus diutamakan dan tak lupa untuk
menengok nasib pendidikan bangsa ini yang masih jauh dari kata sejahtera. Untuk
kreteria ketiga (yang lebih miris) timbul pertanyaan lagi, apa gunanya memasuki
dunia keilmuan (baca; kampus) kalau tidak ada yang bisa dipahami dan
mempengaruhi kita bersikap lebih positif? apa bedanya kondisi seperti ini
dengan tidur, mendengkur, dan terlena dengan mimpi panjang yang indah? sengaja
saya tidak memberikan gagasan sistematis seperti ayolah kita membuat Study
club, mengikti Organisasi atau LSM, dan lain sebagainya, karena semua itu
kosong tanpa adanya kesadaran terlebih dahulu.
Saya
suka menyebut kesadaran adalah “harga mati” untuk kita semua dan saya lebih
senang orang yang tidak menyebut dirinya kaum intelektual, tapi melakukan
tindakan kemanusiaan dengan apa yang dia miliki. Seperti yang diangkat di tema
bulletin tentang Renaissance. Gambarannya kita berada dalam zaman kegelapan
(baca; abad pertengahan) dan sebentar lagi (semoga) memasuki zaman kelahiran
kembali, pencerahan (baca; renaissance).
Sebagai penutup, Dosa terbesar
manusia adalah tidak berbuat apa-apa atau hanya berdiam diri ditengah potensi
keilmuan yang dia miliki. Bersikap seolah semua baik-baik saja padahal
kekacauan berada di sekitarnya, dan menikmati tidur panjang ditengah
orang-orang yang berteriak membutuhkan bantuan dari tangan-tangan kita.
Terakhir, sangat bijaksana K. Hadjar Dewantara bertutur untuk kita semua, bahwa
“hanya dengan kecerdasan jiwalah manusia
menuju arah kesejahteraan”. Wallahu a’lam.
Comments
Post a Comment