MEMBACA TAMAN BUNGKUL
Menyikapi taman bungkul
yang rusak di Surabaya, tidak bisa dilepaskan dari kajian filsafat
antroposentrisme dan materialisme. dimana ketika semua hal berpusat pada
manusia dan kebutuhannya (apalagi gratis) selalu berimbas pada lingkungannya.
alam -sekali lagi- menjadi sasaran. tanaman yang rusak selain berimbas pada
kerugian milyaran juga -yang terpenting- menghancurkan penghijauan taman
sebagai paru-paru kota. terlebih untuk rekonstruksi membutuhkan waktu yang
relatif tidak singkat. Arne Naess filsuf Norwegia, menuntut suatu perubahan
dimana etika tidak hanya terfokus pada manusia, tetapi kepada seluruh makhluk
hidup dan lingkungannya. sebagai gerakan yang nyata agar tercipta suatu
kehidupan yang selaras antara makhluk hidup dan alam. Gerakan nyata ini berpengaruh
terhadap cara pandang, tingkah laku, dan gaya hidup banyak orang. meskipun
protagoras tetap menetapkan manusia sebagai ukuran segala sesuatu,
ketidakpeduliannya dengan alam tentu adalah hal yang berimbas pada manusia itu
sendiri. saras dewi dalam filsafat lingkungannya, merasa pentingnya manusia
mempelajari relasi alam sebagai keseimbangan, karena menurut hemat saya, pahan
antroposentrisme yang berlebihan tidak lain adalah menyusun bunuh diri itu
sendiri. dalam silogisme sederhananya, (1) manusia butuh tumbuhan untuk hidup.
(2) manusia merusak tumbuhan. jadi (3) manusia mati. tentu hal ini
kemungkinanya sangat besar untuk terjadi. pasalnya, cepat atau lambat, disadari
ataupun tidak, perlahan tapi pasti manusia yang segera tidak menjalin relasi
yang baik dengan alam hanyalah perjalanan menyingkat kematian. semoga kasus
taman bungkul segera bisa terselesaikan dengan tepat dan bertanggung jawab oleh
pihak terkait. juga sebagai pembelajaran sebelum kasus serupa terjadi (tentu
tidak baik kan terjerumus pada lubang yang sama?). kemudian, mengingat petutur
bijak sir francis bacon, satu-satunya cara menaklukkan alam adalah hanya dengan
mematuhinya. selamat menjemput alam kesadaran.
Comments
Post a Comment