Skip to main content

BUKIT BINTANG WONOSARI ; SEMACAM PERJALANAN SELO SI KUNING BERSAMA TEMAN-TEMAN


Entah kenapa hari-hari ini saya begitu bernafsu melihat foto gunung, hutan, sungai, dan lampu-lampu kota. Tapi saya pikir itu nafsu yang baik, karena sepertinya kok tidak ada yang jadi korban. Sepertinya loh ya!

Sampai hari jumat (9/1) setelah semangat bermalas-malasan seharian. Saya merasakan kematian saya begitu dekat kalau tidak segera keluar kamar mencari angin segar atau sekadar menyaksikan pemandangan mbak-mbak yang lewat di jalan. Duh!

Dan keputusan hari itu saya putuskan secara tidak demokratis bersama Daus dan si Kuning. Kita ke Solo. Lalu yang terjadi adalah demo kecil-kecilan oleh si Kuning sehingga keputusan solo dibatalkan.

Sebelum hari itu saya dan teman-teman memang berencana hendak terbang ke Kulon progo. Mencoba pemandangan baru di perbukitan menoreh, tapi rencana ini pun gagal.

"Haduh, Semua rencana kok gagal ya. Jangan-jangan ini kena kutukan UAS Kampus"

Saya pun kemudian bersumpah, pokoknya hari ini saya harus keluar. Kalau tidak, saya akan menjadi batu (opo ae, Sen). Karena sumpah ini saya pun takut kalau tidak jadi keluar. Meskipun ditengah kepesimisan sumpah itu saya tetap selamat. Ya, saya akhirnya memilih keluar ke kamar mandi (Kan sing penting keluar).

Kemudian tekhnologi ghaib yang ada di hape menampilkan sms, whats up, dan bbm (hah? Emang nduwe?) untuk pergi keluar dari zona nyaman kos-kosan.

Ke parang tritis, kok sudah terlalu sore. Ke taman pelangi monumen yogya kembali, kok lumayan mahal (Untuk hari jumat-minggu harga masuk dibandrol 15.000 rupiah), kalau ke Bukit bintang wonosari, lha ini dia. Oke Sah!

Tepat pukul 19.30, keberangkatan kami (Saya, Daus, Irwan, Temon, Asep, Rendi, Wisnu, Reres, Oca, Mazid, Yatil, Galuh, dan Sandi bersama Asad yang menyusul) dimulai dari panti Jomblo terhormat (saya gak tahu apa teman-teman nanti sudah sepakat untuk merubah namanya menjadi panti Rumahtangga tersayang), 12 Orang yang kebanyakan tergabung --dan tersesat-- di komunitas NAMA ini sudah siap dengan kuda perangnya masing-masing. Nampak pendekar move on berdarah (Temon) dan pendekar tendangan sendal berkumis (Irwan/Ku Mi San) sudah siap meramaikan jalanan kota Jogja, terlebih Si Kuning yang saya dan Daus kendarai. Tentu sudah siap membuat mbak-mbak yang membonceng motor Satria atau Ninja jatuh klepek-klepek terkapar karena Cinta. Ayo, Kuning stlong!

Disini Irwan alias Ku Mi San memimpin pasukan sambil sesekali melamun-lamun bahagia. Sehingga yang terjadi Lima Motor dibelakangnya pun terpencar di segala penjuru. Grendi (motor Irwan) hanya diikuti Spasius (motornya reres) dan si Kuning. Lalu yang lain, wallohu a'lam!

Sampai di Pom jalan Wonosari. Kita semua akhirnya bertemu kembali. Kini terlihat Miobi (motornya Galuh dan Mazid), Sitem (motornya Wisnu), dan Biruni (motornya Temon) sudah kembali merapat. Kita pun menyempatkan diri meminumi bensin untuk motor masing-masing. Disini Si Kuning unjuk kesombongan, pasalnya hanya dia sendiri yang minumnya pertamax, meskipun cuma 10.000. Yeah!

Bukit Bintang sudah kelihatan. Seperti biasa. Musik pengiring perjalanan kita nyalakan. Hape daus Nokia X2-02 menjadi pemutar musik kami. Teknisnya ditekan play musiknya, volumenya di pol-in, terus hapenya dipegangin. Yuhu!

Perjalanan yang lumayan menanjak membuat Si Kuning melankolis. Dia pasti ingat perjalanannya ke Banjarnegara tempo hari yang lalu --ketika dia berjumpa dengan motor pitung merah berplat Jakarta. Sabar ya, Ning. Cinta memang butuh perjuangan! Besok kita ke Jakarta deh. Semoga ketemu ya!

Jalanan memanjak Wonosari hanyalah semacam pemanasan atau olah raga kecil buat si Kuning. Meskipun tetap dia yang paling terlambat sampai di parkiran bukit Bintang.

Kita sampai di Bukit Bintang ketika Waktu menunjukkan pukul 20.17 WIB. Jadi sekitar 45 menit perjalanan dari UIN.

Dan apa yang terjadi sodara-sodara? dari atas bukit Bintang, Lampu-lampu kota Jogja merupa pemandangan dari galaksi luar Bumi (hah? Emang pernah keluar bumi). Lalu Jalanan ring road menjadi semacam garis lintang yang mengiris manis kota "berhati mantan" ini.
Lampu-lampu kota pun seakan berlomba siapa yang paling terang, siapa yang paling pantas menang dan menyandang gelar puteri kunang-kunang!

Lalu kita memasuki salah satu warung di pinggiran jalan raya ini. Kita cari view terbaiknya. Yah, dapat lumayan sepi dan kosong. Tapi saya lupa ini di lantai berapa. Yang ada di pikiran saya waktu itu adalah bahwa toilet di warung ini merupakan toilet dengan pemandangan terindah di Dunia, bagaimana ketika menikmati suasana toilet langsung dihadapkan view lampu-lampu kota secara langsung. Tapi ternyata tidak, Toiletnya sungguh biasa-biasa saja. Tidak asiknya di depan toilet terdapat tulisan besar sekali, 2000 Rupiah. Bayangpun!

Suasana di warung ini lumayan romantis. Ada lampu warna-warni dan musik tidak jelas yang menjadi latar suasananya. Tidak jelas karena lagu yang diputar acak-acakan, dari dangdut, pop, disko dangdut, pop dangdut. Mbuh lah! Tapi suasana lampu-lampu kota seperti ini selalu membuat kekangenan saya akan naik gunung menjadi-jadi. Ayok muncaaak!

Kita memesan beberapa minuman, jagung bakar, dan roti bakar. Meskipun saya tetap menyayangkan setiap warung yang kopi hitamnya selalu berasal dari kopi sasetan. Fak!

Jika diamati, pemandangan yang nampak di sudut meja kami adalah orang-orang bermain poker, gitaran, poto-poto, nyemal-nyemil, galau lihat lampu-lampu, sms-an tidak jelas, orang yang melukis, dan yang terpenting pemandangan lupa UAS dan tugas-tugas kuliah.

Kita ngobrol ngalor ngidul sambil nunggu kedatangan Sandi dan Asad yang sepertinya OTW dari Jakarta.

Beberapa menu pesanan pun mulai berdatangan. Memang lumayan enak sih jagung bakar dan roti bakarnya, tapi menurut hemat saya masih biasa-biasa saja. Belum mempunyai ciri rasa yang khas.

Akhirnya Sandi dan Asad pun datang. Sandi mungkin tidak tahu bahwa dirinya baru saja menjadi objek lomba tebak balasan BBM. Semacam lomba yang selo bin konyol

Malam itu kita habiskan dengan tertawa, saling mengejek, saling berdebat, saling menyusun rencana akan kemana habis UAS yang sempat saya tangkap ke Temanggung, Semarang, dan Jakarta (Duite sopo kok ape nangndi-nangndi iku, Rek?)

14 Orang yang Selo dan capek digantungkan oleh nasib pendidikan Indonesia itu menyadari kalau warung akan segera tutup. Jam 12 malam kita meninggalkan toko dengan memberikan shodaqoh kepada pemilik warung sebesar kurang lebih 127.000 rupiah untuk kebutuhan perut 14 Orang --yang mestinya harus dishodaqohi ini. Yang masih saya ingat harga secangkir kopi dan jagung bakarnya adalah 12.000 rupiah (Yo jelas bedo ambek warung sekitar kampus)

Kita pulang dengan santai dan dalam tempo selambat-lambatnya.

Disini, nampak pemandangan wisnu dan reres yang berboncengan seperti om dan tante ketua geng dari kampung sebelah yang siap delapan enam seandainya ada geng motor semacam KRS yang tiba-tiba menantang dari depan. Ya, siap-siap Lari memang.

Dan waktu menunjukkan sekitar pukul setengah Satu dini hari ketika kita sampai di Kampus. Hal kepulangan ini juga diwarnai dengan insiden Intimidasi jok motor si Kuning yang dinaiki oleh Reres dan Wisnu. Dan yang tidak kalah penting, hilangnya kunci motor Irwan.

"Halah Wan, kok ora brengosmu ae sing Ilang"


Diketik dengan hape, di Kose Wisnu dalam Sabtu yang malas, 10 Desember 2014

Comments

Popular posts from this blog

'Menikah itu Biasa Saja'

/1/. Saya sepertinya akan selalu memikirkan pembuka novel Anna Karenina karangan Leo Tolstoy sampai kapan pun. "Keluarga bahagia, bahagia dengan cara yang sama. Keluarga tidak bahagia, tidak bahagia dengan caranya masing-masing," tulisnya. Dan saya menikah. Mengucap janji di hadapan penghulu, orang tua, saksi, hadirin yang datang, dan tentu saja pacar saya yang menjadi istri saya: Yeni Mutiara. Mungkin aneh. Tapi saya berharap ini biasa saja. Seperti menggubah lagu Efek Rumah Kaca yang dimuat dalam album debut eponimnnya. Ketika rindu, menggebu gebu, kita menunggu Jatuh cinta itu biasa saja. /2/. Saya masih mengingatnya. Tertanggal 4 Maret. Pagi tiba ketika kapal laut mengangkat sauh di selat sunda. Itu kali pertama Abah, Ibuk, Adek, dan Budhe mengalaminya. Kami duduk di ruang terbuka. Mengamati gugusan pulau kecil dengan pepohonan kelapa yang berjejer, seperti lanskap di buku gambar anak-anak. Sesekali kami minum kopi, memakan cemilan, dan meresapi udara se

Kau, Cahaya

Di hadapan pintu kebahagiaan. Kesedihan menyeruak, membawa pedih, menggigilkan tubuh waktu sebelum keberangkatan. Segala yang bernyawa, berujung tiada. Pada keheningan itu, sebelum maut. Nama umat yang kau sebut Seorang penyair melagukannya. Sebatang pohon kurma menangis, tatkala kau pergi. Air matanya luruh melebur embun shubuh. Kesejukan pagi itu, angin yang berhembus di sekitarnya, dan tangis yang belum berhenti, seperti pertanda perasaan kehilangan, yang akan selamanya. Tapi mengapa nama umat yang kau sebut, bukan sorga, juga bukan Tuhan yang menciptakan semuanya, saat kematian itu tiba?  Kau manusia. Mengembala. Berniaga. Bersedih dan bercanda. Dan di hatimu, terbuat dari apa relung sanubari itu, begitu hidup, begitu luasnya. Begitu jernih, menarik semuanya.  Kau yang penuh cinta.  Cahayamu terbit dari kegelapan suatu masa. Pendarnya membuat orang-orang menghampirimu. Bahkan di hari lahirmu, orang yang kelak sangat membencimu, pernah begitu bahagia. Ia haru, ia merdeka

Selamat Ulang Tahun, Istriku

Beberapa puisi ini untukmu.   /1/. Pohon-pohon meranggas di sekujur tubuhnya,  usia dan waktu  berkejaran.  pernah kita memandanginya  di sana-sini  menghitung hari-hari  yang ditinggalkan hujan.  kita terus saja berbicara  menginginkan suatu hari  hanya angin, dingin,  dan luasnya cakrawala.    kau sandarkan kepalamu  di pundakku  tangan kita berpegangan.  Rasanya seperti  menggenggam erat seluruh isi dunia ini.    /2/. Cat yang belum kering  wangi ini akan selalu kuingat  dengan cara terbaik  yang kumiliki.    saat itu, dinding kusam  tubuhnya mengelupas  oleh lupa  dan terabaikan.    kita mengingat suasana  yang kita inginkan  sebelum bulan berganti  dengan penyesalan.    kuas menyapu sekeliling  menghapus kesedihan,  dan dendam  di balik pintu.    perlahan, udara baru  masuk dari ruang tamu  untuk tinggal  dan menetap.    dunia ini bukan ruang tunggu kita memang sengaja diundang  untuk berbahagia.   /3/. Kacamata di atas meja    seringkali aku menemukannya