Dibalik 98? Ya, inilah salah satu Film yang sedang hangat-hangatnya menjadi pembicaraan di jagad perfilman tanah air, selain film Mery Riana, pendekar tongkat emas, dan Hijab-nya Hanung Bramantyo
Mengapa demikian? Saya kira film ini tiba-tiba menjadi penting karena sempat menjadi pembahasan heboh di media sosial. Pasalnya beberapa aktifis 98 semacam Adian Napitupulu (yang perlu kita tanyakan lagi konsistensi aktifisnya) justru pesimis akan jalannya film ini yang nanti dikhawatirkan semakin mengaburkan kejadian 98 yang sebenarnya.
Dan Lukman Sardi sebagai sutradara menegaskan bahwa ini bukan film sejarah, ini hanya film fiktif saja. Tapi disisi lain, Chelsea Islan yang ikut memerankan tokoh utama dalam film ini beberapa hari yang lalu justru menyampaikan bahwa anak SMA mestinya nonton Film ini. Biar tahu sejarahnya Indonesia.
"Loh ya, piye to?"
Dan hari itu (20/1) beberapa teman mengajak saya menonton film tersebut di XXI Ambarukmo Plaza. Karena tidak baik menolak tawaran baik, akhirnya saya meng-iya-kan saja. Selain saya ingin menilai film tersebut secara objektif dan secara suka-suka, saya --sepertinya-- juga butuh penyegaran dari seringnya kebiasaan bergelut dengan film-film "flashdisan".
Film yang rilis 15 Januari 2015 ini diputar pukul 20.40 malam. Penonton saat itu lumayan sepi. Hanya setengahnya saja yang terisi. Barangkali karena sudah hari kelima pemutaran sejak launching pertamanya.
Dan Film yang menggunakan soundtracknya Liliana Tanoe soedibjo (Istri Hary Tanoe) --yang berjudul Indonesia negeri kita bersama (Semoga yang dimaksud bersama bukan orang-orang MNC saja)-- ini diawali dengan setting tahun 2015 yang langsung mundur ke gambaran antrian BBM dan krisis moneter tahun 1998. Dimana nampak view Jakarta yang lumayan apik, meskipun juga nampak sedikit modern jika untuk ukuran tahun tersebut.
Saya kemudian (kok) tertarik dengan peran tukang sampah oleh Teuku Rifnu wikana dan anaknya yang diperankan oleh Bima Azriel. Dimana setelah lumayan terkenal dengan film Jokowi, kali ini Teuku Rifnu justru malah kebagian peran sebagai tukang sampah. Tapi yang menarik penggambaran Teuku Rifnu --dalam film ini-- jika berjalan mirip sekali dengan petruk dalam tokoh pewayangan. Saya kurang tahu apakah ada semiotika tersendiri untuk menggambarkan sosok Jokowi. Namun, saya seakan menangkap ada pesan tersembunyi,
"Ilingo Wi, Jokowi. Nek awakmu pernah susah gara-gara rezim sing nindas rakyate, Awas."
Di sisi lain, terlihat Bima azriel natural sekali memerankan menjadi tokoh anak-anak. Begitu polos dan menjiwai.
Film yang berdurasi kurang lebih dua jam ini adalah film dengan genre Drama. Jadi akan kecewa sekali, penonton yang mengharapkan film ini adalah film action atau film yang mengungkap tentang sejarah. Karena saya melihat, Lukman Sardi mencoba menjauhi dikotomi hitam putih penokohan dalam cerita. Dia meletakkan sisi kemanusiaan yang lain dari seorang mahasiswa, etnis Tionghoa, Tentara, sampai Presiden. Jadi ada semacam pesan tersirat,
"Semua manusia. Siapapun itu. Pasti punya hati nuraninya masing-masing"
Di titik ini saya sedikit kecewa, karena Lukman Sardi kurang berani menyatakan sikap atau garis politik filmnya. Mungkin juga karena malas berurusan dengan resiko yang lebih. Film ini juga termasuk karya pertamanya di jagad perfilman layar lebar tanah air.
Secara umum, Film ini lumayan bisa memainkan perasaan penontonnya. Beberapa kali tokoh-tokoh dalam cerita dihadapkan situasi yang sulit dengan suasana tragedi yang mencekam. Hal ini juga dibuktikan dengan teman perempuan disamping tempat duduk saya yang menangis sesenggukan. Meskipun dua teman perempuan disampingnya lebih menganggap film ini tak lebih dari sekadar "sinetron" yang bagus. Namun kita semua toh tetap berusaha menikmatinya.
Dan kali ini saya kecewa (lagi) dengan beberapa pemilihan aktor yang kurang mirip dengan tokoh aslinya. Seperti Amien Rais yang jauh sekali dari karakter aslinya, Harmoko yang malah kelihatan lucu. Juga Gus Dur dan SBY yang malah membuat penonton tertawa karena diperankan ala kadarnya. Yang sedikit lumayan barangkali adalah BJ Habibie yang diperankan oleh Agus Kuncoro, meski tidak sebagus Reza Rahardian. Dan peran yang paling mirip memang adalah Ibu Tien dan Pak Harto yang diperankan Amoroso katamsi.
Hal lain lagi adalah jalannya cerita dalam film ini yang terlalu lebar, sehingga kurang dapat acuan fokusnya. Pertama sekali. Yaitu, Hubungan mahasiswa demonstran antara daniel dan diana (yang diperankan Boy william dan Chelsea Islan) dengan kakak diana (Ririn Ekawati) yang bekerja sebagai juru masak istana dan suaminya (Dony Alamsyah) sebagai tentara. Hal ini ditambahi kondisi kakak Diana yang hamil ditengah hiruk pikuk reformasi. Kedua, Daniel (pacar diana) yang ternyata sebagai etnis Tionghoa yang sempat kehilangan keluarganya karena chaos perekonomian Jakarta. Lalu Ketiga, Dilema Pak harto, Bj Habibie, Harmoko, dan orang istana karena situasi yang memanas. Keempat, dramatisasi tukang sampah dan anaknya yang ingin kaos bola. Dan Kelima, gambaran penjarahan produk asing dan etnis China oleh sekelompok orang yang mengamuk. Lima hal ini saja sudah membuat film terlalu melebar dan terkesan berjalan lambat.
Dan terlepas dari itu semua, saya mendapatkan hal tersirat menarik yang lain, yaitu hadirnya sosok tokoh yang memerankan Emha Ainun Najib --secara sekilas-- dalam cerita dan hubungannya dengan Pak Harto ketika mengucapkan,
"Gak dadi Presiden yowes, Gak patek'en"
Film ini terus berjalan sampai Euforia reformasi. Soeharto turun. Dan beberapa tokoh yang berhasil menemukan keluargaya. Meskipun kita seakan dihadapkan cerita yang belum usai atau masih terpenggal, Ending film ini saya kira lumayan bagus. Terlihat sekali usaha Lukman Sardi dalam mengindari ending "sinetron" yang total bahagia. Beberapa penonton mungkin tidak akan mengira kalau ending ceritanya justru seperti "itu".
Beberapa catatan (yang lain) atas film ini adalah kurangnya memperhatikan logika rasional dalam cerita. Seperti tokoh mahasiswa dan Amin Rais yang berorasi tanpa menggunakan Toa dihadapan banyak demonstran. Kan gak mungkin lah demo besar-besaran kayak gitu. Lalu, beberapa style pakaian dan rambut mahasiswa yang jauh dari style tahun 90-an, kebanyakan malah lebih terkesan modern. Kemudian lagi, kakak Diana yang tiba-tiba pingsan ditengah hiruk pikuk chaos justru diselamatkan oleh etnis tionghoa yang notabene mereka sedang diburu dan dijarah oleh penduduk yang mengamuk, lalu peristiwa Daniel yang tiba-tiba diselamatkan orang berpeci yang di film justru terkesan malah terlihat ikut mengejar dan memukulinya.
Saya akui film ini sangat berhasil sebagai film drama, tapi masih gagal untuk sebagai film yang bagus.
Mungkin hanya cukup bagus.
Sebagai penutup, saya kutipkan quotes dari Romo Mangun, bahwa tokoh sejarah dan pahlawan sejati harus kita temukan kembali di antara kaum rakyat biasa yang sehari-hari, yang barangkali kecil dalam harta maupun kuasa, namun besar dalam kesetiaannya demi kehidupan.
Selamat bersemangat!
Diketik dengan Hape, Nologaten, ketika hujan turun di hari ke-21 bulan januari 2015
Mengapa demikian? Saya kira film ini tiba-tiba menjadi penting karena sempat menjadi pembahasan heboh di media sosial. Pasalnya beberapa aktifis 98 semacam Adian Napitupulu (yang perlu kita tanyakan lagi konsistensi aktifisnya) justru pesimis akan jalannya film ini yang nanti dikhawatirkan semakin mengaburkan kejadian 98 yang sebenarnya.
Dan Lukman Sardi sebagai sutradara menegaskan bahwa ini bukan film sejarah, ini hanya film fiktif saja. Tapi disisi lain, Chelsea Islan yang ikut memerankan tokoh utama dalam film ini beberapa hari yang lalu justru menyampaikan bahwa anak SMA mestinya nonton Film ini. Biar tahu sejarahnya Indonesia.
"Loh ya, piye to?"
Dan hari itu (20/1) beberapa teman mengajak saya menonton film tersebut di XXI Ambarukmo Plaza. Karena tidak baik menolak tawaran baik, akhirnya saya meng-iya-kan saja. Selain saya ingin menilai film tersebut secara objektif dan secara suka-suka, saya --sepertinya-- juga butuh penyegaran dari seringnya kebiasaan bergelut dengan film-film "flashdisan".
Film yang rilis 15 Januari 2015 ini diputar pukul 20.40 malam. Penonton saat itu lumayan sepi. Hanya setengahnya saja yang terisi. Barangkali karena sudah hari kelima pemutaran sejak launching pertamanya.
Dan Film yang menggunakan soundtracknya Liliana Tanoe soedibjo (Istri Hary Tanoe) --yang berjudul Indonesia negeri kita bersama (Semoga yang dimaksud bersama bukan orang-orang MNC saja)-- ini diawali dengan setting tahun 2015 yang langsung mundur ke gambaran antrian BBM dan krisis moneter tahun 1998. Dimana nampak view Jakarta yang lumayan apik, meskipun juga nampak sedikit modern jika untuk ukuran tahun tersebut.
Saya kemudian (kok) tertarik dengan peran tukang sampah oleh Teuku Rifnu wikana dan anaknya yang diperankan oleh Bima Azriel. Dimana setelah lumayan terkenal dengan film Jokowi, kali ini Teuku Rifnu justru malah kebagian peran sebagai tukang sampah. Tapi yang menarik penggambaran Teuku Rifnu --dalam film ini-- jika berjalan mirip sekali dengan petruk dalam tokoh pewayangan. Saya kurang tahu apakah ada semiotika tersendiri untuk menggambarkan sosok Jokowi. Namun, saya seakan menangkap ada pesan tersembunyi,
"Ilingo Wi, Jokowi. Nek awakmu pernah susah gara-gara rezim sing nindas rakyate, Awas."
Di sisi lain, terlihat Bima azriel natural sekali memerankan menjadi tokoh anak-anak. Begitu polos dan menjiwai.
Film yang berdurasi kurang lebih dua jam ini adalah film dengan genre Drama. Jadi akan kecewa sekali, penonton yang mengharapkan film ini adalah film action atau film yang mengungkap tentang sejarah. Karena saya melihat, Lukman Sardi mencoba menjauhi dikotomi hitam putih penokohan dalam cerita. Dia meletakkan sisi kemanusiaan yang lain dari seorang mahasiswa, etnis Tionghoa, Tentara, sampai Presiden. Jadi ada semacam pesan tersirat,
"Semua manusia. Siapapun itu. Pasti punya hati nuraninya masing-masing"
Di titik ini saya sedikit kecewa, karena Lukman Sardi kurang berani menyatakan sikap atau garis politik filmnya. Mungkin juga karena malas berurusan dengan resiko yang lebih. Film ini juga termasuk karya pertamanya di jagad perfilman layar lebar tanah air.
Secara umum, Film ini lumayan bisa memainkan perasaan penontonnya. Beberapa kali tokoh-tokoh dalam cerita dihadapkan situasi yang sulit dengan suasana tragedi yang mencekam. Hal ini juga dibuktikan dengan teman perempuan disamping tempat duduk saya yang menangis sesenggukan. Meskipun dua teman perempuan disampingnya lebih menganggap film ini tak lebih dari sekadar "sinetron" yang bagus. Namun kita semua toh tetap berusaha menikmatinya.
Dan kali ini saya kecewa (lagi) dengan beberapa pemilihan aktor yang kurang mirip dengan tokoh aslinya. Seperti Amien Rais yang jauh sekali dari karakter aslinya, Harmoko yang malah kelihatan lucu. Juga Gus Dur dan SBY yang malah membuat penonton tertawa karena diperankan ala kadarnya. Yang sedikit lumayan barangkali adalah BJ Habibie yang diperankan oleh Agus Kuncoro, meski tidak sebagus Reza Rahardian. Dan peran yang paling mirip memang adalah Ibu Tien dan Pak Harto yang diperankan Amoroso katamsi.
Hal lain lagi adalah jalannya cerita dalam film ini yang terlalu lebar, sehingga kurang dapat acuan fokusnya. Pertama sekali. Yaitu, Hubungan mahasiswa demonstran antara daniel dan diana (yang diperankan Boy william dan Chelsea Islan) dengan kakak diana (Ririn Ekawati) yang bekerja sebagai juru masak istana dan suaminya (Dony Alamsyah) sebagai tentara. Hal ini ditambahi kondisi kakak Diana yang hamil ditengah hiruk pikuk reformasi. Kedua, Daniel (pacar diana) yang ternyata sebagai etnis Tionghoa yang sempat kehilangan keluarganya karena chaos perekonomian Jakarta. Lalu Ketiga, Dilema Pak harto, Bj Habibie, Harmoko, dan orang istana karena situasi yang memanas. Keempat, dramatisasi tukang sampah dan anaknya yang ingin kaos bola. Dan Kelima, gambaran penjarahan produk asing dan etnis China oleh sekelompok orang yang mengamuk. Lima hal ini saja sudah membuat film terlalu melebar dan terkesan berjalan lambat.
Dan terlepas dari itu semua, saya mendapatkan hal tersirat menarik yang lain, yaitu hadirnya sosok tokoh yang memerankan Emha Ainun Najib --secara sekilas-- dalam cerita dan hubungannya dengan Pak Harto ketika mengucapkan,
"Gak dadi Presiden yowes, Gak patek'en"
Film ini terus berjalan sampai Euforia reformasi. Soeharto turun. Dan beberapa tokoh yang berhasil menemukan keluargaya. Meskipun kita seakan dihadapkan cerita yang belum usai atau masih terpenggal, Ending film ini saya kira lumayan bagus. Terlihat sekali usaha Lukman Sardi dalam mengindari ending "sinetron" yang total bahagia. Beberapa penonton mungkin tidak akan mengira kalau ending ceritanya justru seperti "itu".
Beberapa catatan (yang lain) atas film ini adalah kurangnya memperhatikan logika rasional dalam cerita. Seperti tokoh mahasiswa dan Amin Rais yang berorasi tanpa menggunakan Toa dihadapan banyak demonstran. Kan gak mungkin lah demo besar-besaran kayak gitu. Lalu, beberapa style pakaian dan rambut mahasiswa yang jauh dari style tahun 90-an, kebanyakan malah lebih terkesan modern. Kemudian lagi, kakak Diana yang tiba-tiba pingsan ditengah hiruk pikuk chaos justru diselamatkan oleh etnis tionghoa yang notabene mereka sedang diburu dan dijarah oleh penduduk yang mengamuk, lalu peristiwa Daniel yang tiba-tiba diselamatkan orang berpeci yang di film justru terkesan malah terlihat ikut mengejar dan memukulinya.
Saya akui film ini sangat berhasil sebagai film drama, tapi masih gagal untuk sebagai film yang bagus.
Mungkin hanya cukup bagus.
Sebagai penutup, saya kutipkan quotes dari Romo Mangun, bahwa tokoh sejarah dan pahlawan sejati harus kita temukan kembali di antara kaum rakyat biasa yang sehari-hari, yang barangkali kecil dalam harta maupun kuasa, namun besar dalam kesetiaannya demi kehidupan.
Selamat bersemangat!
Diketik dengan Hape, Nologaten, ketika hujan turun di hari ke-21 bulan januari 2015
Comments
Post a Comment