Skip to main content

MENGAPA SAYA HARUS NGGAK SUKA FILM KETIKA TUHAN JATUH CINTA


Dunia perfilman tanah air memang sedikit memberi angin segar hari-hari ini. Pasalnya, beberapa film yang mengutamakan kualitas mulai digarap. Seperti: Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, Pendekar Tongkat Emas, Dibalik 98, juga Film-Film dokumenter semacam Jagal dan Senyap. Hal ini juga ditandai meredupnya film hantu-hantu "porno" di pasaran.

Sebetulnya saya memang kurang begitu serius berkosentrasi pada perkembangan film tanah air sampai mancanegara. Tapi, suatu hari --entah kapan, lupa-- saya meyakini bahwa tiga hal ini dapat berpengaruh pada kehidupan seseorang: Buku yang kita baca, Film yang kita tonton, dan orang yang kita jumpai. Sehingga saya pun berkeyakinan bahwa hidup pasti begitu suram tanpa menonton film.

Dalam kesempatan ini, ketika saya sedang kegiatan no maden di salah satu kontrakan teman, saya menemukan folder film ketika Tuhan jatuh cinta (2014). Sontak langsung saya putar film tersebut dengan tekhnologi ghaib KMP Player --Perlu saya beritahu ya sodara-sodara, bahwa saya adalah penggemar film "flashdisan". Meskipun saya perlu menunggu berbulan-bulan untuk mendapatkan film terbaru.

Film KTJ ini --awalnya-- sedikit membuat saya tertarik. Pasalnya beberapa aktor besar tanah air ikut membintangi film yang disutradarai Mbak Fransiska Fiorella tersebut, seperti Reza Rahardian dan Didi Petet.

Film Ketika Tuhan Jatuh Cinta dimulai dengan pemandangan senja di laut yang cukup eskostis. Perpaduan jingga dan langit meredup di awal Film mungkin membuat siapa yang menontonnya membatin,

"Wah, Film iki apik koyone"

Tapi bukankah kita sudah sering mendapat nasihat, jangan menilai suatu apapun terlalu cepat. Dan itulah yang terjadi pada film ini.

Saya sedikit kecewa dan tertawa ketika melihat Reza memerankan tokoh Fikri yang notabene adalah pelukis. Karena saya masih begitu mengingat di film Perahu Kertas (yang saya kagumi), bahwa disini Reza berperan menjadi Remy yang hobi beli lukisan. Dan di Film ini, dia yang jadi pelukisnya. Apalagi dalam Film KTJ, Setting galerinya hampir mirip dengan Perahu Kertas. Dimana ada patung-patung perempuan tanpa kepala dan kain selendang merah yang melilit. Jadi Film ini terkesan langsung mengingatkan Reza pas di Perahu Kertas.

Kemudian, Didi petet yang memerankan Koh Achong, pemilik galeri lukisan. Saya merasa kok Didi Petet disini gak cocok banget, dia malah terkesan mirip pensiunan PNS. Belum lagi percakapan mengenai pelukis, karya, dan ekstetika yang seperti tidak ada nyawanya sama sekali. Hal ini pun masih ditambah perjuangan Fikri (Reza rahardian) menjadi pelukis besar dan hubungannya dengan galeri yang --kok kesannya-- mudah sekali.

Saya melihat Film yang rilis 5 Januari 2014 ini lumayan --cengeng dan-- mubadzir. Pasalnya aktor besar semacam Reza dan Didi Petet mainnya kok cuma gitu. Lalu, kondisi keluarga Fikri yang ekonominya terbatas juga menjadi klise, karena Status Fikri yang kuliah di kampus mahal (dan gak lulus-lulus) itu juga menggunakan motor pribadi.

Dilanjutkan kekecewaan saya berikutnya adalah peran dari Aulia Sarah yang memerankan tokoh Leni. Sarah disini Kelihatan tua sekali, berbeda dengan peran cantik dan energiknya dulu di film Punk In Love. Soalnya kalau Aulia Sarah mengenakan jilbab, satu hal memang cantik dan sholihah, tapi di sisi lain juga kelihatan tua dan seperti ibu-ibu. Jadi kesannya kurang sesuai ketika dia memerankan menjadi pacarnya Fikri.

Berikutnya yang membuat saya kecewa dengan Leni yang diperankan Aulia Sarah ini adalah alur kisah cintanya yang pasaran. Kondisi dimana sedang asyik-asyik pacaran, tiba-tiba dijodohin, nangis, kemudian minta cerai. Dan semua itu terjadi begitu saja.

Memang Film ini pada dasarnya diangkat dari Novel yang entah best seller beneran atau tempelan, saya kurang mengerti. Tetapi beberapa alur dalam cerita Film terlihat sangat dipaksakan. Sehingga yang terjadi Film menjadi jalinan cerita yang tidak utuh, kalau bahasanya Mas Prabowo, kurang terstruktur, sistematis, dan massif.

Kekecewaan yang lain tentu saja adalah jalan cerita hidup Fikri yang ditragiskan sedemikian rupa. Mulai dari pengkhianatan temannya, Irul (diperankan Ibnu Jamil) yang mengakibatkan hamilnya Lidya, dilanjutkan meninggalnya bapak lidya (Koh Achong) karena jantungan mendengar Lidya hamil, lalu ditinggal nikah pacarnya (Leni) yang juga dibarengi meninggalnya bapak ibu Fikri sendiri karena kecelakaan yang tidak jelas.

Adegan konyol dan aneh pun ikut mewarnai film ini. Tepatnya yaitu adegan dimana Fikri menemani Lidya di Gereja dengan pakaian busana muslim lengkap dengan songkoknya. Saya pun semakin kurang mengerti, ini maksudnya apa. Karena sama sekali tidak ada percakapan yang menjelaskan tingkah lakunya tersebut.

Secara esensi, saya sendiri pun masih kesulitan mencari makna "ketika tuhan jatuh cinta" dalam film tersebut. Barangkali dilain sisi masih ada bagian kedua film tersebut seperti dalam novelnya. Tapi yang jelas, Film pertama ini sudah selesai. Dan yang terjadi justru penonton seperti dihadapkan harapan kosong,

"Kok Film.e ngene, isine tragis-tragis terus, njur endingnya kok yo ngene sisan. Maksute opo to"

Saya selanjutnya malah lebih sedikit tertarik pada puisi-puisi Fikri dan Leni. Memang Hanya puisinya saja. Karena dialog dan karakter dalam film --sangat-sangat-- kurang kuat dan memberi nyawa.

Sebagai penutup, mungkin di "Ketika Tuhan Jatuh Cinta 2" ada inovasi dan perbaikan yang lebih efektif dalam penokohan, dialog, karakter, sampai alur cerita secara menyeluruh. Karena kalau tidak begitu, Tuhan (karena sudah menggunakan namanya) dan manusia bisa marah, apalagi sampai keluar komentar:

"Lha katanya ketika Tuhan Jatuh Cinta, mana Tuhannya, eh salah. Mana jatuh cintanya, kok isinya cuma jatuh-jatuh melulu?"


Diketik dengan Hape, kose Wisnu. pada minggu kedua Januari, 2014

Comments

Popular posts from this blog

Marathon Pertama, Akhirnya

Langit masih gelap. Ribuan orang berbondong-bondong mengenakan pakaian yang semarak dan outfit lari yang lengkap. Mereka semua, dan saya juga, ini rasa-rasanya termasuk sebagian besar orang-orang yang rela tidur sebentar, menempuh perjalanan jauh, berlatih cukup keras, berharap-harap cemas saat undian acak kelolosan, dan mengeluarkan biaya untuk menyakiti diri sendiri demi berlari puluhan kilometer.  Saya berjalan beriringan bersama yang lain menuju garis start. Ada suasana haru, merinding, cemas, bangga, bahagia, dan semangat yang bercampur di sana, seperti potongan perasaan yang melebur halus dan lembut dalam blender jiwa. Sembari melewati jalanan aspal di kompleks candi, rindang pepohonan, dan basah rerumputan setelah hujan, saya mencoba mengingat bagaimana ini semua dimulai.  Saat itu, akhir tahun 2022. Saya mencoba berlari menggunakan aplikasi pengukur waktu, jarak, dan kecepatan dari Nike. Sebelumnya, setelah saya mengalami gejala covid-19 dan mengisolasi diri dua minggu...
PETILASAN ANGLING DHARMA DAN NYAI AMBARWATI Oleh MH Maulana             Desa Bendo, kecamatan Kapas, Bojonegoro menyimpan sebuah tempat unik, mistik, damai, sekaligus kaya sejarah. Tepatnya di sisi waduk Bendo. disana terdapat sebuah tempat Pamoksaan dan petilasan prabu angling dharma da nyai ambarwati. Sebuah tempat menyerupai labirin dengan hiasan batu-batu dan atap dari ilalang kering membuat suasana petilasan terasa rindang dan tenang. Selain itu disisi petilasan ini terdapat waduk bendo yang merupakan tempat pemancingan gratis dengan pemancing yang tak pernah sepi tiap harinya.             Menurut keterangan juru kunci, pak ali. tempat petilasan ini dulunya adalah tempat dimana prabu angling dharma bertemu pertama kali dengan nyai ambarwati dan saling menumbuhkan benih-benih cinta. Selain itu terdapat pula pohon bambu lumayan tinggi yang dipakai sebagai rumah poh...

'Menikah itu Biasa Saja'

/1/. Saya sepertinya akan selalu memikirkan pembuka novel Anna Karenina karangan Leo Tolstoy sampai kapan pun. "Keluarga bahagia, bahagia dengan cara yang sama. Keluarga tidak bahagia, tidak bahagia dengan caranya masing-masing," tulisnya. Dan saya menikah. Mengucap janji di hadapan penghulu, orang tua, saksi, hadirin yang datang, dan tentu saja pacar saya yang menjadi istri saya: Yeni Mutiara. Mungkin aneh. Tapi saya berharap ini biasa saja. Seperti menggubah lagu Efek Rumah Kaca yang dimuat dalam album debut eponimnnya. Ketika rindu, menggebu gebu, kita menunggu Jatuh cinta itu biasa saja. /2/. Saya masih mengingatnya. Tertanggal 4 Maret. Pagi tiba ketika kapal laut mengangkat sauh di selat sunda. Itu kali pertama Abah, Ibuk, Adek, dan Budhe mengalaminya. Kami duduk di ruang terbuka. Mengamati gugusan pulau kecil dengan pepohonan kelapa yang berjejer, seperti lanskap di buku gambar anak-anak. Sesekali kami minum kopi, memakan cemilan, dan meresapi udara se...