![]() |
Nasi goreng yuhuu |
![]() |
inilah wajah sodara Irwan FA |
Oleh : MH
Maulana
"Kenapa
Mon, Gakpapa?"
"Aduh,
sakit Sen"
"Kasih air
ya Mon?"
"Iya,
sini"
"Udah
keluar belum Mon?"
"Belum"
"Kasih air
lagi"
Kurang lebih
seperti itulah dialog yang terjadi ketika tiba-tiba ada seekor binatang kecil
bersayap (kalau tidak salah, namanya "mimik") bertamu di bola mata
mas MA Rahman. Entah apa yang dicari oleh binatang kecil tersebut (yang jelas bukan airmata). Lewat operasi
amatir tangan(seni)nya mas Rahman. Kira-kira Lima menit Kucek-kucek. Bilas.
Kucek-kucek. Jemur. Eh, bukan. Akhirnya binatang kecil tersebut bisa keluar
dengan selamat dari kelopak matanya mas Rahman. Alhamdulillah, kata mas Rahman.
Yarkhamukulloh, ujar saya.
Perjalanan pun
dilanjutkan kembali.
Brrruuumm...
Bruuuuumm...
Kami semakin
memasuki jantung kota Ngawi. Nampak di kanan jalan, Monumen Raden soerjo
berdiri tegap. Menurut catatan sejarah, raden soerjo adalah gubernur jawa timur
pertama sekaligus tokoh gubernur pertama yang terbunuh ditengah hutan oleh
orang yang tak dikenal --ada yang bilang pembunuhnya adalah PKI. Duh, Pak
Soerjo (Ayo Mon, hormat dalam hati. grakk)
Brrruuumm...
Bruuuuumm...
Beberapa puluh
menit kemudian. Jam menunjukkan pukul 19.37 WIB. Hore, ketemu juga. Yuhuu. Pada
awalnya kami memang kesulitan mencari
tempat dimana mas irwan FA menunggu, tapi berkat tekhnologi ghaib Hape yang
batrenya sudah berkedip-kedip, kami pun berhasil menemukannya.
Kesan pertama
melihat wajah gamblusnya justru membuat kami semakin lapar. Dan beruntung
sekali, disamping kanan mas Irwan terdapat tulisan "Nasi Goreng".
Duh, maka hanya ada satu kata : MAKAN!
Inilah kuliner
pertama kami di Ngawi. Nasi Goreng pemadam kelaparan. Nah!
Setelah makan,
kami lanjutkan perjalanan. Kira-kira Lima menit kemudian, kita akhirnya sampai
di rumah Mas Irwan. Disini suasana sepi dan damai sekali. Terlebih setelah
mendapati bahwa kondisi bapaknya mas Irwan sudah membaik. (selain jalan-jalan, tujuan kami kesini yang
utama adalah untuk silaturrahmi dan menjenguk bapaknya mas Irwan yang kabarnya
seminggu yang lalu dirawat di rumah sakit). Kami duduk santai. Ngobrol seputar
asal daerah, kampus, dan kesehatan. Sampai mas Irwan datang menyuguhkan kopi.
Pas lah pokoknya.
Malam itu, kami
menata tempat tidur di bekas kamar mas Irwan. Lalu ganti celana dengan sarung.
Sejurus kemudian kita menyusun rencana penculikan. Eh, bukan. Maksutnya rencana
dua hari kedepan. Bisik-bisik. Tengok kanan tengok kiri. (wis ah, gak usah
dramatis). Yes, rencana sudah tersusun. Sekarang waktunya memejamkan mata.
Dalam hitungan ketiga, anda akan tidur. Satu, dua, ...
Zzz... Zzz...
Keesokan
paginya, kami terbangun. pagi sekali. Sholat shubuh yang hening. Matahari belum
sempat muncul. Burung-burung berkicau. Diluar rumah ibuk-ibuk sudah menyapu
halaman. Embun masih menempel di daun-daun. Dan ada sesuatu yang terasa damai
sekali --seperti Cinta.
Irwan memasak
nasi dan mie instan. Saya membuat hal yang paling wajib : Kopi hitam ala chef
MH maulana.
"Srruputt...
Sruppuuut"
Setelah ngopi
pagi, sarapan, dan mandi (sumpah rek, Aku mandi. Gak bohong deh) kita berangkat
menuju rumah ibunya mas Irwan.
Brruumm...
Bruuuumm...
Setengah jam
perjalanan santai, akhirnya kita sampai. Nama daerahnya Jogorogo. Masih ngawi
tentunya. Disinilah kami tahu bahwa mas Irwan memang punya keturunan darah seni
dari keluarganya. Ibunya adalah seorang penyulam handal. Hal ini nampak dari
Empat karya Sulaman apik yang berbentuk lukisan dan kaligrafi pada sisi-sisi
dindingnya.
Disini kami
mendengar nasehat, wejangan, dan pesan untuk terus bersemangat mencari Ilmu
sekaligus tekun beribadah. Beberapa menit setelah berbincang-bincang, acara
dilanjutkan makan (lagi). Oke, siapa takut.
Kali ini,
kuliner kedua Ngawi, Nasi Kari Ibunda (Irwan). Mantap!
Perjalanan
berikutnya, ke Rumah Mbah Kakung Irwan.
Sembari Irwan mengantar Ibunya ke bantu-bantu acara mantenan. Kami disuruh
menunggu di Kedai Pentol Corah (Wauw, makan lagi. Okelah). Perlu sodara-sodara
ketahui bahwa pentol corah adalah salah satu jajanan khas daerah se-karisidenan
Madiun (Ngawi, Magetan, Madiun, Nganjuk). Pentol corah ini terkenal dengan
bentuknya yang menyerupai irisan kentang kotak-kotak --yang menjadi ciri khas
adalah rasa Pedasnya yang bikin kipas-kipas. Dan memang benar, setelah kami
pesan Dua porsi untuk bertiga (Saya, Irwan, dan Temon). Kami langsung saja
berkeringat kepedesan. Sip lah. Kuliner ketiga Ngawi, Pentol Corah. Joss!
Brruuummm...
Bruuuuumm...
Perjalanan kali
ini lebih asyik. Kami melewati jalanan dimana permadani sawah padi terhampar luas.
Tegap kokohnya gunung Lawu menjadi kerinduan tersendiri. Petani mencangkul.
Anak-anak berangkat mengaji. Kambing-kambing berlarian. Sepertinya tidak
berlebihan Cak Nun menyebut hal-hal seperti itu sebagai "Indonesia bagian
dari desa saya"
Dan Kami telah
sampai ke rumah Mbah Kakungnya Irwan. Senyum ramah langsung menenangkan hati
kami. Tawa orang tua --Tawa rendah hati dan bijaksana. Ketika langkah kaki
sampai disini awal perjalanan hati kami semakin terasa. Nanti, apa yang kami
lakukan bersama keluarga mbah Kakung membuat kita sadar bahwa Ngawi bukan
sekadar nama Kota saja.
Bersambung...
Diketik dengan
Hp, Awal Perjalanan menuju Jogja. 14 Desember 2014
Comments
Post a Comment