Skip to main content

NGAWI ; MASIH PERJALANAN HATI DAN KEINGINAN UNTUK CEPAT NIKAH (bagian 3 selesai)

Ngopi bareng mbahnya Irwan

Oleh : MH Maulana

Kami masih belum mengerti. Mengapa hanya dengan melihat wajah mbah-mbahnya Irwan sudah bisa membuat kami bahagia. Pasalnya senyum dan tawa alaminya tak pernah tidak hadir dalam setiap pembicaraan --mengenai apapun (rasanya adem ayem banget lah).

Adegan berikutnya : kopi hitam ngawi datang (yes!)

Seperti biasa kami langsung sruputt sruput. Pembicaraan pun dilanjutkan kembali. Kali ini mengenai kelinci. Dan kami langsung diajak melihat kelinci di ruang belakang. Wauw. Banyak sekali ternyata. (sambil dinyanyiin ya) Ada yang hitam. Dan Ada yang putih. Setiap hari dirawat semuanya. Kelinci-kelinci. Semuanya indah. Duh! 

kelinci... cup.. cup... :D


Kelinci bayi


Setelah puas melihat-lihat, Kami sempat mau ditawarin kelinci goreng bumbu. Tapi naluri kekelincian saya memberontak, "Jangan mbah, nanti kalau kelincinya disembelih kasihan, kelincinya bisa  nangis." dan saya hanya mendapat tawa-tawa beliau. Sambil mereka tetap menawari lagi, "Lha gelem ora?" kali ini saya hanya menggelengkan kepala. (dungaren Sen, menolak makanan. Heleh. Sok-sok-an lah)

Kami kembali ke ruang tengah yang ademis, ayemis, dan sederhanais. Tiba-tiba datang seperangkat nasi, ikan kali, ikan asin, dan sambal hijau. Meskipun kami habis makan, tapi tak baik mem-PHP masakan yang sudah ada di meja. Jadi, Bismillah, aem aem. Yeah!

Makan sudah, ngobrol sudah, sholat di masjid (ehem) tadi juga sudah. Sekarang kami minta nasehat dan didoain sama mbahnya Irwan. Allahumma... (kami mengamini).

Perjalanan pun dilanjutkan, kali ini menuju pondok bekas mas Irwan dulu sanlat (pesantren kilat). Sesampai disana, kami disambut asik. Ngobrol santai di belakang masjid --yang langsung berhadapan dengan  sungai, alaminya rimbun bambu, santri yang mancing, dan  siluet senja yang mengintip. Lagi-lagi ada damai menyelimut jiwa. Oh!

Iqamah maghrib berkumandang. Kami memasuki masjid, Sholat  (Sholat rek, mosok ngeces Hape). Disini terjadi kejadian lucu yang sengaja tidak penulis ceritakan. Silahkan bertanya sendiri sama mas Irwan.

Serampungnya Maghriban kita "Cau" ke rumah mbaknya Irwan. Tidak jauh dari masjid. Dan disana. Apa sodara-sodar. Kita belajar berumah tangga.

Mbaknya Irwan tinggal bersama suami dan satu anaknya yang masih balita --yang tentunya saling menyayangi. Lagi-lagi kopi datang, kali ini ditambah jajanan kuliner khas Ngawi, Kripik Tempe. Kami mengobrol sambil menahan tawa ketika lagi-lagi Irwan dikatain kurus banget apa di Jogja tidak keurus (Dalam hati saya ingin menambahi. Itu juga karena Cinta, Mbak).

Pasangan Suami Istri ini begitu kompak mengurus si Anak (karena kebetulan doi lagi rewel). Digendongnya bergantian. Yang satu ngobrol. Yang satu ngajak si Anak ngelihatin bintang diluar rumah. Romantis lah pokok.e (Kita kapan Wan, Mon)

Dan malam semakin malam. Agenda berikutnya : ke Alun-alun Ngawi. Perlu sodara-sodara ketahui bahwa alun-alun Ngawi ini adalah alun-alun terbesar di Jawa Timur. Oke, yuk Buktikan.

Memang benar, luas banget ditambah malam minggu. Ramai pol lah. Disana, Kita sempatkan minum Es Degan sambil ndengerin sholawatan live dari panggung utama alun-alun. Namanya mafia sholawat (artinya manunggaling fikir lan ati nang sholawat), kami pun menyempatkan mampir masjid agung Ngawi. Dan habis itu, Pulang (sedikit catatan, parkir di masjid adalah 5000 per motor, bayangpun!. Tapi mungkin juga ini disebabkan karena ada acara)

Sesampai di rumah, kami tidak langsung berhenti atau istirahat. Kami justru  diajakin Irwan ke temannya yang besok mau nikahan. Oke, no what what.

Dan di sana, kami ngopi (lagi), nglinting rokok asoy dan ngobrol sama mas Nasikh yang besok nikah sama mbak Laila. Memang sih, mas Nasikh kelihatan santai, tapi juga sibuk mikir akan wisuda ke-laki-laki-an-nya besok. Kami ngobrol sambil ikut mendekor tulisan "Mohon Doa Restu", "Sugeng Rawuh", de el el (juga tak lupa di tipi, chelsea menang 2-0 atas Hull city. Catat!)

Kami lumayan capek. Waktu menunjukkan pukul setengah tiga pagi. Dan kami memutuskan pulang. Tidur bung! Dan Kami tidur dengan harapan mimpi yang sama. Nikah!

Esok paginya, karena lumayan buru-buru. Kami menyantap nasi pecel bungkusan (tapi enak rek, yakin) di meja. Kemudian mandi. Ganti pakaian --baju koko-- langsung menuju tempat nikahan.

Suara rebana terdengar mendayu-dayu, bacaan ayat suci, deklamasi MC, kursi yang berderet, asap rokok yang berkebul, anak-anak berlari. Suasana Nikahan memang harus mengenang. Karena --menurut hemat saya-- pernikahan bukanlah pernikahan antar dua individu saja, tetapi juga antar keluarga, antar agama, antar kota/desa, dan juga. Antar kebudayaan.

Kami duduk-duduk santai. Dan seperangkat nasi rames beserta --salah satu minuman kuliner khas ngawi seperti wedang ronde atau kolak yang dicampuri kacang dan roti-- wedang Camue datang. Makan lagi. Siaap. 

Di Acara Nikahan


Disini kami dengan bayangan dan keinginan yang sama : (lagi-lagi) pengen cepet nikah (semoga yang dipengeni juga ngrasain. Amin)

Setelah menghadiri acara nikahan. Kita pulang. Ganti pakaian. Istirahat sebentar. Sambil bersiap-siap menuju tujuan terakhir di Ngawi : Alas Srigati.

Brrruuumm... Bruuuumm...

Mampir bentar di kedai Es Campur 

Es campor sodara-sodara

Brruuuumm... Bruuumm...

Pemandangan yang khas di Ngawi adalah setiap rumah kebanyakan mempunyai tiga pintu didepan. Naluri mahasiswa kami muncul. Hal ini kami integrasi dan interkoneksikan dengan konsep tiga kebahagiaan hidupnya vandana shiva : kebahagiaan dengan alam, sesama manusia, juga kebahagiaan dengan sang pencipta.

Dan kami telah sampai : Alas Srigati. Biaya retribusi sebesar 2000 rupiah. Harga sebatang rokok surya di kantin dakwah kembali 500.

Kesan kami, hutan ini masih sangat alami. Alas Srigati ini terkenal sebagai napak tilas Prabu Brawijaya Lima sebelum berangkat moksa ke gunung Lawu. Tempat ini juga terkenal pernah dipakai syuting mister tukul jalan-jalan sebagai tempat yang wingit dan penuh misteri.

Di Alas Srigati

Suasananya damai. Kami berjalan terus. Menuruni tangga. Sampai langkah kami tiba di sungai Tempur. Disini hawanya tiba-tiba berubah menjadi sedikit panas. Kami berkeringat. Jadi kami memutuskan sebentar saja melihat-lihat sungai --yang juga banyak kami menjumpai dupa dan bunga tujuh rupa di sisi-sisinya. kami langsung kembali ke atas. Ke tempat patungnya krishna dan disampingnya adalah bangunan menyerupai tempat pemujaan.

sungai tempur yang mistis


di Patung Krishna

aku akan menjadi sepertimu, bapaaaak 


Kami ngobrol-ngobrol bersama salah satu penjaga tempat itu. Namanya Pak Karno. Beliau bercerita panjang lebar, diantaranya : bahwa krishna sebenarnya adalah pengejawantahan Wisnu yang bersedia mendampingi umat manusia, tentang semar yang aslinya dewa ismaya, tentang arjuna yang mengapa sudah sakti mandraguna tetap membutuhkan pembantu punokawan, tentang logika kalau marah adalah api berarti obatnya adalah wudlu ataupun cuci muka (air), juga tentang perlunya kesadaran memahami kearifan lokal bangsa Indonesia yang tidak hanya diteriak-teriakan saja. Kami terus ngobrol sampai tak terasa senja di langit sudah akan berpulang. Akhirnya pembicaraan, kami sudahi. Kata bapaknya bersambung

Sebelum pulang, kita mampir di mushola alas srigati. Tempatnya unik. Dibelakang mushola menuju tempat wudlu terdapat pondokan gubuk-gubuk santri putri yang menghafal Al-quran. Beberapa dari kami tak berkedip memandang keindahan ciptaan Alloh tersebut. Tidak berlebihan kalau kami kemudian menyebutnya sebagai bidadari-bidadari Surga yang ada di dunia. Subhanalloh

Brrruuuuumm... Bruuumm...

Mampir sebentar di kedai tepo kecap, salah satu kuliner khas ngawi. Seperti gado-gado, tapi berkuah bumbu kecap dengan irisan tahu dan tepo yang bumbunya meresap. Hm... Maknyus! 

Tepo kecap. hemmmm


Brruuuumm... Bruuuuumm...

Dan kami telah pulang kembali, di rumas mas Irwan. Kami beristirahat sebentar. Sebelum kembali menuju kota yang penuh dengan sarapan sore dan tugas kuliah yang menumpuk.




Kami mandi (biar gak ngantuk), ngopi lagi (biar juga gak ngantuk), lalu kami berpamitan dengan bapaknya mas Irwan. Sambil berdoa semoga sehat selalu dan tak kekurangan suatu apa. Mas Irwan memutuskan kembali ke Jogja insya Alloh hari selasa. Karena besok pagi mengantar  kontrol bapaknya. Oke, Ngawi. Perjalanan hati. Kami pamit dulu. Assalamualaikum

Brrruuuumm... Bruuumm...

Tentang riset dan penilitian kami. Ngawi ternyata memiliki indomart, meskipun kebanyakan alfamart. Dan alfamart disana ketika malam hari banyak yang tutup. Jika buka pun yang nampak hanya dua motor yang diparkir milik kasirnya. Mengenai lift, kami belum dapat jawaban pasti, tapi disana ada rumah sakit dengan lantai yang cukup tinggi. Disini kami berkhusnudzon. Mungkin ada Lift disana.

Mungkin saja


Selesai


Diketik dengan Hp, bumi mataram, sambil bercita-cita segera mandi dan menyelesaikan tugas pak war. 15 Desember 2014

Comments

Popular posts from this blog

'Menikah itu Biasa Saja'

/1/. Saya sepertinya akan selalu memikirkan pembuka novel Anna Karenina karangan Leo Tolstoy sampai kapan pun. "Keluarga bahagia, bahagia dengan cara yang sama. Keluarga tidak bahagia, tidak bahagia dengan caranya masing-masing," tulisnya. Dan saya menikah. Mengucap janji di hadapan penghulu, orang tua, saksi, hadirin yang datang, dan tentu saja pacar saya yang menjadi istri saya: Yeni Mutiara. Mungkin aneh. Tapi saya berharap ini biasa saja. Seperti menggubah lagu Efek Rumah Kaca yang dimuat dalam album debut eponimnnya. Ketika rindu, menggebu gebu, kita menunggu Jatuh cinta itu biasa saja. /2/. Saya masih mengingatnya. Tertanggal 4 Maret. Pagi tiba ketika kapal laut mengangkat sauh di selat sunda. Itu kali pertama Abah, Ibuk, Adek, dan Budhe mengalaminya. Kami duduk di ruang terbuka. Mengamati gugusan pulau kecil dengan pepohonan kelapa yang berjejer, seperti lanskap di buku gambar anak-anak. Sesekali kami minum kopi, memakan cemilan, dan meresapi udara se

Kau, Cahaya

Di hadapan pintu kebahagiaan. Kesedihan menyeruak, membawa pedih, menggigilkan tubuh waktu sebelum keberangkatan. Segala yang bernyawa, berujung tiada. Pada keheningan itu, sebelum maut. Nama umat yang kau sebut Seorang penyair melagukannya. Sebatang pohon kurma menangis, tatkala kau pergi. Air matanya luruh melebur embun shubuh. Kesejukan pagi itu, angin yang berhembus di sekitarnya, dan tangis yang belum berhenti, seperti pertanda perasaan kehilangan, yang akan selamanya. Tapi mengapa nama umat yang kau sebut, bukan sorga, juga bukan Tuhan yang menciptakan semuanya, saat kematian itu tiba?  Kau manusia. Mengembala. Berniaga. Bersedih dan bercanda. Dan di hatimu, terbuat dari apa relung sanubari itu, begitu hidup, begitu luasnya. Begitu jernih, menarik semuanya.  Kau yang penuh cinta.  Cahayamu terbit dari kegelapan suatu masa. Pendarnya membuat orang-orang menghampirimu. Bahkan di hari lahirmu, orang yang kelak sangat membencimu, pernah begitu bahagia. Ia haru, ia merdeka

Selamat Ulang Tahun, Istriku

Beberapa puisi ini untukmu.   /1/. Pohon-pohon meranggas di sekujur tubuhnya,  usia dan waktu  berkejaran.  pernah kita memandanginya  di sana-sini  menghitung hari-hari  yang ditinggalkan hujan.  kita terus saja berbicara  menginginkan suatu hari  hanya angin, dingin,  dan luasnya cakrawala.    kau sandarkan kepalamu  di pundakku  tangan kita berpegangan.  Rasanya seperti  menggenggam erat seluruh isi dunia ini.    /2/. Cat yang belum kering  wangi ini akan selalu kuingat  dengan cara terbaik  yang kumiliki.    saat itu, dinding kusam  tubuhnya mengelupas  oleh lupa  dan terabaikan.    kita mengingat suasana  yang kita inginkan  sebelum bulan berganti  dengan penyesalan.    kuas menyapu sekeliling  menghapus kesedihan,  dan dendam  di balik pintu.    perlahan, udara baru  masuk dari ruang tamu  untuk tinggal  dan menetap.    dunia ini bukan ruang tunggu kita memang sengaja diundang  untuk berbahagia.   /3/. Kacamata di atas meja    seringkali aku menemukannya