Tidak tahu mengapa, (mungkin karena lagi selo) penulis (kok)
ingin menuliskan sesuatu-sesuatu ketika menjadi relawan bencana longsor di
Banjarnegara. Terlepas tulisan ini dianggap pamer, pencitraan, dan usaha untuk
menambah suara di pemilu mendatang. Terserah! (tapi neg bisa ya Jangan).
Oke, tulisan ini pada nantinya akan membahas beberapa
keganjilan dan kegenapan yang penulis jumpai di lapangan. Tapi sebelum itu,
para jamaah yang terkasih dan tersayang perlu ketahui bahwa telah terjadi
bencana longsor pada Jumat (12/12) tepatnya di dusun Jemblung, desa Sampang,
kecamatan Karangkobar, Banjarnegara. Kurang lebih sekitar 85 korban meninggal
dan puluhan lainnya tidak ditemukan. Cukup!, kalau berita panjangnya bisa
sampean akses sendiri di internet terdekat atau koran-koran (yang
penjualnya) cantik di Toko-toko pinggir
Jalan.
Sebenarnya menjadi relawan tidaklah melulu soal kerja berat,
lari kesana kemari, menjumpai mayat, menggotong, mengangkati barang-barang
berat. Percayalah saudara, tidak se-ekstrim itu. Karena menjadi relawan,
seperti kata kawan kriss adalah menjadi kuat dan sehat setiap saat dan tidak
boleh kerja berlebihan sehingga sakit. Bungkus!
Bencana --seperti halnya juga cinta-- adalah hal yang
tiba-tiba dalam hidup. Setelah semua pergi, kita tahu. Bahwa selalu ada yang
harus kita perjuangkan disaat, sebelum, atau setelah semuanya terjadi. Karena
hidup bersama kenangan yang telah dibangun bersama dalam rumah dan tiba-tiba
saja hancur dan rata oleh tanah itu sakit sekali dan mempunyai guncangan hebat,
bayangkan saja. Rumah yang dibangun dari jerit payah sendiri. Uang dikumpulkan
untuk membeli perabot rumah, menghias rumah, dan memperbaiki rumah. Tiba-tiba
harus sirna begitu saja. Hancur hilang begitu saja. Bahkan dari penuturan salah
satu korban selamat, Pak Wahno,
"Mas, kalau saya disuruh memilih dikasih uang jutaan,
milyaran, sampai terliyunan tapi rumah saya hancur karena longsor. Saya gak mau
mas. Saya mending tetep di rumah sendiri. Gak dapat bantuan, gakpapa. Meskipun
kekurangan. Tapi aman dan nyaman."
Begitulah yang penulis dan kawan-kawan jumpai di Seputaran
posko pengungsian. Tinggal sekarang kita menunggu usaha pemerintah untuk
melakukan relokasi atau "move on terstruktur" untuk para korban. Dan
satu hal yang perlu juga saudara ketahui bahwa logistik sudah --sangat--
menumpuk. Bahkan bantuan barang-barang sudah meluber sampai rumah-rumah warga
yang dijadikan pengungsian. Sehingga membuat kondisi pengungsi semakin penuh
sesak (saya tidak bisa membayangkan seandainya barang-barang logistik itu
adalah buah durian. Haduh!).
Berikut ini adalah hal-hal yang menjadi catatan --entah
keganjilan atau kegenapan, bisa juga berarti sisi lain-- yang penulis jumpai di
Lapangan. Oke, cekidot... (jangan serius-serius)
1. Jadilah Relawan bukan Wisatawan
Entah siapa yang memasang baliho tersebut di pinggir jalan
menuju lokasi posko pengungsian. Tapi penulis kira itulah pentingnya suatu text
untuk dibaca --apalagi jika dikaji hermeneutikanya (halah, opo ae)
Pasalnya berbondong-bondong turis lokal datang ke lokasi
longsor tidak untuk memberikan bantuan.
Melainkan hanya menonton, menyaksikan, sambil tenang sekali berbicara
lirih,
"Ooh... Ini to yang namanya Longsor"
Bukankah sudah banyak sekali pemandangan itu nampak di
televisi kita sehari-hari. Cukuplah bapak-bapak dan ibu-ibu kalau hanya untuk
menyaksikan. Jangan jadikan penderitaan orang lain sebagai pemuas keinginan
belaka. Camkan Rek! (ekspresi sambil bergaya seperti bung tomo. Yeah!)
2. Bung Kriss dan aliran Koreanya
Kali ini cerita mengenai kawan relawan. Namanya Bung kriss.
Dia Relawan yang militan progresif dan revolusioner. Analisisnya jitu.
Wawasannya luar biasa. ada yang menjulukinya dengan nama "Jenggot
Surga".
Bung kriss --yang berdarah kalimantan-- ini orangnya lumayan
sangar. Rambutnya beraliran GKR (Gondrong Kriting Reggae) yang dilanjutkan kumis dan jenggotnya pun sama --beraliran
GKR.
Hampir hal apapun yang disampaikan oleh Bung Kriss pasti
keren. Dari gerakan mahasiswa, kebudayaan, sampai sejarah internasional pasti
enak dibahasnya --seperti makan mie ayam bakso pedas pas lapar yang diiringi
hujan. Hmm... Maknyus!
Yang menarik dari Bung Kris --hampir semuanya menarik sih--
adalah kekagumannya pada film india dan --terlebih-- korea daripada film action
holywood. Hal ini juga yang membuat penulis sempat syok. Wajah garang aktifis
2000-an menonton serial korea yang episodenya tidak hanya satu dua ini sambil
menyendiri di kamar dengan pintu tertutup sambil meneteskan puluhan air mata.
Bayangpun!
Tapi Bung Kriss selalu punya jawaban. Baginya Film korea itu
mengajarkan kelembutan yang harus ada pada laki-laki agar tidak melulu berlaku
kekerasan (baca: kekejaman). Oke bung, mbuh. Sekarepmu. Sing penting ngopi!
3. Boim yang kembali ke masa lalu
Disini syarat relawan harus sehat. Hampir kebutuhan gizi
relawan bisa terpenuhi setiap harinya. Mulai dari makan tiga kali sehari, Susu,
Biskuit penambah energi, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan relawan dipenuhi oleh posko dapur umum dan
logistik (ditemukan fakta bahwa beberapa nasi kemarin dijumpai berlauk daging
sapi dan itu tidak hanya sekali. Nah!).
Hal ini juga yang membuat saudara Boim militan dalam urusan
data mendata laporan dan --tentunya--
dalam urusan makanan (dong!).
Perlu saudara ketahui disini bahwa mas Boim adalah bagian
database dan statistik dua dunia (dunia nyata dan dunia maya --bisa jadi juga
dunia pelangi) Posko Gabungan Rakyat Peduli Bencana Yogyakarta (PGRPBY).
Satu hal disini --saking semangatnya makan dan mendata-- Mas
Boim mungkin lupa kapan terakhir kali menimbang badan (Bahkan karena saking kurusnya, beliau pernah digosipkan
mengonsumsi narkoba dan obat-obatan sakit kepala. Haduh, Sabar ya Im!).
Tapi hal tersebut --gosip kekurusan-- sepertinya akan
berubah drastis. Karena dari tes uji forensik (what?) Mas Boim diprediksi bisa
saja kembali ke masa lalunya. Masa ketika kaosnya yang gede-gede itu pas bersinergi dengan tubuh sintalnya. Maka hanya
ada dua kata Im : saatnya menimbang!
4. Ujian Mandi
"Dingin-dingin dimandiin. Nanti masuk angin."
Salah satu kutipan lagu Joshua itu sangat pas untuk
menggambarkan suasana di posko relawan PGRPBY. Penulis sangat setuju mengenai
hal tersebut.
Selain dingin, curah hujan yang tinggi juga yang membuat
kawan relawan ketika beristirahat lebih memilih untuk berkerubung sarung atau
selimut sambil meminum kopi hitam panas berkebul dan rokok yang beriringan
mesra. Kalau urusan mandi. Nantilah di Jogja! Oke?
Tapi sayangnya urusan lapangan memang juga mengenai urusan
kompromi. Dalam beberapa hal memang kita harus mandi. Tapi tidak mandi juga
ndak papa kok. Jadi mandinya dianggep ujian atau enggak ya terserah jadine.
(loh ya mbulet)
tapi selalu ada pemandangan yang menarik ketika malam hari
di posko PGRPBY. dengan lanskap selimut putih-putih dan baris berbaris yang
rapi. Ya, memang benar,
"Rumah Sakit pindah"
5. Lintas Relawan, keluarga ketemu gede
Lintas relawan adalah ciri yang paling khas dalam aktifitas
kebencanaan. Semua misionaris kemanusiaan terlibat menjadi saudara. Yang
berarti juga keluarga.
Semua-mua relawan itu
meninggalkan kenyamanan di tempat asalnya masing-masing. Demi pengalaman
baru, perjuangan baru, aliansi baru, sampai sandal baru (karena tertukar yang
disengaja. Waduh).
Karena semua relawan bersaudara, tidak jarang kami saling
bersilaturrahmi di tempat masing-masing bergantian. Kalau beruntung, kita bisa
mendapatkan suguhan air putih dan beberapa cemilan ringan. Tapi kalau sangat
beruntung, kita bisa mendapatkan suguhan kopi panas dan seperangkat cemilan
berat.
Biasanya kita akan bercerita aktifitas antar relawan sehari-hari. Asalnya mana. Kuliah
dimana. Organisasi atau komunitasnya apa. Semester ganjil atau genap. Nomer
hapenya berapa. --sampai pertanyaan pamungkas--
Sudah punya pacar belum (ehem!)
"Maaf mas, saya sudah menikah"
(Sabar ya Mas Wisnu. Tuhan selalu menyertaimu)
Diketik dengan hape, Banjarnegara, Malam Natal, 2014
Comments
Post a Comment