Skip to main content

PERJALANAN UJIAN MENTAL SI KUNING, BALADA TAHUN BARU WONOSOBO SAMPAI SIHIR SERAYU BANJARNEGARA



Oleh : MH Maulana

"Sebaiknya kita kembali. Cari jalan yang lebih lurus dan landai panjang. Tidak sampai banjarnegara. Tidak apa-apa"

Kalimat kepesimisan itu tiba-tiba keluar di jalanan menanjak daerah magelang setelah melewati jalanan borobudur. Malam gelap. Tidak ada kunang-kunang.

Beberapa jam sebelumnya (31/12), Kami berempat (Aku, daus, boim, dan galih) membuat rencana dadakan untuk AdvenTouring (ini istilah yang kita bikin) ke Banjarnegara.

Lewat rapat (tidak) penting itu akhirnya diputuskan secara sah bahwa kita akan berangkat siang hari. Dengan bekal dan nyawa seadanya kita membawa dua motor (si kuningnya Daus dan motornya galih) siap untuk menjejaki jalan raya, perbukitan, dan dingin plus seramnya malam.

Jogja panas, sekitar pukul setengah Empat sore kita berangkat (Huh, dasar jadwal karet). Sebelumnya saya dan daus mengantarkan si Bero (motor dinas komunitas) terlebih dahulu ke Maguwo. Si bero sedang sakit. Remnya lumayan blong dan mesinnya sering mogok. Si Kuning nampak bersedih ditinggal si Bero. Cepat sembuh ya, Nak!

Dan Si Kuning cantik siap menjadi kuda perang kita menuju Banjarnegara.

Langit tiba-tiba mendung dan menangiskan gerimis. Kita sempatkan terlebih dulu beli jas hujan kresek di jalan magelang. 14.000 berdua. Awet semoga.

Kita sudah sampai di Pom bensin jalan magelang. Boim dan Galih sudah menunggu. Tempat ini memang sering dijadikan transit kita sebelum arah keluar Jogja. Biasanya pas mau naik gunung ke arah Temanggung, Boyolali, dan Wonosobo.

Pun kita sempatkan njajan pentol tusuk dulu. Dan dasar traveler konyol, kita pun berfoto dengan Ibuk penjual Pentolnya. Cekrik! Cekrik!

Jalanan masih lumayan nyaman --Aman. Tapi setibanya kita di daerah desa Randusari, Salaman, Magelang. Bensin Si Kuning mengalami kemarau --kering, habis. Oh mai gad! Tidak ada penjual bensin. Kawasan hutan. Dan toko yang kita temui, bensin sedang kosong. Tapi dewi fortuna masih memihak. Pemilik toko mencarikan bensin buat kita. So suit. Suwun Buk! Mbah!

Perjalanan kembali kita lanjutkan, sementara langit mulai menggelap, dan senja, sampai jumpa!

Sekitar pukul Enam sore, si Kuning sepertinya mulai kelelahan. Dia sedikit mogok, jalannya sangat pelan. Ditambah daerah tanjakan. Sumpah, disini saya mulai --sangat-- pesimis. Soalnya ini masih belum jalanan Wonosobo yang membukit dan berranjau lubang.

Lama sekali kita berjeda. Disiramkanlah air ke mesin si Kuning. Dan Dialog diatas itu muncul. Kita mungkin saja kembali lewat jalan yang lebih panjang via Magelang Temanggung. Tapi tiba-tiba saja --Entah darimana datangnya-- kita percaya, Si Kuning pasti bisa melaluinya --jalur yang dari awal kita pilih, Via Magelang Wonosobo. Dan disini pula, saya merasa Si Kuning seperti punya nyawa.

Selepas berjeda di jalanan hutan, kita bertemu warung kopi. Maka, kita pilih ngopi dulu. Mencairkan suasana. Si Kuning juga sama.

Setengah jam lebih kita ngopi, perjalanan pun dilanjutkan. Dan Langit benar-benar hitam.

Si Kuning menaiki tanjakan --pelan-pelan. Tapi dia kuat. Mampu --dilewatinya waktu.

Ini perjalanan jauh pertama si Kuning. Satu jam mogok barusan biarlah menjadi kenangan saja.

Kita sudah memasuki daerah Wonosobo, sekitar jam Delapan malam. Tepatnya di daerah kagungan, gelap sekali. Tapi kok ramai orang dan kendaraan. Ooh, barusan telah terjadi kecelakaan Bus nyungsep ke Jurang. Duh! Semoga semua baik-baik saja. Amin.

20 Menit kemudian, kita sampai daerah kretek. Disini Si Kuning diisi Pertamax. Buat nambah amunisi.

Jalanan Wonosobo memang banyak lubang yang menyumur. Tepat pukul 20.34 Wib, Lampu belakang Si Kuning patah satu. Sentakan keras roda memasuki lubang berdampak pada onderdil tuanya. Perjuangan selalu membutuhkan korban, Kuning!

Kita akhirnya sampai di Kota. Nampak ikon buah Carica menguning manja. Jalanan ramai. Tahun baru sodara-sodara!

Jalan raya menjadi satu arah. Beberapa ruas jalan ditutup. Polisi berjaga dimana-mana. Hampir semua orang bertujuan satu, Alun-alun Kota.

Kita memang sengaja mampir Wonosobo dulu. Bertahun baruan di tempat teman-teman UNSIQ dan Teater Banyu.

Ada hal menarik disini, Jalanan merayap. Galih bertanya pada pak Polisi. Untung tidak dilihat plat nomor motornya yang sudah mati.

"Kalau ke UNSIQ, Lewat mana ya Pak?"

Aneh bin ajaib. Polisi membukakan jalan untuk kita --ruas jalan yang awalnya ditutup. Alhasil hanya dua Motor kita saja yang melewati jalanan dimana banyak orang berjalan kaki. Mereka heran, kok dua motor ini bisa lewat. Alun-alun pun kita lewati sesantai-santainnya. Yeah!

Dan Jam Setengah Sepuluh malam, kita sampai di kontrakan Bung Saman --Basecamp Komisariat PMII Wonosobo dan Teater Banyu.

"Wauw"

Ternyata ramai sekali disana. orang-orang sedang membakar Ayam. Guyonan, mungkin juga Pacaran. Tapi tetap Kita disambut hangat sekali. Padahal cuaca sedang dingin-dinginnya.

Disini teman-teman UNSIQ sangat agamis, Ramah, kebanyakan berlogat ngapak. Dari hasil analisa dibuktikan bahwa yang memakai celana pendek hanya Saya, Daus, dan Boim. Duh!

Kita ngobrol ngalor ngidul. Rokok kebul-kebul. Kopi sruput-sruput. Sampai sekitar pukul 11 malam. Bakaran ayam siap dihidangkan bersama nasi putih dan bumbu racikan pemuda pemudi Berbudaya, Progresif dan Revolusioner. Jos!

Kita makan ala gaya sosialis. Kolektifitas satu barisan lauk dan nasi. Semua tangan bekerja. Perut kenyang bersama-sama.

Kita lanjutkan lagi ngobrol santai. Sebentar lagi tengah malam. Tiba-tiba saya pengen lihat kembang api bermekaran.

Dan dua Motor kita pacu, menuju bukit sebelah kuburan. Disitu view-nya lumayan.

"Dor... Dor... Door... Dorr"

Kembang api nampak seperti bunga sepatu meledak-ledak dari kejauhan. Sudut kanan ujung, tengah, dan kiri. Saya berteriak kencang,

"Selamat tahun baru Bumi... Selamat tahun baru Wonosobo... Selamat tahun baru yang di Jogja... Selamat tahun baru Ibuk... Semuanya"

Tapi malam terlalu pandai membawa rindu. Kita bertiga (Saya, Daus, dan Naja) Terdiam. Asyik dengan pikirannya masing-masing. Kangen!

Kita putuskan bermalam dulu di Kontrakan teman-teman UNSIQ. Dingin sedang ganas-ganasnya.

Perut lapar lagi, jam Dua. Kita (Saya, Boim, Naja, dan Satunya lupa) bakar-bakar sate jeroan yang masih tersisa. Lumayan! Jadi penenang tidur.

Pagi, terlihat pagi sekali. sekitar jam Sembilan, kita bangun tidur. Dingin. Gerimis mengundang!

Kopi menyegarkan kami. Sarapan bungkusan datang (wauw). sego Megono dan mendoan khas Wonosobo. Nasi dengan campuran sayur kubis, sawi, dan yang lainnya. Masih hangat! Tempenya juga! Hemm... Maknyus!

Selepas sarapan, ngobrol-ngobrol sebentar. Perjalanan harus dilanjutkan, Bung!

Kita berpamitan. Cuaca lumayan cerah. Pemandangan alam menyegarkan kami!

Sekitar jam Setengah Sepuluh Pagi kita berangkat, jam Sepuluh lebih Sepuluh, kita sudah memasuki Gerbang kota Banjarnegara. Kebun salak merimbun. Gunung Slamet mengintip di kejauhan. Dan Sungai Serayu, menjadi Sihir damainya perjalanan. Ah!

Musik dari Hape daus menjadi Instrumen dan Soundtrack perjalanan. Lagu Train - hey soul sister, I'm Yours, The Culture club - Karma chameleon, Canon in D, dan lain-lain semakin mengidupkan advenTouring kami.

Serayu tetap merayu,

"Perjalanan dan pemandangan ini membahagiakan sekali, Tuhan."

Dan Setengah Dua Siang, Kita sampai di Karangkobar. Tiga hari yang lalu, selama Seminggu Saya, Boim, Wisnu, dan kawan-kawan yang lain menjadi Relawan Bencana tanah Longsor.

Kita langsung ke Posko PGRPBY (Posko Gabungan Rakyat Peduli Bencana Yogya) di SDN 1 Karangkobar. Berbagi cerita. Makan bersama. Tertawa. Dan Refleksi bersama. Tentu saja!

Banjarnegara --Selalu ada cinta untuk setiap kemanusiaan

Kita bermalam di Posko. Logistik relawan disini lumayan lengkap. Susu, selimut, keperluan mandi, Mi gelas, air mineral, dan cemilan. Tidak pernah absen!

Esok paginya jam 9 Pagi --sebelum ke Posko Pengungsian, kita sempatkan dulu ke pemandian air hangat alami.

Bau belerang lumayan tercium, Air tentu saja hangat, kita berendam di kolam sekitar 3,5x3,5 meter. Ngobrol dengan penduduk lokal. Logat ngapak menjadi keunikan tersendiri bagi kami. Menurut sejarawan Siwi Sang, bahasa ngapak adalah bahasa jawa kuna yang tentunya sudah berumur tua sebelum bahasa jawa krama--dan masih terjaga.

Pemandian air hangat di kecamatan Wanayasa ini belum komersil. Kita hanya ditarik parkir permotornya seribu rupiah. Mandi dan berendamnya gratis. Ada Tiga warung berjejer. Biasanya selepas mandi air hangat. Orang-orang mampir di warung ini untuk makan dan sekadar minum kopi.

Pemandian ini terdiri dari Dua kolam untuk laki-laki, dan Satu kolam untuk Perempuan. Terdapat juga kamar mandi dan Mushola. Anehnya, orang-orang biasanya langsung sabun-an dan sampo-an di Kolam. Tapi Uniknya, biasanya orang-orang --untuk hal ini yang saya jumpai laki-laki-- tidak sungkan-sungkan untuk mandi telanjang. Tapi Saya dan Galih masih tetap bertahan --dengan celana dalam, Kawan.

Setelah mandi kita kembali ke Karangkobar. Jumatan!

Sehabis Jumatan, kita langsung ke Posko pengungsian Ngalian. Sekalian pamitan dengan posko PGRPBY.

Di Ngalian, kangen terbayar. Saya ketemu lagi dengan anak-anak. Mbak-mbak relawan yang cantik, Ibu-ibu, dan bapak-bapak.

Boim dan Galih menyerahkan titipan Bantuan Uang tunai dari Kawan-kawan Jogja. Saya sempatkan berdiskusi sebentar dengan pemuda-pemuda pengungsi yang berencana membuat usaha Kripik.

Waktu pun berlalu, kita pamitan lagi. Dapur umum sempat membekali kita Empat buah nasi bungkus. Terimakasih yaa!

Sekitar jam Dua, kita meninggalkan Banjarnegara. Pemandangan masih saja indah.

Perjalanan pulang ditemani Liuk mengularnya Sungai Serayu. Hape Daus pun menjadi Romantis, karena kita terus memutar lagu rekaman keroncongnya Vika yang judulnya pun sama, Sungai Serayu.

Saya merasa perjalanan semakin hidup dan imajinatif. Lagu keroncongnya klop dengan bayangan zaman kolonial. Benteng Perang, Portugis, Jembatan Kereta dan Relnya yang sudah tidak dilewati kereta lagi. Debur arus serayu. Sungguh merayu --mendayu-dayu.

Sekitar jam Empat sore, kita sudah kembali memasuki Bumi Wonosobo. Langit mendung. Hujan deras pun turun berduyun-duyun.

Cuaca kemudian mendung-mendung gerimis. Jalanan basah. Senja diselimut kelam --lalu malam.

Di Wonosobo, kita sempatkan merapat ke kedai Mie Ongklok, 10.000 per Porsi plus mendoan. Mie ongklok mempunyai ciri khas dengan bumbu kacang dan kental rempah yang diaduk hingga berbunyi klok..klok..klok (katanya dari hal ini kemudian disebut mie ongklok). Kemudian 3000-nya buat jeruk hangat segar dan asli. Pun tidak lupa, beli Kopi bubuk khas Wonosobo sebagai buah tangan.

Sekitar jam Delapan malam, kita sampai di Magelang. Ban motor belakang Galih sempat bocor. Ada paku panjang menancap. Untungnya tambal ban tidak jauh. Lumayan lama kami menunggu. Ngrokok dan nyemil sambil berbisik mencurigai tambal ban yang banyak motor rodanya bocor karena sebab yang sama, Paku panjang. Ssstt!

Jogja menyambut kami. Sekitar jam 11-an. Mampir burjo memadamkan Lapar.

Si Kuning tersenyum manis, dia telah lulus Ujian. Selamat!

Diketik dengan Hape, sambil kangen Serayu dan sedikit mikirin UAS. minggu pertama Januari, 2015

Comments

Popular posts from this blog

'Menikah itu Biasa Saja'

/1/. Saya sepertinya akan selalu memikirkan pembuka novel Anna Karenina karangan Leo Tolstoy sampai kapan pun. "Keluarga bahagia, bahagia dengan cara yang sama. Keluarga tidak bahagia, tidak bahagia dengan caranya masing-masing," tulisnya. Dan saya menikah. Mengucap janji di hadapan penghulu, orang tua, saksi, hadirin yang datang, dan tentu saja pacar saya yang menjadi istri saya: Yeni Mutiara. Mungkin aneh. Tapi saya berharap ini biasa saja. Seperti menggubah lagu Efek Rumah Kaca yang dimuat dalam album debut eponimnnya. Ketika rindu, menggebu gebu, kita menunggu Jatuh cinta itu biasa saja. /2/. Saya masih mengingatnya. Tertanggal 4 Maret. Pagi tiba ketika kapal laut mengangkat sauh di selat sunda. Itu kali pertama Abah, Ibuk, Adek, dan Budhe mengalaminya. Kami duduk di ruang terbuka. Mengamati gugusan pulau kecil dengan pepohonan kelapa yang berjejer, seperti lanskap di buku gambar anak-anak. Sesekali kami minum kopi, memakan cemilan, dan meresapi udara se

Kau, Cahaya

Di hadapan pintu kebahagiaan. Kesedihan menyeruak, membawa pedih, menggigilkan tubuh waktu sebelum keberangkatan. Segala yang bernyawa, berujung tiada. Pada keheningan itu, sebelum maut. Nama umat yang kau sebut Seorang penyair melagukannya. Sebatang pohon kurma menangis, tatkala kau pergi. Air matanya luruh melebur embun shubuh. Kesejukan pagi itu, angin yang berhembus di sekitarnya, dan tangis yang belum berhenti, seperti pertanda perasaan kehilangan, yang akan selamanya. Tapi mengapa nama umat yang kau sebut, bukan sorga, juga bukan Tuhan yang menciptakan semuanya, saat kematian itu tiba?  Kau manusia. Mengembala. Berniaga. Bersedih dan bercanda. Dan di hatimu, terbuat dari apa relung sanubari itu, begitu hidup, begitu luasnya. Begitu jernih, menarik semuanya.  Kau yang penuh cinta.  Cahayamu terbit dari kegelapan suatu masa. Pendarnya membuat orang-orang menghampirimu. Bahkan di hari lahirmu, orang yang kelak sangat membencimu, pernah begitu bahagia. Ia haru, ia merdeka

Selamat Ulang Tahun, Istriku

Beberapa puisi ini untukmu.   /1/. Pohon-pohon meranggas di sekujur tubuhnya,  usia dan waktu  berkejaran.  pernah kita memandanginya  di sana-sini  menghitung hari-hari  yang ditinggalkan hujan.  kita terus saja berbicara  menginginkan suatu hari  hanya angin, dingin,  dan luasnya cakrawala.    kau sandarkan kepalamu  di pundakku  tangan kita berpegangan.  Rasanya seperti  menggenggam erat seluruh isi dunia ini.    /2/. Cat yang belum kering  wangi ini akan selalu kuingat  dengan cara terbaik  yang kumiliki.    saat itu, dinding kusam  tubuhnya mengelupas  oleh lupa  dan terabaikan.    kita mengingat suasana  yang kita inginkan  sebelum bulan berganti  dengan penyesalan.    kuas menyapu sekeliling  menghapus kesedihan,  dan dendam  di balik pintu.    perlahan, udara baru  masuk dari ruang tamu  untuk tinggal  dan menetap.    dunia ini bukan ruang tunggu kita memang sengaja diundang  untuk berbahagia.   /3/. Kacamata di atas meja    seringkali aku menemukannya