Katakanlah, suatu hari di suatu negeri yang tidak bernama "negeri asalnya" lagi. Korupsi benar-benar tidak ada. Orang-orang mulai berbondong-bondong bangun pagi. Merasa semuanya telah menjadi makmur dan sejahtera.
"Tapi ternyata kok belum", kata seorang bapak yang namanya menggunakan kode sekian-sekian-sekian
"Iya, masih ada segelintir orang yang berkuasa" kata seorang bapak berkode yang lain
"Kita harus demo?"
"Hah, ngapain?"
Di Negari itu. Katakanlah nama negaranya rada ketimuran "Done se Yain". Korupsi hanya jadi dongeng masa lalu di sekolah kanak-kanak yang tak lagi menggunakan guru-guru di kelas. Biasanya hanya disetelkan pencahayaan 4 Dimensi. Dan guru-guru hanya tinggal melakukan rekaman dari rumah masing-masing. Ya, di rumah mereka yang atap dan lantainya sudah dipenuhi dengan kaca dan alat-alat yang sudah bisa aktif jika hanya disentuh dengan ujung-ujung jari.
"Padahal Korupsi sudah tidak ada"
"Iya, tapi kok kita masih belum sejahtera"
"Aku jadi ingat cerita kakek 50 tahun yang lalu"
"Apa itu?"
"Iya dulu, di negara ini banyak orang korupsi"
"Terus?"
"Ya sekarang udah ndak ada"
"Tapi kok masih gak sejahtera"
"Iya itu dia"
Negeri itu tidak lagi mengenal korupsi. Setiap ada orang yang melakukan korupsi pasti langsung hilang, Ya hilang se-hilang-hilangnya. Seperti sejarah yang lebih lama di negeri itu. bahwa siapapun yang melakukan --atau bahkan-- terlibat secuil saja dengan yang "merah-merah" pasti langsung hilang. Dan kehilangannya terus diperingati --atau entah dirayakan-- sampai saat ini. Ya, biasanya pas hari kamis lewat media online masing-masing.
Di Negeri itu --ditengah era milenium sekian-sekian-sekian-- memang masih ada keajaiban. Yaitu setiap ada manusia (yang kini ukurannya sudah pendek-pendek) terlibat kasus korupsi. Sebiji sawi saja. Langsung hilang. Tidak membekas. Dan belum ada teori terbaru yang bisa meng-ilmiah-kan itu.
"Katanya sudah zaman paling super modern?"
"Iya e, kok gitu. saya jadi prihatin"
"Iya, tahu. Tapi itu bukan urusan saya"
Negeri itu sudah tidak ada korupsi. Serius. Tapi negeri itu masih belum makmur.
"Padahal dibuku elektronik sejarah zaman dulu gerakan anti korupsi jadi paling buming di negeri ini. Dan semua orang berharap korupsi hilang terus kemakmuran datang"
"Tapi nyatanya ndak tuh"
"Lha itu dia"
Ki Pek nama terjemahan kode pemuda itu. Ya, namanya memang begitu. Ki Pek adalah buruh tidak makmur yang bapaknya buruh pun kakeknya juga buruh. Jadi tidak hanya kemiskinan. Perburuhan pun juga menurun. Dari kakek menurun sampai cucunya kakek. Ki Pek --meskipun zaman milenium sudah sekian-sekian-sekian-- tetap bekerja delapan jam sehari, malah seringnya lebih berjam-jam, libur dan cutinya pun sedikit sekali.
"Kok Ki Pek ndak demo?"
"Udah, demonya kan tinggal ngehastag. Sama ribuan orang malah"
"Lha hasilnya?"
"Ya, rame"
"Cuma itu?"
"Ndak, biasanya malah sepi, kalo keganti isu yang lain"
Di milenium sekian-sekian-sekian itu. Ketidakmakmuran tidak diukur dari dia punya gadget mewah atau tidak. Karena hal yang awalnya mewah nanti bisa jadi sangat biasa. Yang awalnya keinginan bisa (di)jadi(kan) kebutuhan. Seperti sejarah di negeri itu yang lalu. Bahwa banyak hal mewah akhirnya jadi biasa-biasa saja, seperti nasibnya Radio, Televisi, Sepedah, Motor, Hp, Internet, Robot, Motor tanpa roda, sampai Sepatu turbo tiga roda. Ya, semuanya akhirnya jadi biasa-biasa saja.
Dan Ki Pek memang selalu teringat kisah kakeknya 50 tahun yang lalu. Ya, dulu Kakeknya adalah pejuang buruh yang hidup-hidupan memperjuangkan upah dan korupsi sampai --apapun yang sampai-- tetes terakhir. Mulai dari lembaga korupsi melawan lembaga tidak korupsi, sampai istilah keren saat itu, cicak versus kebun binatang. Meskipun akhirnya perjuangan itu memang membuahkan hasil. Tidak seperti reformasi dalam sejarah negeri itu yang pernah terjadi dan kurang membuahkan dada pejuangnya.
Sampai akhirnya Ki Pek di suatu senja setengah malam hari bercengkrama bersama istrinya --yang nama terjemahan kodenya-- Li Siu Po --yang kerjanya sebagai buruh cuci gadget dan peralatan milenium rumah tangga.
"Aku lelah, Istriku"
"Duh, Kenapa?"
"Sudah terlalu lama"
"Apanya yang lama?"
"Kita seperti ini"
"Terus?"
"Padahal korupsi sudah tidak ada"
"Lalu?"
"Kita belum sejahtera"
"Lantas mau ngapain?"
"Aku ingin menyalahkan kakek. Mengapa dia dulu hanya memperjuangkan upah dan penghabisan korupsi. Tidak memperjuangkan penghapusan sistem segelintir orang bermodal yang berkuasa tersebut"
"Mungkin kakek pas itu lupa, dia kan sedikit pikun"
"Hmm"
Ki Pek mulai lelah. Akhir-akhir ini dia kurang bisa tidur. Belum lagi ekonomi rumah tangga milenium mereka semakin menipis. Padahal di pasar online, Pil gizi dan protein semakin mahal.
Dan Ki Pek memutuskan mencari arsip kakeknya, Arsip yang belum dielektronikkan. Karena di milenium itu buku yang berasal dari kertas sudah tidak diproduksi lagi. Pohon semakin sedikit. Jadi, pohon-pohon sangat dilindungi badan nasional. Ya, Ki Pek pergi ke ruang arsip keluarga. Dia ingin tahu sekali lagi membaca perjuangan kakeknya sebagai aktifis buruh. Ki Pek teliti sekali mencari buku yang belum pernah dibacanya.
"Hah, Buku apa ini? Catatan seorang buruh?" Batin Ki Pek mendapati Buku tulisan tangan bersampul merah-merah hitam kelabu
Tentu saja Ki Pek langsung membaca buku itu. Lama sekali. Sampai dia berhenti pada satu halaman. Ya, halaman yang nanti akan merubah hidupnya
... Tertanggal sekian-sekian-sekian. Negeriku begitu buruk kejahatannya, ini sudah tak terhitung lagi aksi turun jalan dilakukan. masak korupsinya kok tetap gitu. Dan hari ini kepalaku pusing. Lemas. Aku seakan pesimis dengan semua yang terjadi di negeri ini. Katakanlah di masa depan. Negeri ini tidak lagi mengenal korupsi. Ah, aku ngelantur. Iya, seandainya saja. Jika korupsi benar-benar tidak ada. Eh, sebentar. Tapi bisa jadi korupsi di masa depan semakin rapi, halus, dan tidak kelihatan. Bahkan alam, hukum, orang-orang, penulis, sampai malaikat dan setan tidak tahu kalau itu korupsi. Iya, korupsinya lebih halus dan rapi daripada sehelai rambut dibelah tujuh kali. Lha perjuanganku sia-sia dong. Ah, entahlah. Haduh, kepalaku cenut-cenut ...
Setelah membaca itu Ki Pek semakin geram dengan sistem di negerinya. Masak orang-orang yang cuma sedikit. Ya, hanya dengan segelintir modal kekuasaan saja kekayaannya bisa setengah hidup. Hal itu membuat Ki Pek mulai mengajak teman-teman buruhnya melakukan mogok. Tentu saja ini berpengaruh pada pabrik-pabrik milenium itu. Karena sudah jelas, buruh manusia jelas lebih murah dari buruh robot.
Mereka kali ini mogok kerja dan demonya lebih konvensional. Mereka turun ke jalan, mengangkat poster, dan berteriak.
"Selama ada keserakahan kapital, kesejahteraan untuk semua pasti batal"
"Korupsi, tunjukkan wajahmu. Jangan rapi-rapi gitu"
"Hapuskan sistem perbudakan yang mengatasnamakan kemakmuran"
"Mana nilai lebih hasil kerja kami"
"Bakar pimpinan pabriknya, kuasai alat kerjanya"
Tapi sayang, Ki Pek sebagai pemimpin gerakan terlalu bersemangat dengan pikiran-pikirannya. Ya, ditengah mogok demonstrasi itu dia mengulang sejarah yang pernah terjadi di negerinya. Ya, Ki Pek membakar diri. Dia melakukan itu sambil berharap orang-orang tersulut semangat perlawanannya. Api itu tentu membuat Ki Pek hangus. Dan mati, tentu saja. Aksi mogok mendadak hening. Teman-teman buruhnya bingung. Mereka belum tahu jalan pikiran Ki Pek. Hanya beberapa orang mengaku kemarin mendengar Ki Pek mempunyai gagasan tentang Teori Korupsi Usia. Entah apalah itu.
Tapi Ki Pek tetap diam, dia terlalu cepat jadi abu dan menghilang
Hal itu dimanfaatkan beberapa pimpinan pabrik. Ya, mereka memberikan beberapa pesangon untuk orang-orang yang masih mogok.
"Ayo pulang, besok kerja lagi"
Dan sampai dua minggu kemudian, keramaian tetap terjadi. Ya, memang ramai. Ramainya orang yang menulis di media sosial milenium itu. Tulisannya macam-macam. Tapi akhir semua tulisannya tidak ada yang berbeda, Ya, mereka semua menulis hastag yang sama.
#PrayForKiPek
Diketik dengan Hp. Hari terakhir januari, 2015
Comments
Post a Comment