Skip to main content

SI KUNING DAN PANTAI SOMANDENG GUNUNG KIDUL: SEBUAH PERJALANAN NEKAT DAN PENUH KEAJAIBAN


Libur telah tiba
libur telah tiba
hatiku gembira
(Tasya)

Akhirnya UAS sudah selesai, meskipun sepertinya kuliah (kok) masih lama. Tapi yang penting sekarang adalah musim liburan.

Ya, memang membicarakan liburan, kita tidak bisa melepaskan diri dari peran revolusi bumi. Dimana revolusi itulah yang membuat musim di bumi terbagi menjadi dua. Yaitu musim liburan dan musim tidak liburan. Dan saya sebagai makhluk tuhan paling keren (Duh!), tentu saja lebih memilih musim liburan sebagai pasangan hidup saya. Halah!

"Januari abu-abu. Langit mendung menggantung murung. Jalanan jogja basah; Pasrah"

Hari itu (17/1) Hujan mengguyur awet kota Jogja. Rencana keberangkatan ke Gunung Kidul bersama Si Kuning setelah dzuhur terpaksa harus ditunda. Sehingga kita (Saya dan daus) memilih santai dahulu, menikmati film "flashdisan" sembari minum kopi di kos Wisnu (sebagai pengembara "no maden" tentunya).

Hujan reda kira-kira jam 5 Sore. Karena kita sudah sedikit bersiap-siap, kita langsung memutuskan berangkat. Jas hujan kresek bekas perjalanan di Banjarnegara kemarin tak luput kami bawa, meskipun sedikit berlubang dan robek-robek. Rapopo, Pancen awet kok! Yok, budal

Rute Gunung Kidul tak bisa dipisahkan oleh pesona bukit Bintang. tapi sayang, Spot lampu kota dari Bukit bintang gagal kita nikmati. mungkin karena mendung gelap dan sedikit gerimis. Padahal, biasanya pemandangan senja selalu menarik dari tempat ini.

Setelah melewati tanjakan bukit Bintang, sekitar hampir satu jam perjalanan, hujan kini deras-derasnya membasahi jalan raya. Perjalanan kali ini lebih di dominasi oleh tanjakan daripada turunan. Sehingga Si Kuning terpaksa harus berjalan pelan sekali ketika naik. Dan cepat waspada ketika turun. Hal ini pun masih diperparah dengan posisi Lampu Si Kuning yang lebih mengarah keatas, jadi bukan jalannya yang kelihatan, tetapi justru lebih kepada hujan dan pucuk pohon --yang saya tidak bisa membayangkan kalau tiba-tiba ada perempuan cantik melambaikan tangan dari atas sana. Hii!

Kita akui, perjalanan kali ini memang termasuk nekad. Selain Cuaca kurang bersahabat, keberangkatan kita pun sudah terlalu sore. Sehingga keinginan kita untuk menyusul acara bakti sosial sudah pasti terlambat. Belum lagi kita sama sekali tidak tahu rute jalan menuju lokasi pantainya.

Tapi kita sendiri sangat meyakini bahwa Peta terbaik dalam perjalanan adalah bertanya. Dan itu yang kita lakukan. Sebagai orang yang dikaruniai anugrah --seringnya-- lupa pada jalan. Peran manusia di pinggir-pinggir jalan sangat berguna. Pasalnya, hal itu justru yang membuat kita nanti bisa selamat sampai ke Lokasi.

"Pak, arah pantai Indrayanti Pundi?"
"Iku Mas, lurus, onok belokan kanan jalan, sampean menggok"
"Oh Nggeh, Suwun, Pak"

Jalan yang di instruksikan oleh Bapak-bapak tukang ojek itu kita ikuti. Jalannya luar biasa sepi. Pohon-pohon berbaris rapi dan rapat di sisi ruas jalan. Malam yang hitam tidak dibarengi keberadaan lampu-lampu mercury di sepanjang jalan. Rasanya sungguh Menyeramkan!

Setelah cukup lama jalanan sepi kita lewati, tepat pukul 7 malam kita menemukan toko di pinggir jalan. Kita berhenti untuk beli jajan ala kadarnya dan memastikan jalan yang kita lewati tidak keliru.

"Iyo Mas, pokoke manut jalan utama, kira-kira 21 km lagi nyampek, iki samean liwat njero soale"

Disini kita baru tahu kalau ternyata kita tidak melewati rute jalan kota. Pantas saja jalannya sepi.

Sementara hujan masih berderai deras. Jalanan lengang membuat kita menyalakan musik dari Hape X-2 Daus. November Rain-nya Guns N Roses. Oke, cekidot!

Baru 20 menit-an perjalanan yang sudah mengarah ke daerah pantai, Ditengah jalan kita dikejutkan dengan sosok ular hitam putih yang berukuran lumayan besar menyebrang jalan. Saya dan daus sempat berteriak kaget, meskipun demikian. Kita tetap memacu motor melewati jalan tersebut sambil --kini-- lebih banyak berdiam dan hati-hati, karena sebelumnya kami sempat tertawa cekikikan dan ramai sekali di motor.

Kejadian ular barusan sedikit membuat kita menyibukkan diri dengan pikiran masing-masing. Sampai setelah melewati tanjakan yang lumayan tinggi tiba-tiba bensin Si Kuning habis. O mai gat!

Ditengah hutan dan sepi sekali sodara-sodara

Tapi untung saja jalan turun yang dilewati Si Kuning mengarah ke sebuah rumah yang kita berharap ada toko dan bensinnya. Dan ternyata,

"Bensine berapa liter, Mas?"
"Setunggal mawon, Pak"

Puji Neptunus, Ajaib. Alhamdulillah. kita masih selamat di perjalanan ini. Waktu menunjukkan pukul 8 malam. Kita tidak bisa membayangkan kalau sampai kehabisan bensin di tengah hutan. Selain jalanan yang teramat sangat sepi, hape sama sekali tidak menunjukkan adanya sinyal.

Dan bermodal Sms terakhir dari Reres untuk bertanya BOSKID pantai somandeng sebelahnya Indrayanti. Kita kembali melanjutkan perjalanan.

Baru sebentar memacu motor, kita ternyata sudah sampai di Pantai Baron. Lokasinya sepi. Hanya nampak beberapa orang saja --mungkin nelayan-- sedang asyik ngopi.

"Indrayanti isek mrono,Mas. Tanjakan kui samean terus, Lurus"

Disini memang termasuk lokasi pantai. Jadi sepanjang jalan perlintasan ini selalu mengarah ke pantai-pantai yang lain.

Dan malam semakin malam

Meskipun begitu, perjalanan malam dilain sisi memang menguntungkan. Mengapa? Sebab kita sama sekali tidak dikenai tarif retribusi masuk pantai. Gratis tis!

Sampai waktu menunjukkan Pukul 20:20 WIB

"Oh ini to yang namanya Pantai Somandeng"

Kita akhirnya tiba di lokasi. Kita sempat bingung. Nampak motornya anak-anak di pinggir pantai, tapi tidak satupun dari mereka kelihatan batang hidungnya.

"Haee... Kalian"

Dan suara dari sudut toilet itulah yang menyelamatkan kami. Ya, suara dari Galuh. Nampak dibelakangnya ada Reres dan Yatil. Mereka menunjukkan wajah bahagianya seperti baru saja menemukan uang Satu miliard ditengah jalan.

Kita mengikuti mereka menaiki anak tangga menuju bukit karang dengan beberapa gazebo dan semacam kafe diatasnya. Ternyata anak-anak sedang berkumpul di salah satu Gazebonya. Dan Galuh bilang, kita semua malam ini tidurnya di Gazebo dengan dingin dan pemandangannya langsung dari Lautan,

"Demi neptunus, ini tempat keren banget."

Nampak anak-anak IKS (Ilmu Kesejahteraan Sosial) sedang evaluasi kegiatan Bakti sosial yang baru saja dilakukan. Perlu sodara-sodari ketahui, bahwa teman-teman ini baru saja meng-Asasemen anak-anak yang jadi programnya BOSKID (Bocah Sisih Kidul).

BOSKID sendiri adalah Komunitas Pemuda yang peduli dengan pendidikan anak-anak pesisir pantai. Jadi mereka punya kegiatan semacam bimbingan belajar tiga kali dalam seminggu. Juga ada aktifitas kesenian dan kebudayaan sebagai konsentrasinya. Salut lah pokoknya.

Malam itu kita mengikuti (mendengarkan) evaluasi teman-teman. Dan tanpa ada petir menyambar, tiba-tiba seperangkat nasi goreng telur tiba-tiba datang. This is a surprise from god!

Setelah Evaluasi, kita bersantai-santai ria. Nampak beberapa anak langsung menuju pantai. Menikmati suara ombak di malam hari.

Saya masih bertahan di Gazebo. Dimana saya sempat berdiskusi sebentar dengan Dika dan Hartoyo mengenai dunia pendidikan. Bagaimana idealnya pendidikan anak pesisir semestinya bisa belajar dengan sesuatu yang kongkrit ada disekitarnya, semisal bagaimana ombak, laut, dan pasir bisa mencerminkan nilai ekonomi, sosial, humanis, bahkan religius.

Diskusi semakin menarik karena Ocid dan Ekmil ikut bergabung. Saya teringat beberapa kopi sachet yang saya bawa di Tas. Dan Tika adalah pahlawannya malam itu. Dia menawarkan diri untuk membuatkan kopinya. Tapi dia minta dibacakan puisi (whot?), lalu saya ngoceh sekenanya puisi chairil,

"Kangen ini, laut tak bertepi..."

Malam itu, Gazebo lumayan ramai dan hangat. Di sebelah kiri nampak Reres, Simbok, Galuh, Dkk bermain poker. Dasar dewi-dewi judi!

Sementara di sebelah kanan nampak Yatil dan Daus bergalau ria sambil melihat pantai. Entahlah, mungkin hampir semua orang punya kenangan akan pantai. Semisal pertemuan yang terlambat atau kepergian yang terlalu cepat.

Dan saya sendiri, bersama Hartoyo, Ekmil, dan Ocid berdiskusi ria sambil menikmati kopi, tentang siapa Tere Liye dan mengapa dia harus penting, tentang Pram, Laksmi pamuntjak, dee, Laila chudori, sampai agus noor, lalu apakah setiap pembaca novel sejarah harus serius, bagaimana sastra harus menjadi pegangan hidup, juga tentang puisi itu yang umumnya atau yang semestinya, dan kita berencana sepakat untuk saling menulis, membaca, bertukar buku, dan terus berkarya. Semoga tidak menjadi rencana saja!

Malam semakin larut,

Saya melangkahkan kaki menuju bibir pantai, nampak lautan yang seakan tak berujung, mendung pun menggelap, tak ada bintang. Saya teringat Pantai Jungwok. Kangen!

Jam 2 dini hari. Perut kelaparan. Tapi alam memang adil, sebelum saya menaiki anak tangga, tiba-tiba saya menemukan Lima buah mangga kweni tergeletak begitu saja di samping tangga. Baunya harum. Saya ambil dua. Ajaib. Thanks God!

Saya naik kembali ke Gazebo. Makan mangga bersama anak-anak yang masih melek

Dan angin laut lirih sampai tidak terdengar sama sekali, saya pun tertidur

Saya sempat terbangun sebentar sekitar jam 4 pagi, nampak penampakan Yunda melek sendirian sambil berjalan kebawah. Saya sempat kaget. Kita ngobrol sebentar, Mungkin dia sedang tidak bisa tidur.

Dan saya ngantuk berat. Saya pun kembali tertidur.

Esok paginya, saya yang terakhir bangun. Sekitar jam 8 mungkin. Langit masih saja mendung. Anak-anak sudah sibuk kesana kemari. Beberapa malah sudah selesai main di pantai. Saya minta dibuatkan kopi di kafe sebelah Gazebo.

Setelah ngopi singkat bersama Daus, Hartoyo, dan Chairiza. saya dan daus langsung menuju ke Pantai.

Dika mengajak kami Bergelimpungan ditengah ombak sambil bermain bola. Oke, siapa takut!

Pantai daerah gunung kidul memang eksotis, pasirnya putih, lautnya biru dan bening, ombaknya pun tidak terlalu besar. Selalu saja ada kebahagiaan setiap melepas beban dan mensyukuri kehidupan di debur Lautmu, Tuhan.

Beberapa puluh menit kemudian, saya sudah capek sekali. Mungkin ini efek jarang berolah raga. Setelah berbilas sebentar, saya langsung kembali ke Gazebo.

Kali ini nge-pop mie

Dan Waktu menunjukkan hampir pukul 10 Pagi. Artinya kita harus segera kembali ke tengah kota Jogja.

Perjalan pulang kali ini sedikit nyaman buat Si Kuning, pasalnya jalan turun lebih mendominasi. Si Kuning pun memimpin barisan. Kejadian ajaib pun terulang, Si Kuning kehabisan Bensin lagi tepat di sebelah penjual bensin. Meskipun di tempat yang berbeda.

Di tengah jalan, kita pun menyempatkan diri membeli belalang goreng, harganya 8000 rupiah. Soalnya saya selalu penasaran tiap melewati jalan wonosari untuk mencoba bagaimana rasanya. Ternyata memang enak, rasanya mirip udang gurih dan renyah

Perjalanan pulang kali ini diwarnai cuaca cerah, santai, dan tetap semangat bersama Si Kuning.

Akhirnya kita pun sampai di Pangdem UIN jam 11.55 Siang, badan lumayan capek. Saya melihat Si Kuning lumayan kelelahan, tapi dia masih tetap semangat.

saya dengar dia berbicara. lirih sekali,

"Ayok habis ini kita kemana lagi, Tuan?"

Diketik dengan Hape, Kosnya Wisnu setelah lega ka er es an pada hari ke-20 di bulan Januari 2015

Comments

Popular posts from this blog

'Menikah itu Biasa Saja'

/1/. Saya sepertinya akan selalu memikirkan pembuka novel Anna Karenina karangan Leo Tolstoy sampai kapan pun. "Keluarga bahagia, bahagia dengan cara yang sama. Keluarga tidak bahagia, tidak bahagia dengan caranya masing-masing," tulisnya. Dan saya menikah. Mengucap janji di hadapan penghulu, orang tua, saksi, hadirin yang datang, dan tentu saja pacar saya yang menjadi istri saya: Yeni Mutiara. Mungkin aneh. Tapi saya berharap ini biasa saja. Seperti menggubah lagu Efek Rumah Kaca yang dimuat dalam album debut eponimnnya. Ketika rindu, menggebu gebu, kita menunggu Jatuh cinta itu biasa saja. /2/. Saya masih mengingatnya. Tertanggal 4 Maret. Pagi tiba ketika kapal laut mengangkat sauh di selat sunda. Itu kali pertama Abah, Ibuk, Adek, dan Budhe mengalaminya. Kami duduk di ruang terbuka. Mengamati gugusan pulau kecil dengan pepohonan kelapa yang berjejer, seperti lanskap di buku gambar anak-anak. Sesekali kami minum kopi, memakan cemilan, dan meresapi udara se

Kau, Cahaya

Di hadapan pintu kebahagiaan. Kesedihan menyeruak, membawa pedih, menggigilkan tubuh waktu sebelum keberangkatan. Segala yang bernyawa, berujung tiada. Pada keheningan itu, sebelum maut. Nama umat yang kau sebut Seorang penyair melagukannya. Sebatang pohon kurma menangis, tatkala kau pergi. Air matanya luruh melebur embun shubuh. Kesejukan pagi itu, angin yang berhembus di sekitarnya, dan tangis yang belum berhenti, seperti pertanda perasaan kehilangan, yang akan selamanya. Tapi mengapa nama umat yang kau sebut, bukan sorga, juga bukan Tuhan yang menciptakan semuanya, saat kematian itu tiba?  Kau manusia. Mengembala. Berniaga. Bersedih dan bercanda. Dan di hatimu, terbuat dari apa relung sanubari itu, begitu hidup, begitu luasnya. Begitu jernih, menarik semuanya.  Kau yang penuh cinta.  Cahayamu terbit dari kegelapan suatu masa. Pendarnya membuat orang-orang menghampirimu. Bahkan di hari lahirmu, orang yang kelak sangat membencimu, pernah begitu bahagia. Ia haru, ia merdeka

Selamat Ulang Tahun, Istriku

Beberapa puisi ini untukmu.   /1/. Pohon-pohon meranggas di sekujur tubuhnya,  usia dan waktu  berkejaran.  pernah kita memandanginya  di sana-sini  menghitung hari-hari  yang ditinggalkan hujan.  kita terus saja berbicara  menginginkan suatu hari  hanya angin, dingin,  dan luasnya cakrawala.    kau sandarkan kepalamu  di pundakku  tangan kita berpegangan.  Rasanya seperti  menggenggam erat seluruh isi dunia ini.    /2/. Cat yang belum kering  wangi ini akan selalu kuingat  dengan cara terbaik  yang kumiliki.    saat itu, dinding kusam  tubuhnya mengelupas  oleh lupa  dan terabaikan.    kita mengingat suasana  yang kita inginkan  sebelum bulan berganti  dengan penyesalan.    kuas menyapu sekeliling  menghapus kesedihan,  dan dendam  di balik pintu.    perlahan, udara baru  masuk dari ruang tamu  untuk tinggal  dan menetap.    dunia ini bukan ruang tunggu kita memang sengaja diundang  untuk berbahagia.   /3/. Kacamata di atas meja    seringkali aku menemukannya