"Wah, Asik tenan dolanan iki, Mas. Sesuk aku dolanan iki ae nang kelas. Ora njajan yowes"
(Hendra)
Sore itu (27/2) seperti biasa, anak-anak sekolah pinggir sungai datang untuk belajar di rumah Bu Dewi. Belasan anak-anak yang menamakan dirinya sekolah rakyat ANSEN (Anak Sendowo) itu memadati rumah yang lokasinya pas berada di pinggir kali Codhe.
Adalah Hendra. Ketua kelas yang masih menjabat sampai periode ini terlihat lumayan puas setelah menyelesaikan soal yang diberikan oleh Mbak Afri kepadanya. Beberapa teman disampingnya juga nampak segera selesai menyelesaikan pekerjaan angka-angkanya. Mereka adalah Fiyan, Nanda, Nico, dan Rasya. Kelompok laki-laki belia yang biasa berkerumun itu memang sudah seperti geng. selain aktif datang mengikuti kegiatan belajar bersama sore hari, mereka juga terkenal dengan kenakalannya yang sering membuat para pengajar gedek-gedek kepala. Padahal usia mereka loh masih seumur jagung. Iya, Rata-rata masih pada kelas 3 SD.
Dan para pengajar pada Senja jumat itu sangat sedikit. Hanya empat orang. Saya, Ucil, Afri, dan Diana. Padahal ada dua tempat yang mestinya menjadi aktifitas belajar bersama hari itu. Yaitu desa Sendowo sore hari dan desa Blunyah pada malam hari. Tapi toh kita harus tetap berusaha membuat semuanya ceria. Soalnya teman-teman yang jadualnya ngajar sore itu juga ketepatan sedang berhalangan.
Lalu dari sinilah semuanya dimulai...
Disaat anak-anak yang perempuan belajar khusyuk bersama Afri dan Diana, Saya yang melihat anak-anak laki-laki capek memandangi angka-angka (sama seperti saya) ini kok sepertinya butuh hiburan. Lalu saya mengingat masa kecil saya seratus. Eh, beberapa tahun yang lalu. Dan saya membayangkan masa ketika saya masih imut-imut di sekolah dasar dan masih makan disuapi ibuk. Apa ya kira-kira dolanan minimalis (Minimalis disini saya artikan tidak memakan banyak tempat, karena lingkungan pinggir kali Codhe yang didominasi kaum miskin kota ini sangat padat rumah-rumahnya) yang saya lakukan ketika bosan belajar. Sepintas kemudian saya teringat. Oh ya, Pinaltian bola kertas.
Rasya lumayan kaget ketika melihat saya mengambil kertas buku gambarnya yang baru saja robek. Dia begitu fokus melihat saya melipat-lipat kertas sampai berbentuk gawang sepak bola. Kemudian Saya sedikit melirik Rasya lalu saya lanjutkan dengan lumayan berteriak kepada yang lain,
"Ayo dolanan"
dan jamaah anak-anak kecil itu langsung melingkar di depan saya. Seperti hendak melakukan ritual tahlilan.
"Main apa, Mas?" Tanya Nico
"Lihat ini ya"
Saya mempraktekan lipatan kertas segi empat yang mirip penendang itu saya tekan dengan telapak tangan dan membuat bola kertas didepannya meluncur cepat menuju gawang yang juga berasal dari kertas. Dan Goool!
Mereka akhirnya paham maksud dolanan saya. Lalu --seperti didorong kekuatan gaib-- mendadak kita jadi orang kreatif. Gunting sana-gunting sini, solasi sana-solasi sini, coret sana-coret sini. Akhirnya jadilah Lapangan mini dari sampul buku gambar plus kiper yang kita tempelkan dengan pensil, dan tentu saja penendangnya yang terbuat dari kertas bergambar.
Senja belum gelap. Mereka dan saya sudah seperti pemain bola beneran. Lalu anak-anak menunjuk saya yang pertama jadi wasit. Oke. Dan saya memberi instruksi ke mereka (saya ingat ketika saya memberi instruksi ke mereka seperti melihat ekspresi anak-anak yang sudah siap pasrah akan dicuci otak. Tapi kan saya ndak gitu!),
"Ingat, dolanan ini sangat membutuhkan ketenangan dan konsentrasi. Usahakan juga Berdoa. Salah sedikit saja bola gumpalan kertas kecil ini bisa tidak mengarah pada gawang. Paham?"
"Paham, Mas" Mereka menjawab kompak
"Dan satu lagi, tunggu aba-aba hitungannya juga. Siap?"
"Siap, Mas."
Akhirnya pertandingan kami mulai. Leg pertama, Nanda vs Hendra. Leg kedua, Fiyan vs Rasya. Nico jadi pemain cadangan. Mekanisme dolanannya mereka bergantian. Pertama, jadi penendang dulu. Setelah itu, langsung menjadi kiper
Satu, Dua, Tiga...
"Gool"
"Haduh"
"Hampir"
"Yes"
"Yah"
"Jebol"
"Horee"
Pertandingan berjalan cukup alot. Mereka nampak tegang dan begitu fokus menjiwai dolanan ini. Saya dan Ucil pun ikut-ikutan begitu. Meskipun kemudian hasil tendang tangkap leg pertama dolanan ini dimenangkan oleh Nanda. 3-2. Selamat, Bung!
Leg kedua berjalan lumayan santai. Selain Rasya yang sudah sedikit punya pengalaman. Dia juga bermain begitu tenang. Hasilnya pun sudah bisa ditebak. Rasya menang. 4-3.
Sebelum ke Final, perebutan juara tiga kami gelar terlebih dahulu. Ya, Hendra vs Fiyan. Nampak sekali Hendra kali ini memang sedang dalam kondisi on fire. Beberapa kali tendangannya menghasilkan goal cantik ke gawang Fiyan. Hasilnya pun lumayan. 6-3 untuk kemenangan Hendra.
Selanjutnya adalah Pertandingan Final. Rasya vs Nanda. Tapi Nanda kali ini ternyata digantikan oleh Nico, karena nanda mendadak mendapat panggilan pulang dari orang tuanya. Oke! Hati-hati, Bung!
Satu, Dua, Tiga...
"Bismillahirrohmaanirrokhiim. Tendangan super Boboy boy"
"Allahu Akbar. Pasti tidak masuk"
"Gool"
"Alhamdulillah tidak gol"
Dan pertandingan Final yang cukup religius dan alot itu akhirnya dimenangkan oleh Rasya dengan skor tipis, 3-2. Sepintas Saya tiba-tiba sedikit terlintas masa kecil saya. Dolanan dan kekuatan doa-doa. Ya, ya. Okedeh, Selamat ya sang juara!
Piala imajinasi pun kami bagikan. Saya perjelas lagi ya, Imajinasi. Rasya dengan senyum sedikit ompongnya itu memegang Piala emas juara ditengah sorai penonton di tengah Stadion yang hingar bingar. Hendra nampak begitu tenang memegang piala sepatu emasya. Saya berdiri gagah sebagai pelatih yang mampu membawa mereka menjadi juara. Suara kamera pun bersahutan ramai sekali. Cekrik! Cekrik! Cekrik!
Allahuakbar... Allahuakbar...
Adzan Maghrib sudah berkumandang. Kita akhirnya kembali lagi ke dunia nyata. Nampak Senja menggelap di ufuk barat. Hendra memimpin doa. Selesai!
Sambil berjalan kaki ke Blunyah, saya masih teringat jawaban Nico di soal IPA yang baru saja dia kerjakan.
"Atmosfir bumi ditutupi oleh?" Tanya Afri
"Selimut"
Diketik dengan Hape. Hari terakhir Februari, kos Daus. 2015
Comments
Post a Comment