Skip to main content

TENTANG TULISAN-TULISAN YANG GAGAL TERTULIS


Pertama sekali, seharusnya tulisan dengan judul yang sama seperti diatas ini mestinya sudah jadi kemarin malam. Iya, dengan isi tulisan yang lumayan panjangnya diatas rata-rata. Tapi kok ternyata, Terhapus. Iya e, memang terhapus. Sekali lagi ya, ter-ha-pus. Dan seperti kebiasaan saya yang ngetiknya di hape E75 peninggalan zaman megalitikum. Ya gitu, tidak bisa diundo. Hilang, Iya hi-lang. Tidak bisa kembali utuh lagi. Lebih konyolnya hal seperti itu tidak hanya terjadi satu dua kali. Apakah saya kecewa? Sangat. Terus apa yang akan saya lakukan? Awalnya saya akan menyalahkan dan menggoblok-goblokkan diri saya sendiri. Lalu setelah itu, saya mencoba menulis lagi. Entah nanti bagaimana jadinya

Saya percaya, "Penyesalan, bagaimanapun modelnya, tidak akan membuat tulisan yang terhapus tiba-tiba muncul kembali. Tidak akan membuat yang pergi tiba-tiba datang kembali."

Dan betapa sulitnya hidup dengan komitmen yang berat. Itulah kalimat saya yang pertama terlontar ketika membaca proses kreatif Puthut EA --seperti yang dituliskan Arman Dhani dalam pengantar kumpulan cerpen Puthut yang berjudul Drama itu berkisah terlalu jauh-- dimana Puthut selama tujuh bulan penuh melakukan komitmen untuk selalu menulis satu cerpen setiap harinya. Jika saja dalam sehari atau beberapa hari dia tidak sanggup menulis. Karena alasan sakit parah misalnya, Maka dia harus mengganti tulisan itu dihari yang lain dengan beban ganda. Nah!

Lalu dari sinilah saya melihat usaha Puthut yang begitu "edan" dalam menempa diri dan mengalahkan rasa malasnya tersebut. Lha Lebih gilanya lagi, Puthut disela-sela menulis cerpen itu kok ya masih sempat-sempatnya menulis genre-genre yang lain. Bahkan diceritakan juga oleh Arman Dhani, bahwa diakhir tujuh bulan itu, Puthut menghapus semua cerpennya yang telah ditulis tanpa perasaan berdosa. Loh ya, opo gak edan

Dan ketika mengingat perjuangan Mas Puthut yang sedemikan rupa itu, saya sering marah-marah pada diri saya sendiri. Loh kenapa? Itu dia, ternyata saya ini tergolong sejenis makhluk yang diam-diam menggemari gejolaknya rasa malas dan menunda-nunda. Lalu yang terjadi, banyak sekali rencana tulisan yang gagal tertulis. Dalam bahasa yang lain, tulisan-tulisan itu pada akhirnya membusuk di kepala.

Mestinya kalau saja saya mau berfikir sedikit lebih jauh. karena ketololan saya ini, betapa waktu yang saya lewati --bersama jarum merah jam dinding yang terus berputar cepat itu-- ternyata hanya berisi keluhan dan penyesalan semata. Padahal sudah jelas sekali loh Bidadari surga yang diturunkan ke bumi, Kathrina Kaif dalam adegan film Zindagi bla bla bla dia beradegan melawan semua ego dan gengsinya untuk menemui Kritikh Roshan, dia mengatakan, "Aku benci penyesalan" tapi dasar sayanya manusia yang suka membela diri. Saya pun bilang, namanya juga manusia, pasti penuh salah dan dosa dong. Lebih tololnya lagi saya arabkan itu biar terlihat lebih kuat pembelaannya. Al Insaanu makhalul khoto' wa nisyan. Dasar pendosa kowe, Sen!

Lebih lanjut, saya jadi malu kepada mahaguru Karl Marx dan Engels. Karena kitab suci merah yang menerangkan materialisme dialektika itu sudah berkata jelas, bahwa perubahan pasti akan sangat terjadi jika diawali dari proses kuantitas kemudian menjadi kualitas. Ayat inilah yang kemudian saya tafsirkan bahwa tulisan yang bagus pasti berasal dari seringnya menulis, bukan dari sering-seringnya berdoa. Begitupun juga melukis, menari, dan sebagainya.

Lha masalahnya ini saya ngeyelan. Gara-gara malas dan menunda-nunda pekerjaan atau tulisan yang jelas-jelas saya lakukan, Saya itu bisa membenarkan diri kalau semua baik-baik saja. Fine-fine saja! Oh, memang keadaannya seperti ini

Dan Secara sadar atau tidak sadar, saya sering sekali mengucapkan kalimat-kalimat ini

"Duh, kok gak enek Feel ya"

"Wah, tenang. sesok mesti rampung"

"Santae ndisek lah"

"Aku gak enek waktu tenan nek dino iki"

"Engko bengi tak kebut"

"Maksimal jumat sesok wis rampung kabeh"

"Dan lain-lain"

Semuanya berlalu. Meninggalkan penyesalan mendalam. Lalu saya mengingat tulisan-tulisan saya terdahulu yang sudah rampung. Saya disitu menyadari kalau sebenarnya mau nulis ya tinggal nulis aja. Tidak usah ditambahi semangat berencana dan menunda-nunda.

karena bagi saya, menulis. Apapun lah ya jenisnya. Adalah usaha P3K (Pertolongan pertama pada Kenangan), kalau dalam versinya Agus Noor, menulis adalah cara menyelamatkan diri dari kegilaan. Tapi apapun itu, kita ini seringkali kurang percaya pada kepala yang suka menjadi pelupa dan berkhianat. Sebab menulis sangat mungkin adalah permainan menciptakan dunia kita sendiri. Tempat kita menaruh pintu dan jendela. Untuk menyiapkan orang-orang yang mampir atau hendak menginap disana.

Berikut inilah kurang lebih beberapa tulisan yang gagal (atau mungkin belum) tertulis gara-gara kemalasan dan seringnya menunda-nunda yang biasa saya lakukan

1. AdvenTouring Tegal-Pemalang

Kira-kira minggu terakhir bulan Desember 2014. Saya dan daus bersama Spacius (motor matiknya Reres) memanfaatkan libur terakhir UAS untuk menjelajah bumi ngapak Tegal dan Pemalang. Kurang lebih aktifitas yang kami lakukan dalam dolan-dolan itu dimulai dari kerja keroyokan happening art dan teatrikal bareng Bung Jeki di pantai Widuri untuk hari jadi Pemalang. Terus malamnya menikmati pesta lampion dan kembang api di konser jazznya Idang Rasyidi juga masih di tempat yang sama. Lalu besoknya kami sempatkan menjenguk Iqbal yang sakit sembari mencoba beberapa kuliner khas pemalang. Diantaranya adalah Grombyang dan sate Loso. Setelah itu, kami melanjutkan perjalanan ke Tegal untuk berhangat ria di Pemandian Guci. Setelah sebelumnya mampir terlebih dahulu di pantai Purwahamba. Tapi ya itu, tulisan detail mengenai perjalanan ini tidak dikemas secara utuh karena menunda-nunda.

2. Cinta Pemandangan pertama pada musik Jazz

Pada awalnya saya beranggapan kalau jazz adalah musik borjuis hiburan orang-orang menengah keatas. Tapi malam itu saya belajar. Bahwa berkesan buruk terlalu dini sangat tidak baik. Buktinya jazz yang dibawakan Idang Rasyidi pada malam puncak hari jadi pemalang itu mampu membuat penonton dari semua kalangan rakyat itu larut dalam nada dan irama dentum-dentam yang mengumandang dari atas panggung. Dan saya akui, saya langsung suka. Tapi tulisan khusus mengenai jatuh cinta pada jazz ini tak jadi tertulis lengkap karena berbagai alasan yang sebenarnya adalah malas.

3. Proyek menulis cerpen bertema perjalanan

Saya lupa kapan persisnya rencana ini. Kalau tidak salah menjelang akhir bulan Desember 2014. Berawal dari ajakan mas Siwi ketika sedang finishing novel terbarunya di Jogja. Saya dan teman-teman ditawari untuk mengumpulkan dan menulis cerpen bertema perjalanan. Hal ini dirasa penting karena melihat beberapa waktu luang dan hobi jalan-jalan kita yang alangkah baiknya kalau dikemas dan disusun lebih sastrawi. Selain itu, alasan memilih cerpen ini juga tidak kami batasi, tetapi lebih umum dengan bisa juga mengumpulkan juga lukisan atau puisi untuk melengkapi isinya. Mungkin kalau rumusan ini memang belum jadi rencana yang gagal, semoga.

4. Tulisan suka-suka mengenai dua novel pemenang KLA: Pulang dan Amba

Saya beli bertahap dua novel bertema setting 1965 dan komunisme itu. Pertama, Amba. Karya Laksmi Pamuntjak. Kedua, Pulang karya Leila S Chudori. Juara KLA (Khatulistiwa Literacy Award) memang dimenangkan oleh novel Pulang. Tapi dalam segi isi dan pengemasan saya lebih suka pada novel Amba. Lebih jauh, Dea anugrah memang sudah pernah mereview Pulang dalam Indoprogres. Itu juga yang sebenarnya mau saya lakukan. Pada dua novel itu sekaligus, meskipun tidak pada kapasitas Indoprogress. Tapi dasar sayanya yang suka menunda-nunda. Fak!

5. Tulisan suka-suka mengenai Pementasan teater Gandrik yang berjudul Tangis di TBY

kalau tidak salah ini tertanggal 12 Februari kemarin. Dimana Butet, Djaduk, dan kawan-kawan menggelar pementasan teater yang melegenda dengan kritik ala guyonannya tersebut di panggung Taman Budaya Yogyakarta. Naskah Tangis yang ditulis ulang oleh Agus noor tersebut mampu tersaji dengan apik. Saya yang waktu itu menonton benar-benar terkesima. Pasalnya pertunjukan aktor-aktor legenda tanah air itu rapi sekali. Bahkan saya sampai tak habis pikir kalau dalam pentas itu sampai ada adegan monolog aktor dalam pertunjukan teater. Tapi sekali lagi ya itu, Gagal tertulis dan terkemas. Gara-gara me-nun-da-nun-da.

6. Naskah Teater

Kalau yang ini memang masih belum. Hanya sering sekali ditunda-tunda. Ini mengenai naskah yang hendak saya siapkan untuk hari pendidikan nasional tanggal 2 Mei. Saya begitu bernafsu untuk membuat dua naskah sekaligus. Yaitu naskah realis untuk anak-anak kecil dan untuk kerja keroyokan komunitas NAMA beserta siapapun yang terlibat. Saya mau mengangkat tema pendidikan dan lingkungan secera sederhana, buat konsumsi masyarakat umum, terkhusus kaum miskin kota. Yang ini jangan sampai gagal ya pokoknya, plis. Aamin!

7. Tulisan suka-suka mengenai dua kumpulan cerpen Puthut EA

Dua judul cerpen Puthut yang saya maksud adalah Usaha Untuk Menulis Surat Cinta dan Drama Itu Berkisah Terlalu Jauh. Mengapa kumpulan cerpen ini penting? Entah dari mana mulanya. Kalau saya ke toko buku. Saya jarang sekali, bahkan tidak pernah membeli buku kumpulan Cerpen. Karena saya pikir cerpen penulis-penulis itu pasti banyak sekali di Internet. Masalahnya saya juga masih kurang tahu alasan saya kok tiba-tiba membungkus dua buku kumpulan cerpen tersebut. Tapi saya tidak kecewa. Jujur saya suka. Bagi saya, buku dua kumpulan cerpen Puthut tersebut mengingatkan saya pada Bakmi Goreng di pinggir indomart jalan Timoho, rasanya pas. Tidak kelebihan dan tidak kekurangan. Juga dikemas dengan penuh kejujuran dan tidak meledak-ledak. Tapi sayangnya tidak jadi saya kemas secara detail dalam tulisan. Sudah pasti karena malas, malas, dan malas

8. Perjalanan refreshing dan belajar bareng aktifis pendidik anak di pantai Somandeng

Ini kali kedua saya ke pantai Somandeng, Gunungkidul, Jogja. Sebelumnya saya sudah pernah kesana dan itu saya tulis dalam tajuk perjalanan bareng si Kuning. Eh yang kedua lha kok malah tidak tertulis. Padahal yang kedua ini merupakan acara yang lumayan segar dan terkonsep. Yaitu para pengajar anak yang tergabung dalam P3S (Paguyuban Pengajar Pinggir Sungai) melakukan Plesir pendidikan pertama. Disana kami (para pengajar) main pasir, main ombak, main karet, poto-poto, dan belajar lebih mengenai dunia pendidikan anak bersama komunitas Boskid. Tapi sayang, gagal tertulis dalam satu tulisan utuh. Sekali lagi tentu sudah sangat jelas karena menunda-nunda

9. Menulis dan mengumpulkan puisi dalam satu tajuk "Dari Rakyat"

Ini adalah keinginan saya untuk menulis dan mengumpulkan data puisi-puisi jelek saya yang bertema kerakyatan dalam satu tajuk. Tapi ndak tahu ya, kok sepertinya keinginan ini sangat bisa lebih kolektif lagi dengan melibatkan orang-orang dari semua golongan rakyat untuk ikut terlibat di dalamnya. Seperti, Buruh, Petani, Pedagang dan Mahasiswa. Terus terang, Saya kurang tahu ini nanti akan berhasil atau tidak. Soalnya sejak dari kemarin ini kok terus tertunda-tunda


10. Memorabilia Februari

Ini adalah semacam sajak panjang yang saya rencanakan. Tapi gagal. Bisa jadi menulis Februari memang lebih terasa di bulan-bulan yang lain. Entahlah. Disisi lain, pada bulan ini saya merasakan sepertinya banyak sekali kepedihan dan kesedihan terjadi. Terutama yang menimpa teman-teman terdekat saya. Salah satu teman bahkan menyebut bulan ini sebagai Februari Kelabu. Saya pun merasakan kalau saya sepertinya tidak menulis apapun mengenai bulan ini. Lalu Saya tiba-tiba teringat quotes Bapak Prie GS. Banyak hal terjadi, justru jauh lebih memancing doaku daripada komentar dan tulisanku. Bisa jadi itu alasan saya tidak menulis, bisa jadi juga itu pembelaan saya. Kurang lebih begitu dulu lah ya singkat cerita tentang Februari.


Terakhir, dari sepuluh tulisan yang gagal (atau belum) tertulis ini masih belum seberapa dibandingkan rencana-rencana lain saya yang sudah terlupa atau sudah tidak bisa diingat sama sekali. Jadi, selain ciri-ciri saya sebagai manusia yang sangat fluktuatif. Saya pun harus diperlawankan dengan gejolak ilusi nikmatnya rasa malas dan menunda-nunda. Padahal saya tidak boleh diam. Pertama sekali tentu untuk diri saya sendiri. Kedua, untuk lingkungan dan orang lain. Karena ketidakadilan itu sangat sering terjadi. Dalam diri saya. Juga dalam nafas-nafas kehidupan. Sebagai penutup, saya mengutip pernyataan Arman Dhani di Blognya yang masih sempat saya ingat. Bahwa Apatisme lahir karena dua hal, kita terlalu bodoh untuk berpikir atau kita yang terlalu egois untuk peduli


Diketik dengan Hape, Akhir Februari. 2015

Comments

Popular posts from this blog

'Menikah itu Biasa Saja'

/1/. Saya sepertinya akan selalu memikirkan pembuka novel Anna Karenina karangan Leo Tolstoy sampai kapan pun. "Keluarga bahagia, bahagia dengan cara yang sama. Keluarga tidak bahagia, tidak bahagia dengan caranya masing-masing," tulisnya. Dan saya menikah. Mengucap janji di hadapan penghulu, orang tua, saksi, hadirin yang datang, dan tentu saja pacar saya yang menjadi istri saya: Yeni Mutiara. Mungkin aneh. Tapi saya berharap ini biasa saja. Seperti menggubah lagu Efek Rumah Kaca yang dimuat dalam album debut eponimnnya. Ketika rindu, menggebu gebu, kita menunggu Jatuh cinta itu biasa saja. /2/. Saya masih mengingatnya. Tertanggal 4 Maret. Pagi tiba ketika kapal laut mengangkat sauh di selat sunda. Itu kali pertama Abah, Ibuk, Adek, dan Budhe mengalaminya. Kami duduk di ruang terbuka. Mengamati gugusan pulau kecil dengan pepohonan kelapa yang berjejer, seperti lanskap di buku gambar anak-anak. Sesekali kami minum kopi, memakan cemilan, dan meresapi udara se

Kau, Cahaya

Di hadapan pintu kebahagiaan. Kesedihan menyeruak, membawa pedih, menggigilkan tubuh waktu sebelum keberangkatan. Segala yang bernyawa, berujung tiada. Pada keheningan itu, sebelum maut. Nama umat yang kau sebut Seorang penyair melagukannya. Sebatang pohon kurma menangis, tatkala kau pergi. Air matanya luruh melebur embun shubuh. Kesejukan pagi itu, angin yang berhembus di sekitarnya, dan tangis yang belum berhenti, seperti pertanda perasaan kehilangan, yang akan selamanya. Tapi mengapa nama umat yang kau sebut, bukan sorga, juga bukan Tuhan yang menciptakan semuanya, saat kematian itu tiba?  Kau manusia. Mengembala. Berniaga. Bersedih dan bercanda. Dan di hatimu, terbuat dari apa relung sanubari itu, begitu hidup, begitu luasnya. Begitu jernih, menarik semuanya.  Kau yang penuh cinta.  Cahayamu terbit dari kegelapan suatu masa. Pendarnya membuat orang-orang menghampirimu. Bahkan di hari lahirmu, orang yang kelak sangat membencimu, pernah begitu bahagia. Ia haru, ia merdeka

Selamat Ulang Tahun, Istriku

Beberapa puisi ini untukmu.   /1/. Pohon-pohon meranggas di sekujur tubuhnya,  usia dan waktu  berkejaran.  pernah kita memandanginya  di sana-sini  menghitung hari-hari  yang ditinggalkan hujan.  kita terus saja berbicara  menginginkan suatu hari  hanya angin, dingin,  dan luasnya cakrawala.    kau sandarkan kepalamu  di pundakku  tangan kita berpegangan.  Rasanya seperti  menggenggam erat seluruh isi dunia ini.    /2/. Cat yang belum kering  wangi ini akan selalu kuingat  dengan cara terbaik  yang kumiliki.    saat itu, dinding kusam  tubuhnya mengelupas  oleh lupa  dan terabaikan.    kita mengingat suasana  yang kita inginkan  sebelum bulan berganti  dengan penyesalan.    kuas menyapu sekeliling  menghapus kesedihan,  dan dendam  di balik pintu.    perlahan, udara baru  masuk dari ruang tamu  untuk tinggal  dan menetap.    dunia ini bukan ruang tunggu kita memang sengaja diundang  untuk berbahagia.   /3/. Kacamata di atas meja    seringkali aku menemukannya