Skip to main content

HABEDE, CAH

Awalnya saya memaksa percaya --meskipun sulit. Bahwa pria berwajah mesum ini ternyata bisa ulang tahun juga.

Nama pria itu adalah Cahyo. Saya suka menyebutnya Cahyo kumolo-molo. Jejaka kelahiran (m)Bantul ini telah tiba pada usianya yang semakin tua.

Cahyo --menurut hemat saya-- adalah pria yang cukup beruntung. Pasalnya selain dia penyayang binatang yang mempunyai keahlian bermain gitar dan edit-edit foto(bukan porno), dia juga dikaruniai pacar --semacam-- artis ibukota. Namanya Juta Jutata.

Saya mengenal Cahyo sebenarnya sejak zaman majapahit. Sayangnya saya dan Cahyo sudah sama-sama tidak mengingat zaman tersebut. Seingat kenangan ngawur saya. Di zaman semono itu, saya jadi raja dan dia jadi kursi --eh, pelayannya.

Cahyo yang bertambah umur --entah berkurang-- dari usia labil menjadi lebih labil ini cukup membahagiakan saya dan teman-teman hari ini (10/6). Saya dan beberapa teman mendapatkan nafkah lahir dari dia.

Diawali dari jam 10-an traktiran menyantap warung spesial sambal, Cahyo telah tuntas membuat saya kenyang dan mengantuk --maha-- berat. Sehingga tidur sembarangan mengisi hari-hari saya. Dimulai dari Panggung Demokrasi sampai ruang PLD. Malamnya, dia(entah saya) masih memaksa diri mengajak ngopi di dingklik selepas mendampingi anak-anak Codhe. Sungguh, Cahyo telah menjelma malaikat di hari ulang tahunnya.

Sebab Cahyo adalah kunci. Menurut penerawangan saya yang kelewat akrab dengan pria ini, saya melihat bahwa Cahyo adalah salah satu manusia langka yang harus kita lestarikan. Bagaimana tidak. Pria dengan wajah mesum, tua, sedikit keren, dan pengendara CB mania ini ternyata jauh sekali dari apa yang namanya Rokok, Kopi, Alkohol, dan Monopoli. Padahal kalau saya mau berkata jujur. Orang yang pertama kali mengenal Cahyo pasti beranggapan bahwa dia adalah semacam preman desa yang biasa menghabiskan rokok satu karung dan kopi satu liter dalam sehari. Padahal dia sungguh sopan dan islami.

"Umurmu kui piro to Cah, Asline?"

Cahyo --bisa dikatakan juga-- cukup membahagiakan teman-teman yang rindu pulang. Sebab di rumahnya --yang di (m)Bantul itu saya dan teman-teman bisa sedikit merasakan hawa kampung halaman: Hamparan sawah, Gerombol kambing dan sapi, sampai masakan ibuk bisa kita nikmati di rumahnya. Itupun masih mendapatkan bonus dari buah kelapa yang live dari pohonnya.

Cahyo adalah seseorang yang tahu dan berjuang untuk teman-temannya. Dia selalu mencoba bisa menjadi pelengkap dan penghibur teman-temannya. Saya melihat dia adalah orang yang cukup bertanggung jawab atas teman-temannya.

Sepintas mengingat pertemuan pertama yang lumayan serius dengan Cahyo membuat saya sedikit merinding. Saya melihat dia seperti orang yang ingin memerkosa saya. Padahal tidak seperti itu. Dia hanya menawarkan diri mengajak kerja sama pensi dan bakti sosial yang langsung saya tantang untuk membuat acara pentas amal yang lebih mengandalkan banyak orang dan seni-seninya. Dan dia cukup kelelahan dan sukses menjadi ketua panitia acara tersebut.

Saya yakin, di usianya yang semakin tua (dan semoga juga matang), dia akan lebih bisa berguna bagi keluarga, agama, bangsa, dan jurusannya. Juga menjadi semakin punya banyak cerita untuk diceritakan pada anak cucunya besok. Seperti cerita bahwa dia punya teman sekeren saya.

Terakhir, mengutip kaos tukang bengkel di samping rumahmu

"Mangan ora mangan sing penting nduwe CB"

Saya sadur menjadi,

"Mangan ora mangan sing penting doa lan pengharapan nang ulang tahunmu terwujud sekabehane."

Saya kemarin mengatakan untuk mengucapkan selamat ulang tahun yang terakhir.

Habede, Cah!

Diketik dengan Hape, Pangdem, 10 Juni 2015

Comments

Popular posts from this blog

Marathon Pertama, Akhirnya

Langit masih gelap. Ribuan orang berbondong-bondong mengenakan pakaian yang semarak dan outfit lari yang lengkap. Mereka semua, dan saya juga, ini rasa-rasanya termasuk sebagian besar orang-orang yang rela tidur sebentar, menempuh perjalanan jauh, berlatih cukup keras, berharap-harap cemas saat undian acak kelolosan, dan mengeluarkan biaya untuk menyakiti diri sendiri demi berlari puluhan kilometer.  Saya berjalan beriringan bersama yang lain menuju garis start. Ada suasana haru, merinding, cemas, bangga, bahagia, dan semangat yang bercampur di sana, seperti potongan perasaan yang melebur halus dan lembut dalam blender jiwa. Sembari melewati jalanan aspal di kompleks candi, rindang pepohonan, dan basah rerumputan setelah hujan, saya mencoba mengingat bagaimana ini semua dimulai.  Saat itu, akhir tahun 2022. Saya mencoba berlari menggunakan aplikasi pengukur waktu, jarak, dan kecepatan dari Nike. Sebelumnya, setelah saya mengalami gejala covid-19 dan mengisolasi diri dua minggu...
PETILASAN ANGLING DHARMA DAN NYAI AMBARWATI Oleh MH Maulana             Desa Bendo, kecamatan Kapas, Bojonegoro menyimpan sebuah tempat unik, mistik, damai, sekaligus kaya sejarah. Tepatnya di sisi waduk Bendo. disana terdapat sebuah tempat Pamoksaan dan petilasan prabu angling dharma da nyai ambarwati. Sebuah tempat menyerupai labirin dengan hiasan batu-batu dan atap dari ilalang kering membuat suasana petilasan terasa rindang dan tenang. Selain itu disisi petilasan ini terdapat waduk bendo yang merupakan tempat pemancingan gratis dengan pemancing yang tak pernah sepi tiap harinya.             Menurut keterangan juru kunci, pak ali. tempat petilasan ini dulunya adalah tempat dimana prabu angling dharma bertemu pertama kali dengan nyai ambarwati dan saling menumbuhkan benih-benih cinta. Selain itu terdapat pula pohon bambu lumayan tinggi yang dipakai sebagai rumah poh...

'Menikah itu Biasa Saja'

/1/. Saya sepertinya akan selalu memikirkan pembuka novel Anna Karenina karangan Leo Tolstoy sampai kapan pun. "Keluarga bahagia, bahagia dengan cara yang sama. Keluarga tidak bahagia, tidak bahagia dengan caranya masing-masing," tulisnya. Dan saya menikah. Mengucap janji di hadapan penghulu, orang tua, saksi, hadirin yang datang, dan tentu saja pacar saya yang menjadi istri saya: Yeni Mutiara. Mungkin aneh. Tapi saya berharap ini biasa saja. Seperti menggubah lagu Efek Rumah Kaca yang dimuat dalam album debut eponimnnya. Ketika rindu, menggebu gebu, kita menunggu Jatuh cinta itu biasa saja. /2/. Saya masih mengingatnya. Tertanggal 4 Maret. Pagi tiba ketika kapal laut mengangkat sauh di selat sunda. Itu kali pertama Abah, Ibuk, Adek, dan Budhe mengalaminya. Kami duduk di ruang terbuka. Mengamati gugusan pulau kecil dengan pepohonan kelapa yang berjejer, seperti lanskap di buku gambar anak-anak. Sesekali kami minum kopi, memakan cemilan, dan meresapi udara se...