Minggu awal Ramadhan
saya kali ini berjalan sangat dinamis. Saya pun teramat menikmatinya. Diawali
dari sahur, tarawih, tadarus, dan buka puasa hari pertama di Rumah Cahyo, buka
bersama hari kedua di rumah Bu Dewi, Sahur di rumah Abel, sampai buka puasa
hari ketiga di rumah Sungging Purworejo. Sangat bervariasi
1. Anak kecil di Wonosobo
Dan puasa hari keempat
dan lima, saya berada di Banjarnegara
Mungkin Ramadhan kali
ini temanya Perjalanan(perjalanan disini sangat mungkin berarti perjalanan
mencari takjil dan sahur gratisan). Dan Ramadhan kali ini pun membuat saya dan
beberapa teman melakukan perjalanan sungguhan. Ya, perjalanan ke Barat
tepatnya.
Jumat Senja(19/6), Saya
dan beberapa teman Aktivis Codhe yang masih di Jogja membuat acara buka bersama
kecil-kecilan di rumah Bu Dewi Sendowo. Momen inipun saya manfaatkan untuk
mengajak kawan-kawan dolan-dolan ria (saya suka menyebutnya AdvenTouring) ke
barat. Dengan tujuan: Purworejo, Wonosobo, dan Banjarnegara. Saya sengaja
memilih tiga tempat tersebut karena saya sendiri yang sudah kangen kawan-kawan
posko Banjarnegara dan ingin melihat perkembangan Sekolah Rakyat. Juga Ngobrol
dan ngopi santai bareng Mas Dian dan kawan Teater Banyu Wonosobo. Sekaligus
mampir rumahnya Sungging Purworejo.
Namun dari sekian yang saya ajak, hasilnya Nihil. Irwan bekerja, Daus
belum siap balik Jogja, Yatil tidak bisa, Cahyo dan Ali kedapatan Bertugas
menjual Takjil, Amba yang sudah saya rayu-rayu pun tetap memutuskan ke
Magelang, Apalagi kawan-kawan NAMA yang sudah lebih dahulu pulang kampung. Afri
yang sebenarnya bisa ikut malah kurang motor.
Dan demi Neptunus, yang
berangkat hanya saya dan Abel.
Sabtunya pun kami
menyiapkan diri untuk langsung berangkat. Bermodalkan dana dan tenaga yang
pas-pasan. Apalagi Ramadhan: Bulan penuh godaan iman dan godaan nikmatnya jajan
di jalan-jalan.
Akhirnya dimulailah
perjalanan kami, Tetereteteeeettt
Jam Hape menunjukkan
pukul 16.20 saat kami berangkat menggunakan Withi(Motor Vario-nya Abel). Jalan-jalan
Jogja pun terlewati. Bantul, Gamping, Wates, Kulon Progo. Dan sampailah juga di
Purworejo. Tidak lupa kami sempatkan beli oleh-oleh Bakpia di Wates, isi
bensin, dan foto-foto ria bersama senja dengan View Persawahan yang apik.
Purworejo berhasil kami
kebut dalam waktu satu jam-an.
Dan kami sampai rumah
Sungging selepas Maghrib. Langsung saja suguhan Teh Nasgitel (Panas, Legi,
Kentel) tersuguh mengisi dahaga kami. Alhamdullillah. Meskipun Jalanan Purworejo
boleh terbilang lengang dan sepi. Tidak mengurangi adem ayemnya keramahtamahan keluarga
Sungging atau boleh dibilang masyarakat Purworejo yang kami jumpai.
Lalu, Saya, Sungging, dan Abel pun berangkat
setelah mendapat izin dari orangtuanya sungging. Berikut inilah catatan garis
besar kami atas AdvenTouring Journey to the west.
1. Anak kecil di Wonosobo
Beberapa jam setelah
perjalanan kami dari Purworejo, kami sudah sampai di Wonosobo. Jalanan pun mulai
lengang dan sepi sekali. Sampai kami tiba di salah satu pom bensin untuk pipis
dan megusir kantuk. Sungging langsung bergegas ke Toilet, saya dan abel
menunggu di sekitar toilet. Suasananya Sepi sekali. Dan Pas sedang asyik
ngantuk-ngantuknya tiba-tiba muncul anak kecil gundul dengan pakaian lusuh
dihadapan kami. Kami pun kaget. Saya menahan nafas. Anak kecil itu sendirian
ditengah pom yang sekelilingnya hutan.
“Sayah Po?”
“Leren Dipek?”
Begitu kata anak kecil
itu. Saya lumayan merinding. Abel menjawabi dan mengajak ngobrol tapi tak
disahuti. Saya juga tak disahuti. Nampak anak kecil itu menggenggam uang seribu
lusuh. Lalu dengan sengaja saya berjalan meninggalkan Abel ke minimarket dalam
pom untuk membeli air mineral. Saya tidak tahu bagaimana nasib Abel. Tapi pas
saya kembali. Sungging dan Abel Nampak diam-diam saja. Anak kecil itu masih
disana. Untung saja kemudian petugas pom meneriaki anak kecil itu.
“Lee… Iseh mengko
trek-e, dienteni dipek ae.”
Dan kami bersyukur. Ternyata
anak kecil itu dari sebangsa kami: bangsa manusia. Hati-hati ya Dek. Semoga baik-baik
saja. Sampai jumpa lagi dengan Mas Abel dan Mas Sungging. Bukan dengan saya.
2. Sungging yang cepat sekali
Sungging mengendarai
motor tanpa boncengan (mungkin boncengannya masih membahagiakan laki-laki lain)
sedangkan Abel berboncengan dengan saya. Selepas Wonosobo dengan jalanannya
yang sepi dan cukup ngeri kami sampai di pinggiran kota Banjarnegara. Kami sudah
mengantuk berat. Lalu kami putuskan untuk mencari angkringan terdekat. Setelah menandaskan
kopi pahit –yang sayangnya adalah kopi Sachet- dan beberapa nasi kucing plus
gorengan. Kami langsung melanjutkan perjalanan menuju kecamatan Karangkobar. Setelah
dari Angkringan inilah Sungging tiba-tiba kencang sekali memacu motor. Sampai beberapa
kali kita ketinggalan jejaknya. Jalanan naik turun. Berkelok-kelok. Sungging hilang.
Oh tidak…tidak. Dia… oh masih ada ternyata.
“Alon Ngging”
“Wis Alon, Pak”
“Alonkan maneh yaa”
Sampai kami tiba di
alun-alun Banjarnegara. Saya yang lumayan (sering) lupa jalan bertanya pada
mas-mas di pinggir alun-alun.
“Mas, Banjarnegara lewat
Pundi Nggih?”
“Iki wis Banjarnegara,
Mas”
“Oh Yo deh. Lali.
Karangkobar maksute mas.”
“Oh… Samean lewat ndono…ndono…
dan ndono”
“Oh Nggih mas. Siap-siap.”
Dan Sungging masih saja
didepan. Cepat sekali. Terus begitu. Sampai kami tiba di Lokasi.
3. Sureprice dari kawan-kawan Posko Banjarnegara
Kami tiba di rumah Agus
yang sekaligus Posko kawan-kawan jam 1-an dini hari. Suasana (lagi-lagi) sepi. Rumah
tertutup. Dari semua yang dikontak tidak ada respon. Sampai saya memutuskan ke
warung barunya kawan-kawan depan rumahnya Agus. Nampak warung baru ini keren
sekali. Barisan gazebo lesehan. Air mancur. Ikan-ikan. Lampu-lampu. Sampai saya
melihat Toni tertidur di salah satu sudut warungnya.
“Husstt… Ton… Ton… Hoe…
Hoe”
Dan Alhamdulillah. Dia pun
bangun. Ternyata kami sudah ditunggu-tunggu sampai kawan-kawan ketiduran. Toni
pun kemudian membangunkan Deni di salah satu gazebo lesehannya. Kami pun
langsung ngopi. Ternyata warung ini adalah warung usaha kolektifnya kawan-kawan
Posko. Boleh dibilang semacam Ekonomi kreatif. Dan warung ini sementara libur
dulu untuk awal-awal bulan Ramadhan. Kami terus ngobrol. Saling menanyakan
kabar dan kesibukan masing-masing. Sambil ngopi. Sambil nyemil. Sambil menunggu
sahur. Ini tentu kejutan bagi saya. Selain program sekolah rakyat yang sudah
berjalan, mereka kini lebih maju dengan mempunyai usaha ekonomi kreatif.
Dan Masjid pun membunyikan
suaranya, “Sahur… sahur… “
Langsung saja Toni dan
Deni memanasi masakan untuk makan sahur kita bersama. Makan sudah. Minum sudah.
Lalu setelah menghisap rokok sebagai pemungkas sahur. Kita pun memilih tidur
didalam rumah. Cuaca dingin sekali. Disinilah kekhawatiran saya muncul. Minggu Pagi-pagi
jam 9 sekolah rakyat dimulai. Mungkinkah Saya, Abel, dan Sungging sudah bangun
tidur di jam tersebut?
4. Sekolah Rakyat yang…
Demi Neptunus. Saya terbangun
jam 10. sekolah rakyat. Haduh!. Segera saya BBM Mbak Wiwi sekolah Rakyat
bagaimana. Selesai jam berapa. Mbak wiwi menjawabi selesai jam 11. Dia masih di
rumah. Beberapa kawan yang terjadual sudah mendampingi anak-anak di salah satu
rumah warga. Segera saya membangunkan Abel dan Sungging sambil menunggu Mbak
Wiwi datang. Setelah Mbak Wiwi datang, Tanpa mandi karena malas dan dingin kita
berangkat menuju lokasi –berjalan kaki. Beberapa
menit setelah melewati jalanan naik yang cukup menguji puasa –dan membuat saya
beberapa kali minta break- kita tiba di lokasi. Nampak beberapa sepeda
anak-anak tergeletak di halaman rumah. Suara ramai anak-anak, dan biji kopi…
apa biji kopi dijemur di halaman rumah. (jiwa ke-kopi-an saya langsung bangkit,
saya harus tahu tentang kopi ini).
Kami (Saya, Abel,
Sungging dan Mbak Wiwi) masuk ke dalam kelas. Keramaian sejenak berhenti. Saya cukup
tidak asing dengan beberapa wajah anak-anaknya. Dulu ketika program Childern
center bencana longsor saya sudah sempat bertemu. Segera saya salami Pendamping
anak hari itu yang kebetulan saya sudah akrab: Joko, Yuli (kepala sekolah
rakyat), dan ini dia… dua pengajar baru perempuan yang Subhanallooh.
Kami pun ikut nimbrung
didalam. Kegiatan belajar mengajar dilanjutkan. Materi pagi itu adalah
anak-anak diajak untuk memberikan komentar untuk pengajar dan sekolah rakyat. Seperti
pada umumnya anak-anak. Mereka pasti ramai dan ekspresif. Duh… saya kangen
adik-adik Jogja. Beberapa anak-anaknya saya lihat hampir mempunyai kesamaan
karakter dengan adik-adik di Sekolah pinggir sungai Jogja. Ramai, Nakal pintar,
dan Ngangenin.
Akhirnya kegiatan
sekolah rakyat siang itu ditutup dengan ajakan buka bersama besok hari jumat di
Posko Rumah Agus dengan membawa bekal makanan berbuka dari rumah masing-masing.
Rupanya menjelang
adik-adik pulang ada kebiasaan menarik dari pengajarnya. Yaitu: anteng-antengan
atau siapa yang paling tenang bisa pulang terlebih dahulu dan siapa yang ramai
pulangnya terakhir. Mirip seperti kebiasaan di sekolah dasar dulu. Setelah semuanya
pulang. Kita kembali ke Posko. Dan saya tetap mengucapkan Subhanalloh untuk
pengajar perempuan hari itu. Ya, sangat mungkin ini berkah Ramadhan.
Sesampai di posko. Kami
mengantuk sangat. Lalu Saya, Abel, dan Sungging yang membaringkan badan di
kasur sudah saja merem. terbawa mimpi masing-masing. Yang saya khawatir, dengan
mimpi yang sama.
5. Buka Puasa dan Ibadah Karambol
Kami bangun tidur jam
4-an. Sambil bermalas-malasan kami kemudian beraktifitas dengan hp
masing-masing. Jalan-jalan disekitar rumah. Santai-santai. Sampai Suara
terindah saat Ramadhan berkumandang, Ya, Adzan Maghrib tepatnya. Segera Saya,
Abel, Sungging, Deni, Toni, Agus, dan Joko berbuka puasa bersama. Diawali dari
ngopi, nyemil pisang goreng hangat, dan menghisap kretek bersama yang
Allahuakbar nikmat sekali. Lalu Setelah santapan pembuka itu kemudian kita
melanjutkan makan kolak dan makan nasi bersama-sama. Allah maha keren!
Cuaca sangat dingin
malam itu. Adzan Isya’ berkumandang. Saya dan kawan-kawan memilih untuk tidak
berangkat tarawih dahulu. Dan momen itu kami manfaatkan untuk mengisi waktu
dengan ibadah karambol. Astaghfirulloh!
Saya, Abel, Sungging,
Agus, dan Toni bermain karambol dengan niat ibadah. Sementara Joko asyik dengan
laptopnya. Beberapa menit kemudian meja karambol mulai memanas dipenuhi pemain-pemain
yang punya hutang memasukkan poin yang sama-sama banyak. Meskipun demikian
kemenangan permainan ini berjalan cukup dinamis bergantian.
Sampai saya penasaran dengan
apa yang digeluti oleh Joko di Leptopnya. Apa? Puisi?
“Puisi meh gawe opo,
Ko?”
“Digawe buka bersama
sesuk. Gawe cah cilik-cilik woco. ngisi waktu sebelum berbuka.”
“Wah, cocok. Gawe tadarus
puisi wae.”
“Piye kui, Sen?”
“Yo nanti semuanya podo
moco puisi masing-masing. Bergiliran. Sampai berbuka. Jenenge acarane iso
Tadarus puisi “Sekolah Rakyat membaca Ramadhan”
“Wah Oke. Sip.”
Dan pemuda-pemuda lain
berdatangan setelah tarawih. Ikut bermain karambol dan ngobrol santai bersama. Ah.
Indahnya…
***
Sampai datang esok pagi.
Pak Saman (Bapaknya Agus) ternyata baru saja memanen kopi. Saya senang sekali. Tak
disengaja saya akan berhubungan cukub banyak dengan kopi disini. Juga besok-besoknya.
Rencana di pemandian air hangat, ke bendungan watu tulis, diskusi santai, dan
buka bersama hari jumat yang masih penuh tanda Tanya. Terutama sekali tanda Tanya
tentang siapakah dia sebenarnya.
Bersambung…
(di Bagian 2)
Banjarnegara, Minggu
ketiga Juni, 2015
Comments
Post a Comment