Skip to main content

MUNCULNYA FAJAR MERAH DI FESTIVAL KAMPUNGKU, URIPKU

"Jam setengah 8 belum juga datang, tinggal"

"Oke, sepakat"

Begitulah kesepakatan sepihak kami menunggu Vivi dan Amba yang tak kunjung datang. Sudah hampir jam setengah 8. Dan aura mistis mereka belum juga terasa.

Malam itu (12/9) Saya, Jon, Daus, Sandy, dan Asung bernafsu tinggi menghadiri festival kampungku uripku di RW.4 Ledok, Tukangan. Pasalnya, salah dua pengisi acaranya adalah Sisir tanah dan Dendang kampungan. Dua (seniman) Band indie yang sesuai dengan agama musik saya: Folk Progressif!

"Otw, jalan solo macet"

Begitulah sms vivi yang tiba-tiba muncul di hape saya. Dan kami semua memaklumi, jalanan Jogja memang terkutuk kala malam minggu.

Beberapa dari kami akhirnya memutuskan terlebih dahulu menyantap somay (yang lumayan) terhebat di kampus (yang lumayan) tercinta: UI NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA

Sampai akhirnya dua perempuan (sedikit) ghaib itu datang. Setelah sebelumnya Ali dan si Tengil (motor Cb-nya) juga ikut bergabung. Lalu, dengan posisi 2-2-2-2 kami berangkat. Disini, kami meninggalkan si kuning sejenak di kos Asung karena alasan tekhnis.

Sekitar lima belas menit perjalanan kami akhirnya tiba di kampung Tukangan, tapi tidak di lokasi acara. Lalu, bermodalkan tanya-tanya tidak bayar, kami ditunjukkan untuk mengikuti rute (yang bagaikan) labirin padatnya pemukiman kota.

Dan Sekitar 15 menit juga, Beberapa kali putar balik dan tanya akhirnya mengantarkan kami pada lokasi acara. Oke, ambekan sek!

Kami lalu memarkir motor di pinggir jalan yang lumayan sempit. Dan disini kami juga sempat bertemu Bung Wignyo yang sedang menjaga stand produk rakyat,

"Ya begitu dong seniman, harus datang acara beginian, ngomong-ngomong ini mau nonton atau tampil?" Tanya Bung Wignyo menggoda

"Kita mau tampil, tampil jadi penonton, Bung." Saya jawab sekenanya

Disini, Jalanan menuju panggung utama cukup menarik. Ada beberapa lampion hias, gambar mural di tembok-tembok, dan stand produk jajanan rakyat yang berada di kanan kiri jalan. Lalu panggung utama pun tak kalah menarik, beberapa lighting mengarah ke panggung yang sederhana. Nampak jelas, background panggung bergambar lukisan lelaki berkerubung sarung dan wajah perempuan yang dikelilingi ikan-ikan.

Kami tiba disana saat perform tarian dari anak-anak TK dan SD ditampilkan. Rasanya saya seperti melihat adik-adik Kali Codhe (Blunyah-Sendowo) yang sedang menari. Beberapa dari karakter mereka hampir sama. Anak-anak dengan lingkungan padat penduduk dan mayoritas kaum miskin kota. Lalu, yang jadi kritik saya disini justru pada MC-nya yang kurang seru dan heboh untuk acara seperti ini. Terlalu biasa!

Kemudian tampil juga beberapa goyang hip hop anak kecil dari yang menari sampai juga yang menyanyi. Cukup keren!

Disusul berikutnya, perform tari dari sanggar Loka Art. Empat tarian sekaligus yang ditampilkan. Pertama, tarian dua bocah dengan gerak dolanan ala adat kalimantan. Dan yang kedua, tarian kaliku panguripanku yang dibawakan secara solo oleh mbak-mbak dengan (aduhai) gemulai. Lalu disambung dengan tarian waktu yang juga dibawakan secara solo oleh mbak-mbak (lagi) dengan (aduhai) enerjik, sampai tarian terakhir dengan judul tarian sepi yang dibawakan secara solo oleh mbak-mbak dengan gerakan yang tak mudah ditebak, itupun sambil melempar-lempar bunga ke Penonton. Untungnya di akhir tarian, mbaknya menceritakan filosofi tariannya ke penonton yang mayoritas ibu-ibu, bapak-bapak, anak-anak, dan pemuda keren yang awam. Seperti saya ini.

Tak ketinggalan tuan rumah acara ini, SAKI (Sanggar anak kampung Indonesia) juga perform dengan band-nya: SAKI Band. Dua gitaris cowok smp, satu bassis cewek smp, satu cowok smp kajon (yang dibantu tongkat bantu jalan), dan vocal cewek yang wajahnya sekilas mirip Pevita pearce membawakan Empat lagu dengan cukup asyik. Apalagi vokal cewek dan gaya basisnya yang lumayan. Lagu-lagu yang dibawakan adalah: Jadilah Legenda dan Sunset tanah anarki-nya SID, Bendera-nya Coklat, dan lagu mereka sendiri: sahabat

Disela-sela penampilan SAKI BAND, Vivi menunjukkan sms kawan kami CLBK (Cinta Lama Belum Kelar) yang menandakan besok pagi akan ada makan besar. Hoho. Puji Karl Marx!

Lalu, kalau tidak salah setelah Dua lagu SAKI BAND: Vivi dan Amba memutuskan balik dulu. Oh, Demi Neptunus. Mereka belum menonton Dendang Kampungan dan Sisir Tanah. Tapi, Baiklah. Hati-hati Girls!

Dan Dendang Kampungan akhirnya tampil juga. Tiga Lagu dibawakan secara mantap dan cadas. Folk maha asik mengalun merdu di lagu pertama yang saya tidak tahu judulnya, disusul lagu Rembang Melawan yang didedikasikan untuk Ibu-ibu Rembang dengan nuansa perjuangan seorang ibu yang tak lekang oleh waktu, masih juga dengan alunan folk yang terasa semakin progressif, dan ditutup dengan lagu Mars Pekerja Seni yang nuansa spirit dan optimisme tingginya begitu terasa di clarinet, gitar, dan jimbenya. Vokal ceweknya perfect: Cantik, Enerjik, vokalnya kuat, dan --tentu saja-- Melawan. Taring Padi never Die, Kamerad!

Dan Berikutnya. Suasana hening. Sisir Tanah dipanggil. Aplaus penonton (yang rata-rata aktivis) membahana. Mas Danto (vokalis yang sekaligus Gitaris sisir tanah) naik keatas panggung. Masih dengan gayanya yang sendiri, rambut gondrong terikat dibelakang (laki-laki seluruh dunia yang gondrong, bersatulah!), dan tentu saja --dengan Gitar Bolongnya. Lalu dengan santainya Danto memegang mic,

"Sebelum saya nyanyi, saya mengundang kawan saya yang jauh-jauh dari solo kesini, Ke atas panggung. Fajar Merah. Ayo Jar. Ndene. Nyanyi sek!"

Dan Pemuda dibelakang saya yang memakai sejenis topi caping ternyata adalah Fajar Merah. Anak Wiji Thukul yang musikalisasi puisinya seringkali membuat pendengarnya merinding. Meskipun di belakang saya, wajahnya memang kurang jelas terlihat karena tidak mendapat sorot lampu. Saya cukup kaget, empat kawan saya pun begitu. Lalu Fajar pun maju ke panggung. Penonton semakin ramai bersorak. Mereka merasa mendapat tamu agung.

Fajar Merah adalah salah satu penyanyi yang vokalnya kuat. Petikan gitarnya pun kuat dan bersih. Pertama, dia membawakan lagu yang ditulis oleh Danto sisir tanah, judulnya Lagu anak.

"Ibu oh Ibu/Lama dan lengkap/seperti novel. berliku-liku/aku membacamu/sepanjang hidupku.../Bapak seperti puisi/rumit dan singkat/ bapak seperti puisi/ berlapis arti/aku membaca mereka/ sepanjang hidupku/...

Bajingan! Siapa yang tidak merinding mendengar lagu ini. Dinyanyikan oleh fajar merah yang langsung membawa penonton pada kenangan wiji thukul dan --tentu saja-- orang tuanya masing-masing. Apalagi petikan gitar dan vokal kuat Fajar yang nuansa folknya benar-benar mengharu tajam. Lalu disusul berikutnya, Lagu Bunga dan Tembok yang cukup akrab di telinga pendengar. Fajar Merah memang selalu berhasil membawa pendengar memasuki dunia lirik dan musiknya. Fajar merah selesai. Aplaus penonton memburai!

Setelah Fajar merah tampil, kini giliran Sisir Tanah.

Gaya cengengesan Danto benar-benar akrab dengan penonton. Penonton berceletuk danto untuk membawakan lagu yang berjudul Istri. Tapi Danto memilih untuk membawakan lagunya yang berjudul Lagu Hidup,

".../sedihmu adalah sedihku juga/sakitmu sakitku sakit kita manusia/bahagiaku takkan lengkap tanpa bahagiamu/bahagiakanlah kehidupan/..."

Liris, Puitis, dan kritis. Begitulah Sisir Tanah selalu berhasil membawakan lagunya dengan vokal kuat bersama gitar bolongnya yang mengalunkan petikan lembut. Disusul Lagu berikutnya, Sisir Tanah memilih membawakan Lagu Wajib --yang juga sebagai penutup penampilannya-- sontak saja penonton langsung bersorai. Petikan Gitar pertama membuat penonton sudah bersiap untuk ikut menyanyi bersama,

"Yang wajib dari hujan/ adalah basah/yang wajib dari basah/adalah tanah/.../yang wajib dari cinta/adalah mesra/yang wajib dari mesra/adalah rasa/yang wajib dari rasa/adalah luka/adalah luka/adalah luka..."

Lagu Wajib inilah yang menjadi semacam gambaran daur kehidupan yang disuarakan lewat lirik yang diulang dan ditegaskan oleh Sisir Tanah. Nadanya santai dan liriknya asik untuk dihapal. Disini saya sedikit menyayangkan Sisir Tanah yang hanya menyanyikan dua lagu saja.

Malam itu. Dendang Kampungan, Fajar Merah dan Sisir Tanah benar-benar berhasil membuat kami terhibur (dan mungkin juga tercerahkan). Festival Kampungku, Uripku oleh SAKI telah memberikan banyak pelajaran, mulai tata ruang, perform yang asik, sampai pelatihan anak berbasis seni, juga tak luput kekurangan-kekurangannya nanti akan banyak memberikan inspirasi untuk event-event Kali Codhe(Blunyah-Sendowo-Jogoyudan) besok tentunya

Sebelum pulang, saya kembali memandangi background panggung. entah mengapa kata-kata di samping lukisan lelaki bersarung semakin terasa bermakna,

Jika pohon terakhir ditebang
Jika Ikan terakhir ditangkap
kita baru sadar
bahwa uang
tidak bisa dimakan


diketik dengan Hape. (Calon) Omah Baca Rakyat, Kali Codhe. Jogja, 13 September 2015

Comments

Popular posts from this blog

'Menikah itu Biasa Saja'

/1/. Saya sepertinya akan selalu memikirkan pembuka novel Anna Karenina karangan Leo Tolstoy sampai kapan pun. "Keluarga bahagia, bahagia dengan cara yang sama. Keluarga tidak bahagia, tidak bahagia dengan caranya masing-masing," tulisnya. Dan saya menikah. Mengucap janji di hadapan penghulu, orang tua, saksi, hadirin yang datang, dan tentu saja pacar saya yang menjadi istri saya: Yeni Mutiara. Mungkin aneh. Tapi saya berharap ini biasa saja. Seperti menggubah lagu Efek Rumah Kaca yang dimuat dalam album debut eponimnnya. Ketika rindu, menggebu gebu, kita menunggu Jatuh cinta itu biasa saja. /2/. Saya masih mengingatnya. Tertanggal 4 Maret. Pagi tiba ketika kapal laut mengangkat sauh di selat sunda. Itu kali pertama Abah, Ibuk, Adek, dan Budhe mengalaminya. Kami duduk di ruang terbuka. Mengamati gugusan pulau kecil dengan pepohonan kelapa yang berjejer, seperti lanskap di buku gambar anak-anak. Sesekali kami minum kopi, memakan cemilan, dan meresapi udara se

Kau, Cahaya

Di hadapan pintu kebahagiaan. Kesedihan menyeruak, membawa pedih, menggigilkan tubuh waktu sebelum keberangkatan. Segala yang bernyawa, berujung tiada. Pada keheningan itu, sebelum maut. Nama umat yang kau sebut Seorang penyair melagukannya. Sebatang pohon kurma menangis, tatkala kau pergi. Air matanya luruh melebur embun shubuh. Kesejukan pagi itu, angin yang berhembus di sekitarnya, dan tangis yang belum berhenti, seperti pertanda perasaan kehilangan, yang akan selamanya. Tapi mengapa nama umat yang kau sebut, bukan sorga, juga bukan Tuhan yang menciptakan semuanya, saat kematian itu tiba?  Kau manusia. Mengembala. Berniaga. Bersedih dan bercanda. Dan di hatimu, terbuat dari apa relung sanubari itu, begitu hidup, begitu luasnya. Begitu jernih, menarik semuanya.  Kau yang penuh cinta.  Cahayamu terbit dari kegelapan suatu masa. Pendarnya membuat orang-orang menghampirimu. Bahkan di hari lahirmu, orang yang kelak sangat membencimu, pernah begitu bahagia. Ia haru, ia merdeka

Selamat Ulang Tahun, Istriku

Beberapa puisi ini untukmu.   /1/. Pohon-pohon meranggas di sekujur tubuhnya,  usia dan waktu  berkejaran.  pernah kita memandanginya  di sana-sini  menghitung hari-hari  yang ditinggalkan hujan.  kita terus saja berbicara  menginginkan suatu hari  hanya angin, dingin,  dan luasnya cakrawala.    kau sandarkan kepalamu  di pundakku  tangan kita berpegangan.  Rasanya seperti  menggenggam erat seluruh isi dunia ini.    /2/. Cat yang belum kering  wangi ini akan selalu kuingat  dengan cara terbaik  yang kumiliki.    saat itu, dinding kusam  tubuhnya mengelupas  oleh lupa  dan terabaikan.    kita mengingat suasana  yang kita inginkan  sebelum bulan berganti  dengan penyesalan.    kuas menyapu sekeliling  menghapus kesedihan,  dan dendam  di balik pintu.    perlahan, udara baru  masuk dari ruang tamu  untuk tinggal  dan menetap.    dunia ini bukan ruang tunggu kita memang sengaja diundang  untuk berbahagia.   /3/. Kacamata di atas meja    seringkali aku menemukannya