“Sido budal ora?”
“lha mbuh piye”
“Ayo sing jelas toh”
“Neg budal ayo, neg ora, yowis”
“Yowis, budal ae”
“Yowis, ayo”
“Iyo, ayo”
Kami memulai malam itu dengan cekcok. Berangkat ke Bantul atau tidak. Terang saja, malam minggu Jogja adalah sorganya event. Malam minggu (24/10) itu Jogja dimeriahkan oleh Iwan Fals di stadiun Kridosono, band-band lokal di stadiun Maguwoharjo, Festival jajanan dan clothing di J.E.C, Banda neira di UGM, dan pentas teater kolosal di Lapangan Paseban Bantul.
Sebelumnya saya, lampir, ucil, yunda, dan jon menikmati sore di Kedai kopi Kopas. Semua berlangsung santai sampai hari menjelang isyak. Hasil obrolan kami memutuskan untuk pergi menonton teater saja, ke lapangan Paseban. Akhirnya kami menunggu personil lain untuk ikut berangkat ke Bantul.
Beberapa menit kemudian, datanglah Wisnu dan Daus di Kedai kopi Kopas. Akhirnya disepakati malam itu yang berangkat ke Bantul adalah Saya, Lampir, Daus, Jon, dan Wisnu. Beberapa yang lain memutuskan izin dengan alasan yang berbeda-beda.
Karena helm kurang satu, kami menuju UIN terlebih dahulu untuk mengambil Helm di Sekre Pentas Nglindur.
Didepan gedung Multi Purpose inilah kami memulai cekcok. Jadi berangkat ke Bantul atau tidak, karena waktu yang sudah menunjukkan pukul 8 malam, sedangkan pentas dimulai jam setengah 8. Juga jarak lapangan paseban yang cukup jauh dan prediksi lahan parkir dan jalanan yang teramat penuh. Meskipun pada akhirnya saya tetap ngotot untuk berangkat. Dan teman-teman yang lain pun pada akhirnya juga menyetujui itu.
Jalanan dari UIN menuju Bantul kami tempuh dengan cukup ngebut. Sehingga belasan menit kemudian kami sudah sampai di kota tersebut. Kami memutuskan bertanya pada orang disekitar masiid agung perihal lokasi pentas, karena alun-alun dan lapangan paseban cukup tidak terlihat dari jalan raya. Logika kami sederhana, lokasi masjid agung jelas berdekatan dengan alun-alun sesuai tata ruang kota.
Kami pun sampai di parkiran. Verdomme! Panggung terlihat megah dan lautan manusia memadati lokasi pentas tersebut. Saya membatin, ini bukan acara main-main.
Kami berjalan menembus lautan manusia itu perlahan-lahan. Setelah memasuki pintu utama yang dimodel seperti gua, kami mengisi daftar hadir terlebih dahulu, formalitas untuk menuliskan nama dan mendapatkan stiker.
Saya terpaksa mengumpat lagi. Tata panggung dan artistik pentas teater kolosal ini benar-benar Bajingan. Nampak Tiga panggung megah ditengah lapangan dengan dua belas set lighting berdiri kokoh dan begitu istimewa. Juga beberapa aktor yang sedang berdialog di panggung utama itu diiringi musik live dari tengah-tengah panggung yang terdengar begitu bergemuruh dan cadas.
Kami terus berjalan perlahan sambil berusaha menembus kerumunan untuk bisa lebih dekat dengan panggung. Dan kami mendapatkan tempat yang cukup nyaman disekitar tenda tamu undangan, meskipun sambil berdiri. Karena kedatangan kami sendiri yang cukup terlambat.
Pentas teater kolosal yang dikerjakan secara kolaborasi oleh 260 pelaku seni Se-DIY itu menceritakan tentang penggalan kisah Rahwana. Tepatnya, mengenai Rebutan cupumanik Hastagina. Cerita pewayangan itu dikemas secara kontemporer. Musik-musik dan dialognya dikemas dengan menarik dan cadas. Nampak beberapa alat musik jawa, klasik, dan modern hadir disekitar panggung.
Saya melihat Empat aktor orang kampung berdialog mengenai Golput dan rendahnya kepemimpinan tanah air. Dilanjutkan karakter pewayangan yang mulai berdatangan. Nampak karakter Subali, Sugriwa dan Dewi anjani sebelum menjadi kera. Momen ini mengingatkan saya pada pementasan naskah Bisma Gugat yang saya dan kawan-kawan garap pada semester yang lalu.
Cerita terus mengalir. Penonton yang kebanyakan mempunyai jam malam nampak memilih pulang meninggalkan pementasan. Hal tersebut membuat kami mendapat tempat yang semakin dekat dengan panggung. Alur cerita tentu semakin menarik. Adegan konflik mulai bermunculan. Dua panggung disamping panggung utama dibentuk dengan model pura dan gua Kiskenda semakin menghidupkan suasana.
Saya semakin merinding. Musik dan pembawaan aktor terlihat begitu nyata ditambah layar visual di panggung utama. Beberapa kejadian perebutan cupumanik dan kutukan subali sugriwa digambarkan dengan apik di layar visual. Singkat cerita, Cupumanik Hastagina yang merupakan pusaka dari hubungan Dewi Indradi dan batara Indra itu diberikan kepada dewi Anjani dan menjadi perebutan antar saudara. Resi goutama atau Ayah ketiga saudara (Subali, Sugriwa, dan Dewi Anjani) itu tidak suka mengetahui konflik anak-anaknya hingga beliau marah pada Istrinya, Dewi Indradi. Dan membuang cupumanik Hastagina tersebut. Kelak, perebutan cupumanik itu membuat tiga saudara itu berubah menjadi kera. Sebuah penggambaran apik dunia pewayangan untuk menggambarkan orang yang serakah dan tidak menghargai pemberian semesta. Ingatan saya kemudian ditarik kembali pada beberapa buku yang pernah saya baca dan mempunyai hubungan pada kisah tersebut. Pertama, tentu saja adalah Roman Ramayana yang ditulis Rajagopalachari, lalu Kitab Omong Kosong-nya Seno Gumira Ajidarma, dan Rahuwanatattwa-nya Agus Sunyoto. Beberapa Novel itu memberikan sudut pandangnya masing-masing mengenai kisah Ramayana dalam bab rebutan Cupumanik Hastagina. Tentu favorit saya disini adalah novelnya Seno Gumira yang begitu Epik dan liris menggambarkan peristiwa tersebut.
Saya merinding lagi. Kali ini gara-gara obrolan ibu-ibu dan mbah-mbah dibelakang tempat duduk saya yang begitu menikmati pementasan tersebut. Bukti kalau kesenian masih mempunyai nilai yang begitu dalam ditengah hati masyarakat. Saya beberapa kali mendengar perbincangan mereka,
“Kui ngko njuk Dewi Anjani dadi munyuk”
“Iyo, Subali mbeg Sugriwa yo podho”
“Ancene Serakah kok”
“Lha kok apik yo gambare nang layar kui”
“Iyo e, Mbah”
“Koyo tenanan”
“Ho’oh”
Kejutan lagi-lagi hadir. Kali ini dalam adegan pernikahan Sugriwa dan Dewi Tara. Musik khas Eropa mengalun merdu diarahkan oleh konduktor mengiringi gerak dansa mereka. So romantic!. Juga dalam adegan perang tentara kera melawan pasukan mahesasura. Musik dan gerak aktor dibuat begitu rampak, lucu, dan dramatis. Hal ini menunjukkan peranan mahasiswa tari kampus ISI dalam pentas ini layak diacungi jempol.
Cerita terus berlanjut. Emosi penonton dimainkan dengan baik. Beberapa kali kejutan terus dimunculkan. Mulai dari permainan cahaya ketika penrasferan ilmu pancasona pada Rahwana, Layar Visual yang lucu dan tidak membosankan untuk mengiringi cerita, hingga guyonan antar tokoh aktor itu sendiri. Seperti ketika Aktor Sugriwa memohon pada kakanya agar tidak emosi, Ya Allah Kakang, Istighfar Kakang.
Luar biasa pengemasan cerita klasik yang dicampur dengan efek kontemporer tersebut. Beberapa kekurangannya mungkin pada mic yang dipakai pemain sering mengalami gangguan suara dan beberapa dialog Nampak tidak jelas. Selebihnya So Amazing!
Pentas inipun ditutup dengan ending yang cantik. Adegan pertarungan Rama, Sugriwa, dan Hanoman melawan Subali dihentikan dengan tablo dan masuknya aktor orang-orang kampung untuk memberikan guyonan dan mengembalikan pesan moralnya pada penonton. Tekhnik yang cukup baik untuk menghindari pola ending yang gampang ditebak.
Pentas Teater Kolosal yang disutradarai Hasfi Asmaralaya dan diproduseri oleh Suharmono Arimba ini begitu memuaskan kami malam itu. Dengan dukungan penuh dari dinas kebudayaan Jogja, pentas ini berhasil membuat kota Bantul menjadi kenangan tersendiri bagi pelaku seni yang terlibat dalam proses kreatif tersebut. Dalam penutupan pentas, Saya mendengar nama teater Eska disebut. Hal ini mengingatkan saya pada sesepuh Teater Eska, Cak Rahmat yang beberapa waktu yang lalu bercerita pada saya akan menggarap lighting teater dengan jumlah lampu yang tidak biasa.
Setelah pentas, ditengah perjalanan pulang, Boim memberikan pesan BBM yang bercerita bahwa dia juga ikut menggarap audio awal pentas tersebut. Memang Ghaib benar bocah ini! Ditengah kesibukannya menggarap media rekam dia masih sempat membuat audio untuk mengisi mahapentas seperti ini. Itupun dia bercerita menggarapnya dalam waktu yang tidak kurang dari 24 jam.
Malam itu kami pulang dengan keadaan perut yang cukup lapar. Ditengah perjalanan itu saya membayangkan obrolan dengan Daus ditengah-tengah pentas, bahwa kami bisa saja menggarap naskah semacam pewayangan kontemporer dalam ulang tahun komunitas Nama di bulan desember besok. Kami membayangkan sisi lain kisah cinta Rahwana. Daus mulai menyebut-nyebut nama aktor. Saya teringat Pementasan Bhisma gugat yang memerankan daus menjadi Bhisma-nya dan Yeni menjadi Dewi Ambanya. Sepertinya itu bisa dijadikan referensi pembelajaran untuk menggarap naskah dan progresnya besok. Mungkin dengan Aktor yang berbeda dan konsep yang semakin segar
Tapi mendadak saya melihat diri saya kembali. Saya yang sering terlalu banyak salah dan harus banyak berbenah. Saya yang kadang terlalu berambisi dan ceroboh. Saya yang terkadang sok memperjuangkan kemanusiaan dan beresiko mengkhianatinya sendiri. Hal ini mengingatkan saya pada dialog batara Narada pada Subali,
“Mana yang kau pilih Subali, Manusia yang berhati binatang? Atau Binatang yang berhati manusia? Atau sesuatu yang terus berbenah untuk kemanusiaan itu sendiri?”
Kebun Laras. Jogja, 25 Oktober 2015
Comments
Post a Comment