Skip to main content

PROSA JALANAN : JOGJA - JEMBER

Buat kamu, Dik

1. SESAMPAINYA DI SOLO.

Pagi masih belum sungguh, Dik. Kau sedang apa. Shalat subuh atau masih tidur menggenggam bukumu yang sudah lusuh, Ya, itu buku yang tak pernah kau baca. Tapi kau selalu membawanya kemana-mana. Barangkali buku yang nampak biasa itu begitu membuatmu bisa berbahagia.

Terminal masih sepi, Dik. Aku memandangi setiap yang terlihat dari dalam kaca. Barangkali kudapati kekasih yang sedang sendiri dan menunggu, hampir sama dengan kita, ya, kita yang bersama dan kita yang saling menunggu. Tapi bukankah semuanya saling menunggu. Menunggu untuk berpisah dan bersandar lelah.

Atau kamu mungkin sedang terjaga, Dik. Lalu Tak kamu sentuh sama sekali handphone atau smartphone pemalas itu. Dan kamu melangkah keluar rumah. Sekadar menghirup haru embun yang basah dan sisa hujan diatas tanah. Wajahmu memerah. Kamu begitu bersuka cita. Dan semua itu kurasakan di lengang jalanan kota surakarta. Jangan lupa berhati-hati atas apa saja yang membuatmu bahagia.

Solo hanya kulewati. Mungkin besok bersamamu. Atau bersama kamu yang lain, sungguh hendak kuajak kamu bertandang ke lokananta; seperangkat gamelan para dewa. Studio musik itu menyimpan ritus dan monumen kebesaran musik negeri kita. Pertama dan menjadi sejarah selamanya. Barangkali sambil bergandeng tangan, kita dengarkan waljinah berdendang bengawan solo, Lalu bung karno berpidato, dan kita mengikat janji untuk memegang sejarah berikutnya. Kamu pun sambil tertawa memukul pundakku,

"Jangan terlalu jauh mengkhayalmu, Penyair jelek"

Aku diam saja. Kulihat kamu membolak-balik arsib buku musik, matamu menerawang jauh kebelakang. Aku begitu suka caramu menghargai sejarah. Lalu kau lirih menyanyikan Angel-nya Sarah mclahen. Dan kamu selalu berhasil membuatku jatuh cinta padamu untuk kesekian kalinya.

Tapi solo pun begitu lekat di ingatan kita: Jembatan Bacem. Tempat mayat-mayat pejuang akar rumput hanyut. Itu nyawa, Tuan. Bukan manekin yang bebas kau apa-apakan. Kita belajar dari tragedi itu, pembantaian saudara atas rekayasa penguasa. Hingga kita bersepakat, meminta maaf saja tidak cukup, kita perlu memperbaiki yang telah terjadi dan Menuntaskan apa yang belum selesai pada kesalahan yang telah lalu. Kita tidak boleh saling memendam dan mendendam terlalu lama. Bukankah kita bersepakat bahwa Kita sama-sama saling cinta?

Lalu Solo pun tetap hanya kulewati. Mungkin setelah ini aku akan tidur. Kamu jangan lupa kuliah. Kamu setidaknya di kelas harus pintar, jangan teledor. Cukup aku yang dikelas tiduran dan membaca buku sambil melamun tak karuan, kamu jangan, apalagi sampai bolos. Wahai Kamu yang begitu pandai menyimpan rahasia dan memegang keyakinan. Selamat pagi. Sampai bertemu di perjumpaan!

2. SEMENTARA JOMBANG

Entah mengapa, Dik. Aku selalu bisa merasakan pulang di kota ini. Meskipun hanya jalannya saja yang kulewati. Barangkali di kota ini terlalu banyak cerita. Dan di kota ini pula aku ditempa oleh semesta untuk dewasa, kamu sedang apa sekarang? Apakah sudah kamu saksikan dalam-dalam langit yang sebentar lagi menjatuhkan hujan?

Perlahan, kusaksikan bangunan-bangunan baru berdiri. Semacam keniscayaan pembangunan semua tumbuh dan terkorbankan. Sehingga kadang kita pun mesti belajar, apa yang hadir tak usah kita benci dan apa yang hilang tak perlu kita sesali. Seperti kita yang terlambat membuat ikatan itu tertambat sampai luka semakin dalam berkarat-karat.

Mari bernafas sejenak, Dik. Mari kita saling bersandar menceritakan keluh kesah masing-masing. Aku dengan segala kecerobohanku atau kamu dengan segala keteledoran itu. Kita tak usah saling memberi solusi. Kita biarkan saja beban itu semakin sirna, sebab kita sudah saling membaginya. Kamu jangan lupa makan dan berolah raga ya. Apalagi ditambah meditasi. Mari kita benahi segala kealpaan diri.

Suatu hari --entah kapan-- aku akan mengajakmu bertamu di kota ini. Kota dimana aku bisa merasakan kepulangan sekaligus kepergian dalam satu waktu. Aku akan mengajakmu makan ketan dan minum kopi didekat stadiun, lalu makan nasi goreng istimewa di Warung Pelangi dan menghabiskan malam di tepian kolam Segaran. Dilanjutkan esok paginya kita mengunjungi candi-candi di perbatasan kota jombang dan mojokerto. Mungkin kamu akan menertawakanku di patung budha tidur, sebab disana aku punya kenangan buruk akan kejaran anjing yang membuatku benar-benar Phobia.

Bus Kota ini pun pada akhirnya akan melewati Jombang. Seperti kita yang terus berusaha melewati masa-masa sulit dan darurat. Kita yang terus memperjuangkan waktu yang genting dan penuh ketidaknyamanan. Kitalah satu-satunya pemenang dari ketakutan kita yang membelenggu. mari berbenah, Dik. Lagu-lagu Sisir tanah dan Silampukau mungkin bisa menemani niat dan perjuanganmu!

3. DAN DI MALANG

Semua yang diikatkan pada waktu pasti berlalu, Dik. Entah sebagai keterlewatan. Entah sebagai keabadian. Aku mengenal matamu sebagai peneduh luka. Sehingga jika terjadi hujan disana. Aku siap lebih dulu untuk terkena rintik yang pertama.

Di kota ini, Dik. Aku menyimpan kenang pada gunung yang berbanjar, pada curug yang berguyur, dan pada kedai kopi yang bagaikan pasar malam. Kita mengamati cuaca yang dingin, juga suasana yang menggigil. Berharap hangat pelukmu jadi penyelamat beku yang sementara. Biar sepi tak jadi lara nestapa.

Apakah kamu sudah tidur? Atau masih saling bercerita dengan sahabatmu yang tak kunjung bisa memejamkan mata?

Kamu perempuan yang pandai memendam semuanya sendirian, Dik. Kamu yang bersikap biasa saja, padahal rahasia yang kamu simpan begitu hebatnya. Kamu yang begitu kokoh memegang angin, tak sedikitpun gentar digertak halilintar. Tetaplah memegang ini, Dik. Setiap proses adalah setiap dari kita yang belajar.

Dan di Malang, aku menata puing-puing itu lagi, Dik. menghitung jarak dan kekuatan. Memastikan hari esok terisi dengan catatan nyata dan kerja kehidupan. Sementara itu, kota pun masih dingin. Jalanan berkelok menyapa pandang mata. Kita harus menata rencana, Dik. Selebihnya menghadapi dunia dengan gagah dan senyata-nyatanya.

Tersenyumlah, Dik. Biar Aku tak jadi lelah. Biar aku tak takut kalah.

4. LALU, JEMBER

Bagaikan angin, Dik. kita menyusuri apapun yang terikat oleh ruang dan termaktub dalam waktu. Kita melewati banyak alamat yang jauh. Baik untukku berlabuh atau ingatmu untuk menyentuh. Aku sudah tiba di kota terakhir, Dik. Apakah kamu sedang hanya menikmati harum basah tanah di kejauhan sana.

Adakalanya menjalani hidup seperti melempar dadu di Piringan yang tak rata. Tak ada kepastian yang bisa kita gantungi harapan. Tapi hidup tak melulu soal berjudi. Kita bisa merumuskan keadaan. Dan kita bisa menghitungnya dengan kenyataan.

Di kota ini, Dik. Ada kopi yang saat kuminum, mengingatkanku pada Suara tawamu yang tak bosan-bosan aku menikmatinya. Layaknya kopi tanpa gula. Kamu sudah begitu indah dengan dan tanpa segala apa saja.

Tapi, Dik. hidup juga soal Keberangkatan dan kepulangan. Aku selalu ingin pulang didekatmu. Menceritakan hal remeh temeh dan impian masa mudaku yang kelewat santai. Mungkin kamu mau memarahiku. Aku yang ceroboh dan kurang menyayangi kesehatan. Lalu aku membela diri dengan mencari-cari alasan.

Bisa jadi hidup ini sebenarnya kita isi dengan apa yang membuat kita merasa dunia ini penuh keindahan dan kejutan-kejutan. Kita begitu menikmati pertunjukan teater, mengamati setiap detail lukisan, dan hanyut dalam puisi yang ditulis dengan separuh jiwa. Barangkali dengan seni kita bisa menyampaikan apa saja. Barangkali dengan sastra kita bisa menyembunyikan rahasia-rahasia.

Dan hidup pun tak sedikit dijejali luka dan duka. Aku begitu membenci kebobrokan Industri, kamu menghujat kemacetan dan pembangunan ngawur tata kota. Kita begitu menyayangi anak-anak, terlebih senyum bersahaja orang-orang desa. Kita sama-sama lelah pada korupsi, kriminalitas, dan apapun yang menyakiti kemanusiaan. Aku pun turun ke jalan bersama barisan terpinggirkan. Kamu bersikap tegas melawan ketidakpedulian.

Pada akhirnya kota ini pun mengajariku untuk memahami lebih dalam. Kita adalah kelompok air dalam bejana. Mudah terombang-ambing dan gampang terjebak tipu daya. Kita adalah pemalas yang mengharapkan musuh memberi kemenangan. Sedang kekuatan baik pun tak kunjung kita kumpul satukan.

Mari saling membunuh, Dik. Kita bunuh diri kita yang nyaman dengan kepengecutan. Mari kita tikam kebebalan kita untuk merasa benar. Mari kita kubur apa yang membuat kita malas dan memelas, dan mari kita mulai bertanya lagi, apa memang semuanya sedang berjalan baik-baik saja.

Jogja - Jember, November 2015









Comments

Popular posts from this blog

'Menikah itu Biasa Saja'

/1/. Saya sepertinya akan selalu memikirkan pembuka novel Anna Karenina karangan Leo Tolstoy sampai kapan pun. "Keluarga bahagia, bahagia dengan cara yang sama. Keluarga tidak bahagia, tidak bahagia dengan caranya masing-masing," tulisnya. Dan saya menikah. Mengucap janji di hadapan penghulu, orang tua, saksi, hadirin yang datang, dan tentu saja pacar saya yang menjadi istri saya: Yeni Mutiara. Mungkin aneh. Tapi saya berharap ini biasa saja. Seperti menggubah lagu Efek Rumah Kaca yang dimuat dalam album debut eponimnnya. Ketika rindu, menggebu gebu, kita menunggu Jatuh cinta itu biasa saja. /2/. Saya masih mengingatnya. Tertanggal 4 Maret. Pagi tiba ketika kapal laut mengangkat sauh di selat sunda. Itu kali pertama Abah, Ibuk, Adek, dan Budhe mengalaminya. Kami duduk di ruang terbuka. Mengamati gugusan pulau kecil dengan pepohonan kelapa yang berjejer, seperti lanskap di buku gambar anak-anak. Sesekali kami minum kopi, memakan cemilan, dan meresapi udara se

Kau, Cahaya

Di hadapan pintu kebahagiaan. Kesedihan menyeruak, membawa pedih, menggigilkan tubuh waktu sebelum keberangkatan. Segala yang bernyawa, berujung tiada. Pada keheningan itu, sebelum maut. Nama umat yang kau sebut Seorang penyair melagukannya. Sebatang pohon kurma menangis, tatkala kau pergi. Air matanya luruh melebur embun shubuh. Kesejukan pagi itu, angin yang berhembus di sekitarnya, dan tangis yang belum berhenti, seperti pertanda perasaan kehilangan, yang akan selamanya. Tapi mengapa nama umat yang kau sebut, bukan sorga, juga bukan Tuhan yang menciptakan semuanya, saat kematian itu tiba?  Kau manusia. Mengembala. Berniaga. Bersedih dan bercanda. Dan di hatimu, terbuat dari apa relung sanubari itu, begitu hidup, begitu luasnya. Begitu jernih, menarik semuanya.  Kau yang penuh cinta.  Cahayamu terbit dari kegelapan suatu masa. Pendarnya membuat orang-orang menghampirimu. Bahkan di hari lahirmu, orang yang kelak sangat membencimu, pernah begitu bahagia. Ia haru, ia merdeka

Selamat Ulang Tahun, Istriku

Beberapa puisi ini untukmu.   /1/. Pohon-pohon meranggas di sekujur tubuhnya,  usia dan waktu  berkejaran.  pernah kita memandanginya  di sana-sini  menghitung hari-hari  yang ditinggalkan hujan.  kita terus saja berbicara  menginginkan suatu hari  hanya angin, dingin,  dan luasnya cakrawala.    kau sandarkan kepalamu  di pundakku  tangan kita berpegangan.  Rasanya seperti  menggenggam erat seluruh isi dunia ini.    /2/. Cat yang belum kering  wangi ini akan selalu kuingat  dengan cara terbaik  yang kumiliki.    saat itu, dinding kusam  tubuhnya mengelupas  oleh lupa  dan terabaikan.    kita mengingat suasana  yang kita inginkan  sebelum bulan berganti  dengan penyesalan.    kuas menyapu sekeliling  menghapus kesedihan,  dan dendam  di balik pintu.    perlahan, udara baru  masuk dari ruang tamu  untuk tinggal  dan menetap.    dunia ini bukan ruang tunggu kita memang sengaja diundang  untuk berbahagia.   /3/. Kacamata di atas meja    seringkali aku menemukannya