Saya terakhir melihatnya pagi itu (5/6). Dia sedang tiduran
dan bermain santai di sepeda motor yang akan saya gunakan untuk mencari
sarapan. Tapi waktu selalu lebih pamungkas dari apa yang bisa diperkirakan
manusia. Siang itu juga kau meninggalkan dunia ini, Si Hitam. Ya. Meninggalkan dunia
ini untuk selamanya.
Pada mulanya, Saya punya ketakutan yang tidak biasa pada
Anjing. Mungkin semacam Cynophobia. Itulah
mungkin yang membuat saya mempunyai ketakutan untuk berjalan kaki di daerah
kompleks perumahan atau tempat-tempat yang banyak anjingnya di Jogja. Saya selalu
tidak tahan untuk lari saat mendengar gonggongan anjing, apalagi yang tidak
ditali. Saya selalu membayangkan anjing itu akan mengejar saya, menggigit saya,
mencabik-cabik saya, hingga akhirnya saya berubah menjadi Zombie. Oh Tidak!
Beberapa kenangan buruk tentang anjing pun pernah hinggap
dalam kehidupan saya. Padahal –dalam catatan sejarah saya- dulu semasa sekolah
dasar saya punya keakraban dengan anjing di sebelah rumah paman disamping
gereja daerah pacet, Mojokerto. Meskipun tidak sampai menyentuh, tapi sungguh saya
tidak takut pada anjing di usia itu. Sampai kenangan buruk itu berdatangan. Pertama
sekali saat SMA bersama teman-teman berjalan-jalan santai di kompleks wisata
Patung Buddha Tidur di Mojokerto. Saat itu Enam Anjing di kompleks tempat
ibadah umat Buddha itu sukses mengejar teman saya sampai seluruh tubuh bergetar
dan wajah pucat pasi. Pengejaran oleh anjing itu dimulai dari kompleks pondokan
biksu dan ikut membuat saya juga berlari sampai pintu gerbang utama. Bayangkan!
Enam Anjing besar dengan gonggongan yang bisa membuat lutut lemas tak berdaya. Itupun
masih dilanjutkan pengalaman berikutnya semasa SMA juga, saat asyik mengamen di
Surabaya, Anjing penjaga Toko kelontong disebelah lampu merah menggonggong
kencang dan sukses membuat saya lari terbirit-birit sampai ke depan stasiun
Wonokromo. Juga kenangan semasa awal kuliah, saat pulang ngopi di daerah sorowajan,
begitu berjalan kaki melewati gang kontrakan, Gonggongan anjing keras dalam
pagar membuat saya berlari sekencang-kencangnya sampai kontrakan. Alhasil tubuh
saya panas dingin. Saya tergeletak lemas tak berdaya. Mengingat hal-hal itu
kadang membuat saya berharap pada Tuhan
supaya semua anjing dimusnahkan saja dari dunia ini.
Sampai akhirnya saya bertemu Si Hitam, Anjingnya Mega. Mega sendiri
adalah siswi TK yang juga termasuk adik bimbingan belajar sekolah rakyat
pinggir sungai Codhe. Rumahnya tepat disamping tempat kegiatan belajar bersama.
Sehingga, Si Hitam seringkali berkeliaran kesana kemari. Saya kurang tahu
jenis-jenis Anjing, tapi saya melihat Si Hitam mirip sejenis anjing English Toy Spaniel, berbulu lebat warna
hitam dan pendek.
Awalnya saya begitu takut dengan Si Hitam, sebagaimana
anjing-anjing lain, selucu apapun itu. Karena bagi saya, ketika anjing mulai
menggonggong galak, disitu kehidupanmu akan berakhir. Sampai waktu berlalu, musim
berganti, kehidupan berubah, dan sampai saya bisa mulai sedikit berteman dekat
dengan Si Hitam.
Saya salut dengan Si Hitam. Si Hitam adalah teman setia
bermain Mega sehari-hari, Si Hitam juga beberapa kali diceritakan menggonggong
kencang saat dikabarkan ada maling dan orang mencurigakan disekitar bantaran
Sungai Codhe, Sendowo. Hingga saya mulai tidak takut lagi pada Si Hitam, saya
sering mengamatinya berlari-lari. Berjalan-jalan santai, dan tiduran di sudut
lantai, Bahkan menakut-nakuti dan mengejarnya. Sampai semuanya kini jadi
kenangan belaka.
Mengenang Si Hitam adalah mengingat lagi banagaimana dia
selalu berlari dan menggonggong patuh ketika Mega dan Orangtuanya tiba di
rumah. Dia yang setiap malam terdengar menggonggong (mungkin bernyanyi) yang
terdengar sampai Rumah Baca, dan Dia yang berjalan kesana kemari sepanjang bantaran
sungai untuk sekadar menjalani hidup.
Saya tentu masih ingat Lebaran Idhul Adha kemarin. Dimana daging
yang kami dapatkan tak luput juga kami berikan untuk Si Hitam, barangkali sama
seperti kami. Dia perlu perbaikan gizi yang hebat setahun sekali. Si Hitam
terlalu jahat untuk disebut anjing galak. Dia tidak pernah menggigit orang,
apalagi menggigit sesama jenisnya.
Sampai hari itu datang, dia dikabarkan keracunan. dia meninggal
di usia yang cukup muda. dia belum pernah kawin dan mempunyai anak. dia belum
pernah melihat daratan selain bantaran sungai Codhe. dia yang kini tak akan
terdengar lagi suaranya di malam-malam sunyi, atau Sungai Codhe di larutnya
dinihari.
Saya masih ingat Kamis sore itu, mega berbicara pada saya di
rumah Bu Dewi,
“Mas Husen, Anjingku Meninggal”
“Hah, Meninggal kenapa? Perasaan tadi pagi aku masih ngeliat”
“Meninggal Keracunan, Mas”
“Hah, Lha udah dikubur?”
“Udah, Mas. Sama bapak dikubur dipinggir kali”
Selamat jalan, Si Hitam. Sampai jumpa di Sorga. Mungkin kau
akan bermain-main terlebih dahulu bersama anjing Ashabul Kahfi atau Anjing yang
diberi minum oleh Si Pelacur yang mati diteriknya matahari.
Atau mungkin juga bersama Hachiko, Anjing yang meninggal di
stasiun kereta karena selamanya menunggu tuannya yang telah lama meninggal
dunia
“Ah, Si Hitam, padahal aku belum mengajakmu menonton film
itu bersama.”
Kedai Kopi Kopas, Jogja. 6 November 2015
Comments
Post a Comment