Skip to main content

Majelis Literasi #2 : Menabung dan Ekonomi Kreatif untuk Perjuangan


"Segala hal itu perlu diukur dan dihitung untuk meninimalisir kemungkinan terburuk" Tutur Mbak Pamela

Malam itu (27/3) Jalan didepan rumah baca "TURUNAN" basah dan licin setelah diguyur hujan. Bahkan cuaca masih sedikit gerimis. Namun hal itu bukan halangan bagi kawan-kawan untuk melakukan aktifitas majelis literasi. Lantai sudah disapu, Papan tulis sudah berdiri, dan waktu sudah menunggu untuk segera dimulai.
Kurang lebih pukul 8 malam diskusi santai dimulai. Belasan muda-mudi duduk khidmat mendengarkan dan bertanya pada mbak pamela atau mas arif. Sesekali menyemil jajan dan menyulut rokok. Mereka adalah fasilitator yang juga sebagai aktifis credit union. Diskusi santai kali ini membahas usaha menabung dan ekonomi kreatif untuk perjuangan. Tema tersebut diambil lantaran kegelisahan yang dialami kawan-kawan seringnya menghadapi kesulitan memecahkan masalah keuangan dan administrasi yang dialami personal, komunitas, dan organisasi. Hal itu juga diamini dengan 2 fasilitator yang merangkap juga sebagai pekerja di koperasi sosial credit union (CU) Yogyakarta. Bahwa problem keuangan seringkali juga menentukan keberhasilan jalannya acara atau aktifitas organisasi, baik dalam proses maupun dalam eksekusi program. Tidak usah jauh-jauh, bahkan dialami individu sekalipun. Sehingga diperlukan adanya usaha pemetaan masalah yang baik dalam menyikapi hal tersebut.

"Sudah saatnya anak muda melakukan hal baik. Baik dalam cara atupun dalam tujuannya"

Diskusi malam itu dimulai dengan cerita mbak pamela sebelum dan setelah bergabung di koperasi sosial credit union. Beliau melihat banyak masalah sosial yang hanya menjadi pembiaran saja. Mbak pamela juga mengatakan banyak masalah-masalah itu tidak pernah selesai bukan karena masalah itu memang benar-benar sulit, tapi justru karena orang baik lebih memilih mendiamkannya saja. Hal itulah yang kemudian mendorong mbak pamela ikut bergabung dalam koperasi sosial credit union sandya wadaya.
Koperasi sosial dengan motto "berdaya, berdikari, dan berdaulat" ini berkembang cukup baik di Indonesia. Terbukti dari anggota dan sahamnya yang cukup banyak membantu dan menjalankan regulasi keuangan bersama. Credit union Sandya Swadaya ini didefenisikan juga sebagai sekumpulan orang yang saling percaya guna menabungkan uangnya sebagai modal bersama sehingga dapat dipergunakan anggota untuk tujuan produktif agar mampu meningkatkan kesejahteraan anggota. Lebih jauh disebutkan bahwa aktifitas ini adalah sebagai gerakan yang tidak mencari keuntungan, tidak untuk belas kasihan, dan fokus pada pelayanan anggota beserta komunitas.
Cukup detail mbak Pamela mengulas dan memetakan masalah problem keuangan dan semangat menabung. Sesekali juga dibumbui guyonan oleh peserta diskusi,


"Menabung mungkin saja merupakan solusi dalam usaha menghadapi uang-uang mistis yang seringkali tiba-tiba lenyap dari dompet kita. Tidak sengaja uangnya dibelikan macam-macam keinginan semata."

Ekonomi kreatif malam itu juga tak luput diperbincangkan. Usaha perekonomian mandiri yang berusaha menangkap peluang-peluang kecil yang bisa menjadi besar. Beberapa kawan ada yang sudah memulai dengan berjualan roti (s)krispi, Es Don, Rolado, dan lain-lain. Ekonomi kreatif juga bisa dikatakan usaha kecil untuk menyelesaikan masalah keuangan organisasi yang banyak bergantung pada proposal dan iuran insidental anggotanya.
Di satu sesi mas Arif mengatakan bahwa kolektifitas dan gotong royong masyarakat hari ini mulai terkikis oleh pola hidup individual dan liberal. Hal ini juga yang kemudian membuat masyarakat luput menangkap peluang besar dari usaha ekonomi kreatif kolektif, beberapa malah hanya berbangga saja menjadi pegawai dan bawahan bos di suatu perusahaan. Mas Arif juga menambahkan bahwa kekuatan rakyat adalah kunci utama. Tanpa itu kapitalisme modal multinasional dan kebijakan negara yang tidak pro rakyat hanya akan membuat lingkaran setan yang semakin memperpanjang usia kemiskinan dan pengangguran di negeri ini.
Malam diskusi itu pun diisi dengan sharing kawan-kawan dengan masalah keuangannya masing-masing. Ada yang kesulitan menabung, tidak bisa manajemen keuangan, dan juga kegagalan bertahan dengan celengan tradisional. kemudian Mbak Pamela merespon. Kadang juga kawan-kawan yang lain. Malam itu diskusi yang berjalan terbilang aktif. Hampir semua yang hadir menyampaikan gagasan dan melontarkan pertanyaan sesuai kegelisahannya masing-masing.
Credit Union yang menjadi pembahasan utama dalam diskusi pun terbahas dengan baik. Gerakan koperasi sosial yang mengedepankan tiga pilar utama: Pendidikan, Swadaya, dan Solidaritas ini mencoba membantu kemandirian kepada individu atau kelompok dengan menabung. Dengan sistem visitasi, para penabung cukup menghubungi petugas CU untuk mengambil uang yang ingin ditabungkan. Jadi penabung cukup di lokasi saja. Program visitasi ini pun tidak dikenakan biaya operasional. Ada dua kriteria anggota di CU: Calon anggota (untuk penabung saja) dan Anggota (untuk penabung dan peminjam). Keduanya mempunyai detail masing-masing. Untuk calon anggota dikenakan biaya administrasi awal 8000 rupiah untuk buku tabungan dan selebihnya gratis. Dengan nominal setiap menabung minimal 5000 rupiah. Itupun sudah ketambahan bunga 6% pertahun ditambahkan nominal tabungan. Berikutnya Anggota. Untuk anggota ini ada biaya administrasi tambahan dan prasyarat boleh meminjam setelah menabung selama 3 bulan. Beserta syarat-syarat yang lain. Kekurangan dari Credit Union ini barangkali terletak pada pola gerakan yang masih belum sebesar bank dan koperasi sosial pinjam lain pun publik masyarakat yang belum tahu tentang adanya aktifitas tersebut. Hal tersebut juga dibarengi jaminan kerja yang hanya bermodal kepercayaan dengan orientasi sosial yang sering membuat pekerja CU bolak-balik untuk melakukan visitasi. Karena mereka percaya, semua hal baik bisa diselesaikan dengan cara yang baik-baik pula.
Secara taktis, diskusi malam itu adalah usaha kawan-kawan melakukan pembiasaan baik dengan menabung dan usaha ekonomi kreatif. Hal ini juga sebagai pengejewantahan nilai utama dalam pengorganisiran, yaitu segala sesuatunya yang perlu dihitung dan diukur --dengan memulai dari hal kecil dan yang paling dekat.
Diskusi tematik 2 minggu 1 kali itu dicanangkan dengan output kawan-kawan untuk menabung dan memanfaatkan peluang sebaik-baiknya. Hal itu juga sebagai usaha agar diskusi tidak berhenti sebagai wacana. Tapi ada program dan kerja nyata.
Diskusi ditutup pada pukul kurang lebih 10 malam. Beberapa kawan mulai menabung di Credit Union malam itu juga. Semoga menjadi pembiasaan baik untuk seterusnya.
Nampak wadah cemilan mulai tandas tinggal sisa. Beberapa kawan ngobrol santai. Yang lainnya pamit undur diri. Barangkali memang benar, hidup tanpa perhitungan dan ukuran yang matang adalah hidup yang tak layak dijalani.

Diketik dengan Hape. Jogja. Akhir maret 2016


Comments

Popular posts from this blog

'Menikah itu Biasa Saja'

/1/. Saya sepertinya akan selalu memikirkan pembuka novel Anna Karenina karangan Leo Tolstoy sampai kapan pun. "Keluarga bahagia, bahagia dengan cara yang sama. Keluarga tidak bahagia, tidak bahagia dengan caranya masing-masing," tulisnya. Dan saya menikah. Mengucap janji di hadapan penghulu, orang tua, saksi, hadirin yang datang, dan tentu saja pacar saya yang menjadi istri saya: Yeni Mutiara. Mungkin aneh. Tapi saya berharap ini biasa saja. Seperti menggubah lagu Efek Rumah Kaca yang dimuat dalam album debut eponimnnya. Ketika rindu, menggebu gebu, kita menunggu Jatuh cinta itu biasa saja. /2/. Saya masih mengingatnya. Tertanggal 4 Maret. Pagi tiba ketika kapal laut mengangkat sauh di selat sunda. Itu kali pertama Abah, Ibuk, Adek, dan Budhe mengalaminya. Kami duduk di ruang terbuka. Mengamati gugusan pulau kecil dengan pepohonan kelapa yang berjejer, seperti lanskap di buku gambar anak-anak. Sesekali kami minum kopi, memakan cemilan, dan meresapi udara se

Kau, Cahaya

Di hadapan pintu kebahagiaan. Kesedihan menyeruak, membawa pedih, menggigilkan tubuh waktu sebelum keberangkatan. Segala yang bernyawa, berujung tiada. Pada keheningan itu, sebelum maut. Nama umat yang kau sebut Seorang penyair melagukannya. Sebatang pohon kurma menangis, tatkala kau pergi. Air matanya luruh melebur embun shubuh. Kesejukan pagi itu, angin yang berhembus di sekitarnya, dan tangis yang belum berhenti, seperti pertanda perasaan kehilangan, yang akan selamanya. Tapi mengapa nama umat yang kau sebut, bukan sorga, juga bukan Tuhan yang menciptakan semuanya, saat kematian itu tiba?  Kau manusia. Mengembala. Berniaga. Bersedih dan bercanda. Dan di hatimu, terbuat dari apa relung sanubari itu, begitu hidup, begitu luasnya. Begitu jernih, menarik semuanya.  Kau yang penuh cinta.  Cahayamu terbit dari kegelapan suatu masa. Pendarnya membuat orang-orang menghampirimu. Bahkan di hari lahirmu, orang yang kelak sangat membencimu, pernah begitu bahagia. Ia haru, ia merdeka

Selamat Ulang Tahun, Istriku

Beberapa puisi ini untukmu.   /1/. Pohon-pohon meranggas di sekujur tubuhnya,  usia dan waktu  berkejaran.  pernah kita memandanginya  di sana-sini  menghitung hari-hari  yang ditinggalkan hujan.  kita terus saja berbicara  menginginkan suatu hari  hanya angin, dingin,  dan luasnya cakrawala.    kau sandarkan kepalamu  di pundakku  tangan kita berpegangan.  Rasanya seperti  menggenggam erat seluruh isi dunia ini.    /2/. Cat yang belum kering  wangi ini akan selalu kuingat  dengan cara terbaik  yang kumiliki.    saat itu, dinding kusam  tubuhnya mengelupas  oleh lupa  dan terabaikan.    kita mengingat suasana  yang kita inginkan  sebelum bulan berganti  dengan penyesalan.    kuas menyapu sekeliling  menghapus kesedihan,  dan dendam  di balik pintu.    perlahan, udara baru  masuk dari ruang tamu  untuk tinggal  dan menetap.    dunia ini bukan ruang tunggu kita memang sengaja diundang  untuk berbahagia.   /3/. Kacamata di atas meja    seringkali aku menemukannya