Skip to main content

MEMBACA NOVEL “O” EKA KURNIAWAN


Meskipun Fiksi, harus saya akui cerita yang ditulis Eka lebih dekat dengan kenyataan. Bahkan obrolan para binatang itu pun saya lebih senang menganggapnya adalah benar terjadi di dunia sebenarnya. Eka memang menulis Fabel kontemporer, tapi lebih jauh dari itu. Eka sedang memecahkan puzzle raksasa, lalu ia merangkainya menjadi sesuatu yang lebih berarti.

“Kata Tetua Monyet, Kau Hidup terlalu tua sampai tak bisa melihat selalu ada banyak jalan untuk segala sesuatu” (Hlm. 233)

Beberapa orang mungkin salah menyebut judul novel ini. Ada yang bilang “kosong”, “Nol”, di beberapa yang lain malah bertanya, “Loh. Ini judulnya apa?” Padahal Novel dengan halaman belakang yang hanya tertulis “Tentang Seekor Monyet yang ingin menikah dengan kaisar dangdut” ini berjudul sangat simple. yaitu satu huruf hidup. atau satu huruf abjad. iya, O.

"Kau tahu, semua makhluk hidup dengan alat pembunuh, tanpa itu mereka tak akan bertahan di dunia ini (O, hlm 233)

Dan seperti itulah Eka. Dia adalah pembunuh yang baik dan psikopat yang berpengalaman. 470 halaman novel ini tak kurang diselesaikan dalam waktu 8 tahun. Sepanjang 2008 sampai 2016. Novel terlama sepanjang yang pernah dia tulis. Novel dengan rangkaian cerita yang terlempar kesana-kemari disatukan dalam satu kerangka besar: kejutan-kejutan. Eka mungkin sedang bereksperimen. Tapi laboraturiumnya tidak main-main: dia menggunakan seluruh isi jagad beserta mitos misterinya --terutama dalam historisme dan kebudayaan Indonesia.

"Aulia berkeliling menggunakan topeng monyet dengan monyet (armo gandul) untuk menyebarkan agama islam di tanah jawa" (O, hlm. 230)

Lihat bagaimana Eka memodifikasi cerita. Berangkat dari narasi-narasi kecil tentang topeng monyet, dia meramu kehidupan monyet (dan kebudayaannya) sampai ke legenda zaman dari si monyet itu sendiri. Armo Gandul adalah salah satu tokoh kecil. Tapi kemudian dia menjadi ikon bahwa pada suatu masa dan cara tertentu seekor monyet bisa berubah menjadi seorang manusia. tapi apakah Eka hanya bicara soal sejarah atau modifikasi peristiwa di masa lalu, tentu tidak.

“Ada juga hal yang sabar mendekam : dendam. Ia bisa menyala berkobar membakar apa saja. di lain waktu, ia barangkali hanya bara kecil yang terpendam. dendam dilahirkan untuk sabar mendekam.” (O, hlm. 129)

Eka meramu kisah para tokoh dalam novel dengan apik. kehidupan masyarakat urban dijelaskannya dengan detail dan akrab dengan bahasa sehari-hari. Pekerja topeng monyet, Bencong, Sepasang Pemulung, Pengangguran, Mantan teroris, Preman, Polisi, Tukang Pukul, Penyanyi dangdut ibukota, Kiai kampung, dan Pekerja Phonesex diceritakannya secara tekun dan hati-hati. Eka begitu pandai mengendalikan alur, bahkan sebelum novel ini habis dibaca, kita sudah menemukan banyak eksekusi-ekssekusi cerita masing-masing tokoh dengan sangat memuaskan.

Fabel Kontemporer yang dilabelkan pada novel ini pun terbilang sukses besar. Eka tidak hanya membuat hewan-hewan berbicara, sepucuk revolver pun dia buat hidup menyuarakan kebisuan yang lama tak diungkapkan sebagai tugasnya menjadi senjata pembunuh kehidupan.  Pada hewan-hewannya dia menceritakan hewan-hewan yang sebenarnya tidak cukup keren dan populer. sebut saja Gerombolan Monyet, Keluarga anjing kampung, Kakaktua yang tersesat,  Kerumunan Tikus got, dan Babi. disinilah kehebatan Eka. dia begitu kuat mendekatkan cerita hewan-hewan itu pada kehidupan yang sebenarnya. sehingga kita serasa diajak Eka mengunjungi kemungkinan-kemungkinan yang sebenarnya sangat mungkin terjadi di kehidupan ini –di lingkungan sekitar kita.

kemungkinan-kemungkinan itulah yang banyak dieksplor Eka. terutama sekali dia membicarakan soal reinkarnasi. perihal ikan yang suatu masa berubah menjadi monyet. perihal monyet yang suatu masa berubah menjadi manusia, juga manusia yang suatu masa berubah menjadi binatang lain. Eka cerdik sengali mengolah materi-materi itu. dia bercerita tentang kematian untuk kelahiran kembali. tentang rasionalisasi mitos babi ngepet. tentang apapun, bahkan juga tentang cinta.

“Cinta tak ada hubungannya dengan kebahagiaan, meskipun cinta bisa memberimu hal itu. aku menderita karena cinta. dan aku terus menderita karena aku terus mencintai ia yang membuatku menderita.”(O, hlm. 251)

Adalah manikmaya. Seekor tikus yang membicarakan kata-kata bijak tersebut. saat ketika tokoh monyet bertanya perihal kekasihnya yang konon telah berubah menjadi manusia. tidak berhenti disitu. seorang kiai kampung tua juga mmbicarakan perihal cinta.

“Bukan Cinta yang membuat kita buta, tetapi keyakinan” (O, hlm 392)

Lalu Kirik. Seekor anak anjing yang menceramahi tokoh utama si monyet O.

“Cinta dan ketololan seringkali hanya masalah bagaimana seseorang melihatnya” (O, hlm. 216)

Tak mau kalah, tokoh utama monyet O pun membalas.

“Cinta. Kau tak pernah mengerti cinta. maka kau tak kan mengerti arti tali yang mengikat satu makhluk ke makhluk lain.” (O, hlm. 400)

Tapi Eka pun tak hanya berkutat soal cinta atau asrama, meskipun itu nyawa dari novel ini. Ya. tentang cinta yang sederhana –yang mengilhami tindakan-tindakan makhluk hidup atas pemaknaannya pada kehidupan. Eka bahkan dibeberapa bagian Nampak bijak dan membawa nilai-nilai spiritual yang dalam. dan yang terpenting dia tidak membicarakannya dengan berapi-api atau membawa pentungan. halus dan tidak menggurui. dia berbicara perihal ibadah shalat dan sejeninya. perihal belajar mengaji dan melakukan kontemplasi keilahian. tersirat memang. tapi pembaca diajak kembali pada masa kanak-kanak yang pernah semenyenangkan itu di masa lalunya.

“Ia tidak peduli mereka bisa melakukan apapun yang mereka inginkan. tapi mereka tak akan menangkap seseorang hanya karena tidur di waktu tidur, shalat di waktu shalat, dan pergi kerja di waktu kerja.” (O, hlm. 178)

Tanpa bermaksud menceritakan semua kisah dalam novel tersebut. pokok paling penting dalam narasi Eka adalah kita diajak untuk fokus dan penasaran pada tokoh O si monyet dan Entang Kosasih si kaisar dangdut. Entang Kosasih yang juga nama kekasih monyet O di masa lalunya mengajarkan kita banyak hal tentang keberanian, ambisi, keyakinan, dan tanggung jawab. bahwa perubahan tanpa keyakinan yang kuat dan kesabaran yang ekstra untuk mencapai tujuan adalah omong kosong besar.
Eka –sekali lagi lewat proses penulisan panjang selama 8 tahun itu- adalah pendekar yang tangguh. pemecah misteri yang handal (seperti dua tokoh idolanya: Shidney Sheldon dan Abdullah Harahap), dan penantang resiko yang bukan main.

Saya masih akan membaca Eka yang lain. Pertama mungkin diawali dari novel O yang terbit masih segar di bulan Maret 2016 ini. dan memang harus saya akui, saya terpesona oleh gaya menulisnya. beberapa novelnya bahkan diisukan setara dengan penulis internasional bak Gabriel Garcia atau Franz Kafka. dengan latar belakang pendidikan Filsafat dan menulis skripsi tentang realisme sosialisnya Pramodya menunjukkan Eka adalah Penulis yang tidak sembarangan atau dalam bahasa lain pentinglah kiranya untuk kita pelajari –yaitu harus kita kritisi juga Eka lewat karya-karyanya, dan lebih jauh lagi, kita sebenarnya juga bisa mengkritisi garis politik yang dipilih oleh Eka karena ideologi penulis berperan penting dalam penyusunan kritik sastra atas karyanya. (tapi saya sementara ini akan menuliskannya sampai disini dulu). Barangkali sebagai penutup sementara. juga pernyataan dari Eka sendiri didalam cerita lewat tokohnya, Si Monyet Entang Kosasih mengatakan bahwa:

“Hidup tanpa resiko adalah hidup yang tak layak dijalani, Sayangku.”



Jogja. Pertengahan April. 2016

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

'Menikah itu Biasa Saja'

/1/. Saya sepertinya akan selalu memikirkan pembuka novel Anna Karenina karangan Leo Tolstoy sampai kapan pun. "Keluarga bahagia, bahagia dengan cara yang sama. Keluarga tidak bahagia, tidak bahagia dengan caranya masing-masing," tulisnya. Dan saya menikah. Mengucap janji di hadapan penghulu, orang tua, saksi, hadirin yang datang, dan tentu saja pacar saya yang menjadi istri saya: Yeni Mutiara. Mungkin aneh. Tapi saya berharap ini biasa saja. Seperti menggubah lagu Efek Rumah Kaca yang dimuat dalam album debut eponimnnya. Ketika rindu, menggebu gebu, kita menunggu Jatuh cinta itu biasa saja. /2/. Saya masih mengingatnya. Tertanggal 4 Maret. Pagi tiba ketika kapal laut mengangkat sauh di selat sunda. Itu kali pertama Abah, Ibuk, Adek, dan Budhe mengalaminya. Kami duduk di ruang terbuka. Mengamati gugusan pulau kecil dengan pepohonan kelapa yang berjejer, seperti lanskap di buku gambar anak-anak. Sesekali kami minum kopi, memakan cemilan, dan meresapi udara se

Kau, Cahaya

Di hadapan pintu kebahagiaan. Kesedihan menyeruak, membawa pedih, menggigilkan tubuh waktu sebelum keberangkatan. Segala yang bernyawa, berujung tiada. Pada keheningan itu, sebelum maut. Nama umat yang kau sebut Seorang penyair melagukannya. Sebatang pohon kurma menangis, tatkala kau pergi. Air matanya luruh melebur embun shubuh. Kesejukan pagi itu, angin yang berhembus di sekitarnya, dan tangis yang belum berhenti, seperti pertanda perasaan kehilangan, yang akan selamanya. Tapi mengapa nama umat yang kau sebut, bukan sorga, juga bukan Tuhan yang menciptakan semuanya, saat kematian itu tiba?  Kau manusia. Mengembala. Berniaga. Bersedih dan bercanda. Dan di hatimu, terbuat dari apa relung sanubari itu, begitu hidup, begitu luasnya. Begitu jernih, menarik semuanya.  Kau yang penuh cinta.  Cahayamu terbit dari kegelapan suatu masa. Pendarnya membuat orang-orang menghampirimu. Bahkan di hari lahirmu, orang yang kelak sangat membencimu, pernah begitu bahagia. Ia haru, ia merdeka

Selamat Ulang Tahun, Istriku

Beberapa puisi ini untukmu.   /1/. Pohon-pohon meranggas di sekujur tubuhnya,  usia dan waktu  berkejaran.  pernah kita memandanginya  di sana-sini  menghitung hari-hari  yang ditinggalkan hujan.  kita terus saja berbicara  menginginkan suatu hari  hanya angin, dingin,  dan luasnya cakrawala.    kau sandarkan kepalamu  di pundakku  tangan kita berpegangan.  Rasanya seperti  menggenggam erat seluruh isi dunia ini.    /2/. Cat yang belum kering  wangi ini akan selalu kuingat  dengan cara terbaik  yang kumiliki.    saat itu, dinding kusam  tubuhnya mengelupas  oleh lupa  dan terabaikan.    kita mengingat suasana  yang kita inginkan  sebelum bulan berganti  dengan penyesalan.    kuas menyapu sekeliling  menghapus kesedihan,  dan dendam  di balik pintu.    perlahan, udara baru  masuk dari ruang tamu  untuk tinggal  dan menetap.    dunia ini bukan ruang tunggu kita memang sengaja diundang  untuk berbahagia.   /3/. Kacamata di atas meja    seringkali aku menemukannya