Skip to main content

BERTIUPNYA "SANGKAKALA" DI KONSER ROCK SIANG BOLONG

"Rock harus tegas"

Begitulah tulisan salah satu slogan yang terpampang di panggung Halaman TBY (Taman Budaya Yogyakarta) pada senin tanggal Lima september ini. Terdengar sepanjang siang sampai sore musik menghentak keras membuktikan slogan tersebut. Orang-orang berkerumun, bengjingkrak, dan berteriak merayakan ajang tahunan yang selalu ditunggu-tunggu: Ya. Rock siang bolong.

Dan saya harus datang terlambat untuk menjadi saksi dari awal sampai akhir perhelatan acara rock anti mainstrim tersebut. Untungnya saya tidak dibuat kecewa. karena band rock yang saya tunggu-tunggu pas memulai aksi panggungnya bersamaan dengan setibanya saya di TBY.

Rock siang bolong sendiri adalah acara konser musik rock yang diadakan dari siang sampai sore hari. Ada kurang lebih 5 band rock yang menjadi pengisinya. Umumnya diadakan satu tahun sekali dan berlokasi di kampus ISI. Tapi di tahun ini Rock siang bolong yang bertajuk "SILATUROCKSI" diadakan di halaman TBY sekaligus sebagai acara penutup dari pameran PAPERU "(ng)impi(an) FKY (Festival Kesenian Yogyakarta) yang ke-28.

Lalu mengenai band yang saya tunggu-tunggu itu adalah Sangkakala. Band Rock Heavy Metal yang personilnya merupakan 3 lulusan mahasiswa seni rupa dan 1 lulusan mahasiswa musik ISI Jogja. Ada blangkon di posisi vokal, Iqbal pada penyayat gitar, Rudy pada pembetot bass, dan tatsoy pada penabuh drum. Perkenalan saya pada band ini adalah saat suatu waktu menemani Mbak Isti untuk bertemu dengan pelukis Iwan Wijono. Saat asik mengobrol Mas Iwan tiba-tiba  menunjukkan salah satu kaset dengan sampul bertuliskan Sangkakala. Menurut penuturannya, ini adalah band lokal dengan lagu rock yang cukup dasyat. Saya cukup tertarik dan esoknya mendengarkan secara online beberapa lagunya di internet.

Sampai tiba kali ini untuk pertamakalinya saya menonton secara live konser Sangkakala. Mengutip kata salah seorang kawan,

"Percuma menjadi penggemar band, kalau mendengarnya cuma lewat mp3"

Dan sore itu saya memenuhi ejekan kawan tersebut. Ya. Selain menonton, saya juga berhasil merasakan atmoshfir semangat band rock 80-an: keras, liar, dan membebaskan!

Sebenarnya sedikit sekali pengetahuan saya tentang band rock Indonesia. Hanya sesekali saja mendengarkan beberapa lagu Edane, God Bless, Koil, Riff, Kobe, power metal, Sangkakala, dan beberapa yang lain. Saya lebih senang mendengarkan band luar semacam Kiss, Motley Crue, Pink Floyd, Iron Maiden, dan Led Zeppelin tentu saja. Tapi mendengarkan Sangkakala terasa sekali semangat zaman seperti yang dibawakan kejayaan band-band rock 80 dan 90-an tersebut.

Sore itu Sangkakala sukses membawakan 4 lagu andalannya, "Rock Live at Rollercoaster", "Hotel Berhala", "Sangkakala", "Kansas", dan "Tong Setan". Sepanjang lagu awal sampai akhir penampilan panggungnya selalu atraktif dan memukau, itupun didukung dengan kualitas sound system yang baik. Diawali betotan bass kencang oleh Rudy,  sayatan gitar cadas Iqbal,  gebukan kasar drum Tatsoy, beserta vokal rapat dan melengking Blangkon selalu berhasil membuat penonton berjingjrak dan mengangguk-anggukan kepala, terlebih personil band dan penonton berambut gondrong yang elegan sekali ketika melakukannya.

Saya pun begitu menikmatinya. Setelah Empat hari di Bogor dan Jakarta, kepulangan di jogja dan menonton konser itu seakan membayar beberapa keinginan lalu untuk menonton pentas Silampukau dan Sisir tanah terbayar. Selain memang acara di Bogor dan Jakarta lebih penting, saya pun sudah sempat menonton secara live dua band indie tersebut beberapa bulan sebelumnya.

Riuh ramai penonton, penampilan atraktif Sangkakala, dan suasana terik siang-sore hari menjadi pemandangan beda dan menarik dari acara Rock siang bolong tersebut. Entah mengapa, tiba-tiba saya semakin bersemangat dan optimis memandang hari esok. Seakan kasar dan cadasnya musik Sangkakala mengingatkan saya bahwa hidup harus dijalani dengan total, pasti, dan penuh perbuatan besar untuk orang banyak sebelum datangnya mati. Ini mengingatkan saya juga pada salah satu penelitian psikologi yang menyebutkan bahwa Musik keras rock cenderung lebih bisa menenangkan dan memantapkan suasana hati seseorang daripada lagu-lagu dengan tempo yang lebih pelan.

Ternyata tak terasa waktu berjalan begitu cepat dam Sangkakala telah tiba di ujung lagu. Dan seperti biasa, sebelum Blangkon melantunkan lagu pamungkas konsernya, dia selalu mengawalinya dengan prolog,

"Seperi sahnya sholat, diawali dengan takbiratul ikhram, diakhiri dengan salam. Demikian juga dengan Sangkakala, diawali dengan "Into The Row", diakhiri dengan "Tong Setan"

Musik semakin menjadi-jadi. Beberapa penonton ikut naik, berkerumun, berjingkrak, dan menyanyi. Semakin banyak teriakan, lompatan-lompatan, dan permainan musik yang semakin kencang untuk memungkasi pertunjukkan rock liar tersebut.

Dan Blangkon menutup konsernya, "Billahi taufiq wal hidayah, wassalamualaikum wr wb", Penonton pun tertawa dan bertepuk tangan ramai.

Lalu satu persatu penonton membubarkan diri. Saya dan Irwan menyempatkan sebentar melihat pameran dan bersalaman dengan beberapa kawan mapala SASENITALA ISI Jogja. Kemudian beranjak pulang sambil melihat-lihat marchendise rock, slogan "Tengkorak tapi mesra", orang-orang dengan dandanan berbagai rupa. Dan membatin,

"Sepertinya Sangkakala akan berhenti bermain jika terompet malaikat Izroil yang namanya juga sama ditiupkan ke dunia"

Jayalah terus Rock Indonesia!


Diketik dengan hape. Rumah baca, Minggu awal September 2016

Comments

Popular posts from this blog

'Menikah itu Biasa Saja'

/1/. Saya sepertinya akan selalu memikirkan pembuka novel Anna Karenina karangan Leo Tolstoy sampai kapan pun. "Keluarga bahagia, bahagia dengan cara yang sama. Keluarga tidak bahagia, tidak bahagia dengan caranya masing-masing," tulisnya. Dan saya menikah. Mengucap janji di hadapan penghulu, orang tua, saksi, hadirin yang datang, dan tentu saja pacar saya yang menjadi istri saya: Yeni Mutiara. Mungkin aneh. Tapi saya berharap ini biasa saja. Seperti menggubah lagu Efek Rumah Kaca yang dimuat dalam album debut eponimnnya. Ketika rindu, menggebu gebu, kita menunggu Jatuh cinta itu biasa saja. /2/. Saya masih mengingatnya. Tertanggal 4 Maret. Pagi tiba ketika kapal laut mengangkat sauh di selat sunda. Itu kali pertama Abah, Ibuk, Adek, dan Budhe mengalaminya. Kami duduk di ruang terbuka. Mengamati gugusan pulau kecil dengan pepohonan kelapa yang berjejer, seperti lanskap di buku gambar anak-anak. Sesekali kami minum kopi, memakan cemilan, dan meresapi udara se

Kau, Cahaya

Di hadapan pintu kebahagiaan. Kesedihan menyeruak, membawa pedih, menggigilkan tubuh waktu sebelum keberangkatan. Segala yang bernyawa, berujung tiada. Pada keheningan itu, sebelum maut. Nama umat yang kau sebut Seorang penyair melagukannya. Sebatang pohon kurma menangis, tatkala kau pergi. Air matanya luruh melebur embun shubuh. Kesejukan pagi itu, angin yang berhembus di sekitarnya, dan tangis yang belum berhenti, seperti pertanda perasaan kehilangan, yang akan selamanya. Tapi mengapa nama umat yang kau sebut, bukan sorga, juga bukan Tuhan yang menciptakan semuanya, saat kematian itu tiba?  Kau manusia. Mengembala. Berniaga. Bersedih dan bercanda. Dan di hatimu, terbuat dari apa relung sanubari itu, begitu hidup, begitu luasnya. Begitu jernih, menarik semuanya.  Kau yang penuh cinta.  Cahayamu terbit dari kegelapan suatu masa. Pendarnya membuat orang-orang menghampirimu. Bahkan di hari lahirmu, orang yang kelak sangat membencimu, pernah begitu bahagia. Ia haru, ia merdeka

Selamat Ulang Tahun, Istriku

Beberapa puisi ini untukmu.   /1/. Pohon-pohon meranggas di sekujur tubuhnya,  usia dan waktu  berkejaran.  pernah kita memandanginya  di sana-sini  menghitung hari-hari  yang ditinggalkan hujan.  kita terus saja berbicara  menginginkan suatu hari  hanya angin, dingin,  dan luasnya cakrawala.    kau sandarkan kepalamu  di pundakku  tangan kita berpegangan.  Rasanya seperti  menggenggam erat seluruh isi dunia ini.    /2/. Cat yang belum kering  wangi ini akan selalu kuingat  dengan cara terbaik  yang kumiliki.    saat itu, dinding kusam  tubuhnya mengelupas  oleh lupa  dan terabaikan.    kita mengingat suasana  yang kita inginkan  sebelum bulan berganti  dengan penyesalan.    kuas menyapu sekeliling  menghapus kesedihan,  dan dendam  di balik pintu.    perlahan, udara baru  masuk dari ruang tamu  untuk tinggal  dan menetap.    dunia ini bukan ruang tunggu kita memang sengaja diundang  untuk berbahagia.   /3/. Kacamata di atas meja    seringkali aku menemukannya