Skip to main content

MERAYAKAN AGUSTUS DI PANTAI WEDIOMBO

Kami kebetulan lahir di bulan yang sama. Barangkali juga dengan pikiran yang sama. Bahwa laut adalah ibu, dimana kita bisa menitipkan segala lelah dan semua doa disana.

"Pak, arah ten wediombo pundi?"

"Tasek mriko, Mas. Mantun jembatan belok ngiri"

Ya. Kami berangkat terlalu malam. Tepatnya setelah isyak kami baru berangkat. Padahal perjalanan jogja - wediombo memakan waktu 2 jam lebih. Itupun masih ditambah saya yang hobi lupa jalan dan Ridlo yang belum pernah kesana.

Tapi Tuhan memang bersama Traveler. 2 jam 30 menit berlalu akhirnya kami sampai disana. Bermodal seadanya: tenda butut, gitar, beberapa bungkus mie rebus, dan kompor agak rusak. Kita siap bertamu di daerah kekuasaan Neptunus.

Sesampai disana pun langit sudah terlalu gelap. Itu juga yang akhirnya membuat kami tidak jadi melangkahkan kaki 1 jam 30 menit lagi ke pantai sedahan atau pantai greweng. Ya. Kami memilih pantai wediombo saja. Masih merupakan satu keinginan saya yang akhirnya terpenuhi untuk bisa mantai antara sedahan dan Greweng.

Motor pun kami parkir di salah satu rumah penduduk. Lalu kami melangkahkan kaki mencari spot tenda di pantai yang jauh dari bangunan fasilitas pantai. Yup. Biar suasana alamnya lebih terasa.

Akhirnya tenda terpasang. Meski agak reot. Senter sudah dibungkus kresek. Barang-barang sudah ditata. Saatnya kaki kami slonjorkan. Beralas pasir. Memandang gugusan bintang. Mendengar debur ombak menghambur karang.

Lagu pertama pun mengalun dari Hape Len*v* butut. Skid Row dengan cadas menyanyikan Youth Gonna Wild. Pas untuk alam sebagai pembuka malam!

Mie rebus kemudian kami remas. Ditabur bumbu. Diaduk rata. Digoyang-goyang bungkusnya. Dihidangkan lah diatas piring. Garingan. Ya. Kami masih cukup kenyang.

"Lha Kopine?"

"Iki loh otewe"

Saatnya gitar ambil bagian. Musisi kita (Ridlo) memasang kuda-kuda di jari jemarinya. Mulailah meluncur dengan syahdu lagu 'Kali Code', 'Orang-orang di jalanan', 'Hari ini kita bersama', sampai mematangkan lagu untuk perform besok dari puisi Paman Khamid: Anak-anak bukan Semen.

Ya. Tentu saja sambil kami ngobrol ngalor ngidul. Tentang Vokalis band keren yang banyak meninggal di usia 27. Tentang orang-orang gunung kidul yang banyak menikmati malam penghujung agustus di luar rumah sambil berkumpul ramai. Tentang hari lahir kita di bulan agustus. Masa kecil. Tentang jalanan, lautan, dan obrolan khas lelaki : Ya. Perempuan.

Sampai malam benar-benar jatuh. Kami sudah bernyanyi sambil teriak-teriak. Menghisap rokok berbatang-batang. Membicarakan banyak kebusukan. Mendengarkan lagu-lagu Rock cadas terbaik 80'an. Hingga kantuk datang. Menerjang.

"Jancuk. Udan"

Resleting tenda kami rusak. Hujan semakin deras. Akhirnya tali rambut kami jadikan pengikat kain biar air tidak menghabisi alas tenda. Hujan semakin menjadi-jadi. Tapi lagi-lagi Tuhan bersama para petualang: Tenda reyot yang diikat tali rambut menyelamatkan kami. Syukurlah!

Dan kami tertidur. Diiringi suara hujan yang mengguyur dan ombak yang berdebur.

...

"Woi tangi dlo, banyune nyampek ngarep tendo"

"Wah, iyo e. Assem tenan!"

Hari masih terlalu pagi(?). Jam setengah 7. Dengan mata agak berat tenda kami angkat  kebelakang. Sambil mengucek mata pelan-pelan, kami tersadar: Meski tenda kami hampir disapu ombak, pemandangan berkata lain: Ya. laut sedang cantik-cantiknya.

Karang, siluet pagi, ombak, gugusan bukit, dan cakrawala merupa puisi yang belum sempat tertuliskan

Tapi ada yang lebih penting dari itu, cacing di perut juga sudah mulai berontak. Ya. Kali ini waktunya mie rebus dan kopi pagi ambil bagian.

"Kompor agak rusak, menyalalah"

"Wuush"

Eureka. Kompor menyala. Mie instan kami ceburkan ditambah makanan kaleng sayur asam sebagai campuran. Harum sedap bumbu mulai tercium. Masakan matang. Selamat makan Neptunus!

Dan kita selalu menjadi kanak-kanak di hadapan laut. Berlari, berenang, berteriak, menungu hempasan ombak datang, berguling diatas pasir, berteriak lagi, melompat, tiduran, memandang cakrawala, menarik nafas panjang, membuangnya lepas, menarik nafas lebih panjang lagi, lalu berteriak lepas. Sungguh, laut benar-benar penerima segala.

Kami lalu bersandar di batang-batang pohon besar, yang menjorok ke laut. Menyanyi lagi, menghisap rokok lagi. Lagu 'Anak-anak bukan semen' dan 'Orang-orang di jalanan' semakin matang dimainkan oleh Ridlo.

Kami begitu menikmati suasana itu. Dua anak muda yang percaya bahwa laut akan memberimu semangat yang lebih cadas seperti ombak yang menghantam ganasnya karang sembari kami juga berkontemplasi dengan suara angin, ombak, lagu john lennon, bob dylan, dan rolling stone yang menjadi satu.

Penghujung Agustus dan Laut telah sedikit banyak memberi hadiah kami. Pun kami bernyanyi lagi. Lalu berkemas. Berjalan lagi. Menuju pulang. Sambil mengingat malam lalu masuk kawasan pantai tanpa biaya retribusi, mencari tempat untuk memantapkan lagu, dan nekat besok akan datang ke rumah neptunus lagi. Tentu dengan pantai yang lebih tak terjamah.

Selamat ulang tahun, Laut. Terus mengombak. Terus abadi!


Diketik dengan Hape. Kereta. Menuju Jakarta. Awal september 2016.



Comments

Popular posts from this blog

'Menikah itu Biasa Saja'

/1/. Saya sepertinya akan selalu memikirkan pembuka novel Anna Karenina karangan Leo Tolstoy sampai kapan pun. "Keluarga bahagia, bahagia dengan cara yang sama. Keluarga tidak bahagia, tidak bahagia dengan caranya masing-masing," tulisnya. Dan saya menikah. Mengucap janji di hadapan penghulu, orang tua, saksi, hadirin yang datang, dan tentu saja pacar saya yang menjadi istri saya: Yeni Mutiara. Mungkin aneh. Tapi saya berharap ini biasa saja. Seperti menggubah lagu Efek Rumah Kaca yang dimuat dalam album debut eponimnnya. Ketika rindu, menggebu gebu, kita menunggu Jatuh cinta itu biasa saja. /2/. Saya masih mengingatnya. Tertanggal 4 Maret. Pagi tiba ketika kapal laut mengangkat sauh di selat sunda. Itu kali pertama Abah, Ibuk, Adek, dan Budhe mengalaminya. Kami duduk di ruang terbuka. Mengamati gugusan pulau kecil dengan pepohonan kelapa yang berjejer, seperti lanskap di buku gambar anak-anak. Sesekali kami minum kopi, memakan cemilan, dan meresapi udara se

Kau, Cahaya

Di hadapan pintu kebahagiaan. Kesedihan menyeruak, membawa pedih, menggigilkan tubuh waktu sebelum keberangkatan. Segala yang bernyawa, berujung tiada. Pada keheningan itu, sebelum maut. Nama umat yang kau sebut Seorang penyair melagukannya. Sebatang pohon kurma menangis, tatkala kau pergi. Air matanya luruh melebur embun shubuh. Kesejukan pagi itu, angin yang berhembus di sekitarnya, dan tangis yang belum berhenti, seperti pertanda perasaan kehilangan, yang akan selamanya. Tapi mengapa nama umat yang kau sebut, bukan sorga, juga bukan Tuhan yang menciptakan semuanya, saat kematian itu tiba?  Kau manusia. Mengembala. Berniaga. Bersedih dan bercanda. Dan di hatimu, terbuat dari apa relung sanubari itu, begitu hidup, begitu luasnya. Begitu jernih, menarik semuanya.  Kau yang penuh cinta.  Cahayamu terbit dari kegelapan suatu masa. Pendarnya membuat orang-orang menghampirimu. Bahkan di hari lahirmu, orang yang kelak sangat membencimu, pernah begitu bahagia. Ia haru, ia merdeka

Selamat Ulang Tahun, Istriku

Beberapa puisi ini untukmu.   /1/. Pohon-pohon meranggas di sekujur tubuhnya,  usia dan waktu  berkejaran.  pernah kita memandanginya  di sana-sini  menghitung hari-hari  yang ditinggalkan hujan.  kita terus saja berbicara  menginginkan suatu hari  hanya angin, dingin,  dan luasnya cakrawala.    kau sandarkan kepalamu  di pundakku  tangan kita berpegangan.  Rasanya seperti  menggenggam erat seluruh isi dunia ini.    /2/. Cat yang belum kering  wangi ini akan selalu kuingat  dengan cara terbaik  yang kumiliki.    saat itu, dinding kusam  tubuhnya mengelupas  oleh lupa  dan terabaikan.    kita mengingat suasana  yang kita inginkan  sebelum bulan berganti  dengan penyesalan.    kuas menyapu sekeliling  menghapus kesedihan,  dan dendam  di balik pintu.    perlahan, udara baru  masuk dari ruang tamu  untuk tinggal  dan menetap.    dunia ini bukan ruang tunggu kita memang sengaja diundang  untuk berbahagia.   /3/. Kacamata di atas meja    seringkali aku menemukannya