Skip to main content

SELAMAT HARI BANGKIT, PETANI

/1/
Suatu malam sebelum kelahiran kita hanyalah doa: bersujud pada tanah. Menengadah pada cuaca. Segalanya pun lalu tumbuh: kita menulis di bebatuan dan desau angin: tertanggal dalam ruang. bertempat dalam waktu: sejarah mulai bergerak melaju.

/2/
Petani namaku. Punggungku buku catatan kerja. Cangkulku pusaka sejati. Rumahku tabungan panen raya. Keluargaku sumber kebahagiaan abadi. Selalu kubaca doa itu: Wahai matahari tempatku berharap. Wahai alam raya tempatku menetap. Tak ada tanah yang akan kau pisahkan dari airmu. Tak ada hamba yang akan kau pisahkan dari keseimbangan takdirmu. Peganganku doa. Kerjaku berusaha. Maka di bumi keadilan ini selalu kujunjung kepastian: segala yang benar maka berarti benar. Dan segala yang salah maka berarti salah. Setengah benar berarti tidak benar. Setengah salah maka berarti salah. Semoga hamba selalu dijauhkan dari sikap setengah-setengah.

/3/
Kami lahir dari bangsa batu yang mulai lelah berburu dan membunuh satu sama lain. kami kemudian menanam dan bertukar satu sama lain. Kami kemudian berkelompok satu sama lain dan menjadikan salah satu dari kami sebagai raja. Kami menuruti raja sebagaimana sembah kami pada dewa-dewa. Kami diperbudak satu sama lain. Kami melawan satu sama lain. Tanah-tanah jadi medan laga. Kami berguguran meregang nyawa. Kekayaan akhirnya dimiliki segelintir dari kami saja. Sampai mesin cetak ditemukan. Sampai kereta api bertambah kecepatan. Tanah-tanah kami semakin hilang entah kemana. Dan orang-orang itu semakin bertambah kaya setiap harinya.

/4/
Tapi aku tidak menyebutnya sebagai takdir. Sebab aku adalah petani sejati. Kawanku orang-orang tani. Sungaiku sungai petani. Cuacaku cuaca petani. Harga panenku harga petani. Jika bukan petani, maka ada yang sengaja merubahnya. Ada yang sengaja merusak keseimbangannya. Maka belajar mencari kebenaran adalah tugasku. Karena begitulah caraku bekerja. Seperti halnya mengawasi musim. Seperti halnya mengukur keterulangan dari setiap yang terjadi dibawah terik sinar sang surya.

/5/
Ternyata benar. Beberapa orang itulah yang melahap habis kepunyaan kami. Mereka rebut tanah dan penghidupan kami. Mengadu domba kawan kami. Membohongi kami. Memenjarakan kami. Membodohkan kami. Menjauhkan kami dari apa dan siapa kami sesungguhnya. Kami sekarang tak lagi percaya apa yang mereka bilang untuk pembangunan. Kami sudah terlalu muak atas apa yang mereka gemborkan tentang kesejahteraan.  

/6/
Buktinya semakin banyak kebutuhanku yang tak lagi bisa tercukupi. Hutangku dimana-mana. Pemuda-pemudi semakin tak jelas harapan kerjanya. Aku miskin: iya. Aku menderita: iya. Tapi untuk kalah: aku masih belum.

/7/
Mereka memang terlalu meremehkan kami. Sampai mereka lupa: Semut yang diinjak pasti akan menggigit. Dan kami yang ditindas ini pasti akan melawan dan terus berkali-kali bangkit. Mereka harus diberi pelajaran bagaimana marahnya orang-orang yang lapar dan bagaimana kekuatan orang-orang yang telah lama bersabar. Dari kegagalan kami belajar. Dari kesalahan pun kami juga belajar. Betapa orang yang telah kalian rampas penghidupannya tidak hanya kami: kaum tani. Tapi juga para buruh yang kalian rampas setengah dari hidupnya, para rakyat yang kalian gusur rumah tinggalnya, para pelajar yang kalian rampas kesadarannya, dan para pengusaha kecil yang kalian matikan lahan pasarnya. Dari semua itulah, Barisan keadilan kami bentuk. Semua dari kami sama rata, sama rasa, dan satu tujuan yang sama: mengantarkan kalian semakin dekat pada neraka dan kehancuran yang nyata: ingatlah itu selalu wahai tuan tanah raksasa, tuan modal raksasa, dan kekuasaan yang semena-semena.

/8/
Aku akan selalu mengingat tanggal ini. Tanggal yang akan membuat kami semakin kuat. Tanggal yang akan membuat tekad kami semakin bulat. Bahwa suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, kalian harus tetap dihancurkan. Sebab seperti itulah keniscayaan gerak sejarah berjalan.

/9/
Selamatlah hari bangkit petani, Semoga perjuangan kita: sejati.

Pada Dini hari. Di Sorowajan, Jogja. 24 September 2016

Comments

Popular posts from this blog

'Menikah itu Biasa Saja'

/1/. Saya sepertinya akan selalu memikirkan pembuka novel Anna Karenina karangan Leo Tolstoy sampai kapan pun. "Keluarga bahagia, bahagia dengan cara yang sama. Keluarga tidak bahagia, tidak bahagia dengan caranya masing-masing," tulisnya. Dan saya menikah. Mengucap janji di hadapan penghulu, orang tua, saksi, hadirin yang datang, dan tentu saja pacar saya yang menjadi istri saya: Yeni Mutiara. Mungkin aneh. Tapi saya berharap ini biasa saja. Seperti menggubah lagu Efek Rumah Kaca yang dimuat dalam album debut eponimnnya. Ketika rindu, menggebu gebu, kita menunggu Jatuh cinta itu biasa saja. /2/. Saya masih mengingatnya. Tertanggal 4 Maret. Pagi tiba ketika kapal laut mengangkat sauh di selat sunda. Itu kali pertama Abah, Ibuk, Adek, dan Budhe mengalaminya. Kami duduk di ruang terbuka. Mengamati gugusan pulau kecil dengan pepohonan kelapa yang berjejer, seperti lanskap di buku gambar anak-anak. Sesekali kami minum kopi, memakan cemilan, dan meresapi udara se

Kau, Cahaya

Di hadapan pintu kebahagiaan. Kesedihan menyeruak, membawa pedih, menggigilkan tubuh waktu sebelum keberangkatan. Segala yang bernyawa, berujung tiada. Pada keheningan itu, sebelum maut. Nama umat yang kau sebut Seorang penyair melagukannya. Sebatang pohon kurma menangis, tatkala kau pergi. Air matanya luruh melebur embun shubuh. Kesejukan pagi itu, angin yang berhembus di sekitarnya, dan tangis yang belum berhenti, seperti pertanda perasaan kehilangan, yang akan selamanya. Tapi mengapa nama umat yang kau sebut, bukan sorga, juga bukan Tuhan yang menciptakan semuanya, saat kematian itu tiba?  Kau manusia. Mengembala. Berniaga. Bersedih dan bercanda. Dan di hatimu, terbuat dari apa relung sanubari itu, begitu hidup, begitu luasnya. Begitu jernih, menarik semuanya.  Kau yang penuh cinta.  Cahayamu terbit dari kegelapan suatu masa. Pendarnya membuat orang-orang menghampirimu. Bahkan di hari lahirmu, orang yang kelak sangat membencimu, pernah begitu bahagia. Ia haru, ia merdeka

Selamat Ulang Tahun, Istriku

Beberapa puisi ini untukmu.   /1/. Pohon-pohon meranggas di sekujur tubuhnya,  usia dan waktu  berkejaran.  pernah kita memandanginya  di sana-sini  menghitung hari-hari  yang ditinggalkan hujan.  kita terus saja berbicara  menginginkan suatu hari  hanya angin, dingin,  dan luasnya cakrawala.    kau sandarkan kepalamu  di pundakku  tangan kita berpegangan.  Rasanya seperti  menggenggam erat seluruh isi dunia ini.    /2/. Cat yang belum kering  wangi ini akan selalu kuingat  dengan cara terbaik  yang kumiliki.    saat itu, dinding kusam  tubuhnya mengelupas  oleh lupa  dan terabaikan.    kita mengingat suasana  yang kita inginkan  sebelum bulan berganti  dengan penyesalan.    kuas menyapu sekeliling  menghapus kesedihan,  dan dendam  di balik pintu.    perlahan, udara baru  masuk dari ruang tamu  untuk tinggal  dan menetap.    dunia ini bukan ruang tunggu kita memang sengaja diundang  untuk berbahagia.   /3/. Kacamata di atas meja    seringkali aku menemukannya