Skip to main content

SENJA GURAU DI KOLAM ALAMI UMBUL SAREN

Modelnya seperti bangunan yang tak selesai. Catnya biru. Berbentuk persegi. Berlokasi ditengah hamparan sawah. Ada yang bilang sebenarnya dulu hendak dibangun PDAM tapi warga menolak, lebih baik buat mengairi sawah saja. Dan nampaknya tempat itu bukan daya tarik yang istimewa buat anak-anak kekinian.

Banyak orang yang datang. Lokasinya dikelola parkir masyarakat kampung. Cuma 2000 rupiah. Beberapa kemudian pesan gorengan di satu-satunya warung. Pesan es. Kopi dan jeruk hangat juga.

Lalu di sore yang hampir jatuh itu, kami baru berangkat. Saya, Galih, Irwan, Sungging, Daus, Jarpo, dan Kiteng. Jaraknya kurang lebih 25 menit dari kampus. Dan kami berangkat dengan dua rombongan terpisah. Berniat mandi, melompat tinggi, mengingat keceriaan masa kanak-kanak ketika mandi di kali.

Saya sendiri sebenarnya cukup lama mendengar nama itu dari beberapa kawan dan sepintas browsing di internet. Belum banyak situs internet yang menceritakan tentang tempat itu. Saya pun awalnya pesimis. Tempat itu pasti diramaikan anak-anak muda selfie. Wujud hiburan kelas menengah baru hari ini.

Tapi ternyata kepesimisan saya tidak terbukti. Suasananya damai dan khas desa klasik di kota-kota kecil. Saya sempat lupa kalau saya sedang di jogja. Padahal sumber air yang dinamai Umbul Saren ini tepat berlokasi di desa Wonosari daerah Maguwo, Sleman, Jogja.

Langit pun tipis-tipis mulai menyala merah. Menggaris di cakrawala. Motor sudah kami parkir dan beberapa kawan sudah menunggu disana. 

"Telo. Aku ra gowo katok dewe" 

Yang benar saja, semua kawan sudah siap dengan celana pendek sendiri-sendiri. Sementara saya mengira nanti kita akan mandi berbasah-basahan dengan celana. Tapi apa boleh buat, saya sudah kebelet melompat, maka saya harus mencari celana pendek dengan cepat. 


Awalnya saya bertanya di warung tidak ada, di mas-mas yang menjaga parkir pun demikian. Usaha saya mencari celana pendek yang tertinggal di sekitar kolam pun tak lebih hanya menemukan sampah dan rimbun rerumputan.

"Ikiloh Mas nggone bapak. Engko neg bar dibalekne ya"

Puji Neptunus air tawar. Ibu-ibu penjaga warung menawarkan meminjami celana pendek milik suaminya.

"Suwun, Buk"

Akhirnya kami bersiap. Kolam alami itu begitu menggoda untuk diceburi, terlebih sambil melompat tinggi dari atasnya. Senja itu pun kebetulan orang-orang mulai bergegas pulang, sehingga kolam tak berisi banyak-banyak orang.

"Siji, loro, telu"

"Byurr, Byuurrr, Byyuuuurrrr"

Air kolam memang jernih, alami, dan segar. Sumpah memang segar. Tak ada kaporit, apalagi sampah. Dan dasaran kolamnya pasir. Sehingga air tak mudah berubah menjadi keruh dan kotor, terlebih ujung kaki terasa menyenangkan sekali ketika menyentuh pasir-pasirnya.

Kami tertawa tak karuan. Saat mencoba naik di salah satu bekas bangunam, tapi jatuh terus. Mencoba saling menaiki pundak pun juga sama, jatuh terus. Sampai akhirnya berkat usaha yang tak capek-capek amat, kami bisa. Satu orang, dua orang, tiga orang. Lalu melompat lagi.

"Byyuuurr"

Segar sekali. Sumpah!. Tapi dasar perokok berat yang jarang olah raga. 15 menitan berenang kami langsung ngos-ngosan. Ya. Tapi jangan lupa! kami ini adalah jiwa muda  yang pantang menyerah. Kami melompat lagi, berenang lagi, dan lebih ngos-ngosan lagi tentu saja.

Sampai langit hampir gelap. Nampak Amba dan Vivi dari kejauhan ikut menyusul. Meskipun tidak ikut berenang, tapi saya yakin mereka sedang memastikan keadaan bapak-bapak bandel ini baik-baik saja.

Lalu dengan sisa ngos-ngosan terakhir, kami melompat dan berenang lagi. Sekitar 5 menit, kami kemudian memutuskan keluar dari kolam. Sungguh, saya merasakan nafas ini sudah diujung tanduk.

Di sekitar kolam alami ini pun terdapat tempat berbilas yang childish memory banget. Semacam kamar mandi di udara terbuka. Saya, Galih, dan Irwan mandi dan berbilas disana. Kami tertawa dan saling mengguyur satu sama lain. Ingatan saya terbawa di novel-novel dengan setting tahun 60-an.

Kami masih melanjutkan gurauan diatas kolam yang disemen. Senja benar-benar akan segera menghitam. Berenang dan melompat ke air adalah kenangan penting masa kecil saya. Sejak SD sampai SMP, Sungai benar-benar menjadi sahabat sejati saya dan teman-teman di desa.

Adzan maghrib pun berkumandang, kami segera bergegas pulang. Sore itu sedikit dari kenangan kecil saya cukup terbahagiakan. Saya semakin semangat lagi, meskipun ngos-ngosannya belum juga hilang.

"Iya, Iya. Celana pendeknya sudah saya kembalikan"

Diketik dengan Hape. Kopi Kopas. Dini hari. Minggu awal September 2016

Comments

Popular posts from this blog

'Menikah itu Biasa Saja'

/1/. Saya sepertinya akan selalu memikirkan pembuka novel Anna Karenina karangan Leo Tolstoy sampai kapan pun. "Keluarga bahagia, bahagia dengan cara yang sama. Keluarga tidak bahagia, tidak bahagia dengan caranya masing-masing," tulisnya. Dan saya menikah. Mengucap janji di hadapan penghulu, orang tua, saksi, hadirin yang datang, dan tentu saja pacar saya yang menjadi istri saya: Yeni Mutiara. Mungkin aneh. Tapi saya berharap ini biasa saja. Seperti menggubah lagu Efek Rumah Kaca yang dimuat dalam album debut eponimnnya. Ketika rindu, menggebu gebu, kita menunggu Jatuh cinta itu biasa saja. /2/. Saya masih mengingatnya. Tertanggal 4 Maret. Pagi tiba ketika kapal laut mengangkat sauh di selat sunda. Itu kali pertama Abah, Ibuk, Adek, dan Budhe mengalaminya. Kami duduk di ruang terbuka. Mengamati gugusan pulau kecil dengan pepohonan kelapa yang berjejer, seperti lanskap di buku gambar anak-anak. Sesekali kami minum kopi, memakan cemilan, dan meresapi udara se

Kau, Cahaya

Di hadapan pintu kebahagiaan. Kesedihan menyeruak, membawa pedih, menggigilkan tubuh waktu sebelum keberangkatan. Segala yang bernyawa, berujung tiada. Pada keheningan itu, sebelum maut. Nama umat yang kau sebut Seorang penyair melagukannya. Sebatang pohon kurma menangis, tatkala kau pergi. Air matanya luruh melebur embun shubuh. Kesejukan pagi itu, angin yang berhembus di sekitarnya, dan tangis yang belum berhenti, seperti pertanda perasaan kehilangan, yang akan selamanya. Tapi mengapa nama umat yang kau sebut, bukan sorga, juga bukan Tuhan yang menciptakan semuanya, saat kematian itu tiba?  Kau manusia. Mengembala. Berniaga. Bersedih dan bercanda. Dan di hatimu, terbuat dari apa relung sanubari itu, begitu hidup, begitu luasnya. Begitu jernih, menarik semuanya.  Kau yang penuh cinta.  Cahayamu terbit dari kegelapan suatu masa. Pendarnya membuat orang-orang menghampirimu. Bahkan di hari lahirmu, orang yang kelak sangat membencimu, pernah begitu bahagia. Ia haru, ia merdeka

Selamat Ulang Tahun, Istriku

Beberapa puisi ini untukmu.   /1/. Pohon-pohon meranggas di sekujur tubuhnya,  usia dan waktu  berkejaran.  pernah kita memandanginya  di sana-sini  menghitung hari-hari  yang ditinggalkan hujan.  kita terus saja berbicara  menginginkan suatu hari  hanya angin, dingin,  dan luasnya cakrawala.    kau sandarkan kepalamu  di pundakku  tangan kita berpegangan.  Rasanya seperti  menggenggam erat seluruh isi dunia ini.    /2/. Cat yang belum kering  wangi ini akan selalu kuingat  dengan cara terbaik  yang kumiliki.    saat itu, dinding kusam  tubuhnya mengelupas  oleh lupa  dan terabaikan.    kita mengingat suasana  yang kita inginkan  sebelum bulan berganti  dengan penyesalan.    kuas menyapu sekeliling  menghapus kesedihan,  dan dendam  di balik pintu.    perlahan, udara baru  masuk dari ruang tamu  untuk tinggal  dan menetap.    dunia ini bukan ruang tunggu kita memang sengaja diundang  untuk berbahagia.   /3/. Kacamata di atas meja    seringkali aku menemukannya