Skip to main content

BUKU, DONGENG, DAN HATI-HATI DI JALAN

Dokumen pribadi. Dua buku, 2017

"Kami percaya, semua orang membutuhkan cerita untuk dipercayai."

Sore itu (12/6) untuk pertama kalinya kami mengunjungi perpustakaan Grahatama. Perpustakaan kepunyaan Provinsi DIY. Perpustakaan yang disebut sebagai yang terbesar di seluruh asia tenggara.

Tidak begitu spesial sebenarnya, atau mungkin memang saya yang belum mengenal secara mendalam ruang dan bangunan tersebut. Tapi boleh dibilang koleksi buku dan suasana membacanya menyenangkan.

Kami mencoba memasuki ruang buku langka terlebih dahulu. Buku berbagai bahasa dengan tahun yang lampau memenuhi rak dan almarinya. Tak sedikit bahkan sudah mulai aus dan sulit dibaca. Kami seperti mengunjungi museum di ruangan tersebut. Klasik. Sepi. Tua. Tapi memberikan perenungan.

Tak berselang lama, kami berpindah ke ruang Ensiklopedia.

Amba terlebih dulu masuk dan saya tertahan di luar oleh buku  yang berjudul tentang mitos dan dongeng dari penjuru dunia. Saya menikmati buku tersebut. Beberapa mengisahkan yunani kuno, legenda kuda Troya, dan prajurit hebat dari Rusia.

Saya tiba-tiba teringat masa kecil saya yang sering dibacakan dongeng oleh abah. Cerita Herkules adalah salah satu yang cukup sering dibacakan untuk saya sebelum tidur. Tak jarang juga cerita lain seperti Si Kancil, Dongeng untuk anak muslim, dan legenda nusantara.

Ada satu cerita yang selalu bisa saya ingat. Ceritanya adalah tentang sebuah sekolah agama di timur tengah (mungkin Baghdad) yang mengisahkan suatu pelajaran oleh sang guru dimana murid-murid diberikan waktu dua hari untuk melakukan pekerjaan yang pernah dikerjakan ayah mereka. Catatatannya mereka harus melakukan pekerjaan itu dengan total, ikhlas, dan semangat kebaikan.

Si Fulan yang merupakan salah satu murid kemudian pulang menghadap ibunya untuk bertanya pekerjaan ayahnya sebelum meninggal. Si fulan menjelaskan bahwa pertanyaan tersebut dimaksudkan untuk melakukan tugas dari sang guru.  Namun ibunya diam. Tidak menjawab. Si fulan mengulangi penjelasannya lagi. Ibunya pun diam. Baru setelah dengan sangat memohon dan mengiba, ibunya baru angkat bicara.

"Ayahmu dulu adalah seorang pencuri"

Si fulan terkejut. Namun tugas dari sang guru harus tetap dikerjakannya. Sehingga pada suatu malam, si fulan merencanakan dengan matang untuk menirukan pekerjaan ayahnya dulu. Si fulan telah memilih rumah besar di luar kampungnya untuk dijadikan sasaran. Dia memilih itu karena kampungnya sendiri kondisinya sangat miskin.

Sesampai di rumah besar tersebut, Si fulan membaca doa dan basmalah. Dia ingat petuah gurunya untuk selalu ikhlas dan penuh semangat kebaikan. Tak lama kemudian, Dia berhasil masuk melalui jendela belakang setelah sebelumnya melompati pagar yang cukup tinggi.

Doa-doa terus dibaca melalui mulutnya. Sampai Si fulan menemukan tempat penyimpanan harta dari si pemilik rumah. Dan ditengah suasana sepi tersebut, si fulan teringat dia belum menunaikan shalat isyak. Diambilnya air wudlu terlebih dahulu di kamar mandi pemilik rumah. Suara gemericik air yang mengalir ternyata membangunkan pemilik rumah tersebut.

Lelaki yang sudah cukup tua dan terbangun itu tidak lantas menangkap langsung orang asing di rumahnya. Ia tepatnya mengamati apa yang dilakukan orang tersebut. Si fulan tidak tahu kalau dirinya sedang diawasi. Dia mengerjakan sholat secara tenang yang kemudian ia lanjutkan membongkar simpanan harta si pemilik rumah.

Uang dan emas yang banyak tersebut membuat si Fulan tak jadi langsung mengambilnya. Ia tepatnya mencari kertas dan pena untuk membuat hitungan terlebih dahulu. Iya. hitungan mengenai harta yang harus dizakatkan. Baru kemudian ia ambil sebagian kecil dari harta sisanya

Banyaknya hitungan dan harta itu membuat si Fulan tidak menyadari kalau adzan shubuh akan segera berkumandang. Sebelum itu, si lelaki pemilik rumah berpura-pura membuat suara "ehm ehm" yang mengakibatkan Fulan hampir mencari tempat sembunyi, tetapi saat ia hampir melangkah, ia lebih dulu dihadang si pemilik rumah.

"Tidak usah kabur, aku melihat semua yang kamu kerjakan. Jelaskan padaku apa yang membuatmu melakukan hal tersebut?"

Si Fulan kemudian bercerita tentang perintah gurunya dan perintah untuk ikhlas beserta semangat kebaikan dalam melakukan hal tersebut. Si fulan juga menjelaskan perihal zakat harta yang harus dikeluarkan pemilik rumah. Dan lain-lain.

Si pemilik rumah tersenyum. Ia kemudian mengajak Fulan sholat shubuh berjamaah yang dilanjutkan penawaran dari pemilik rumah untuk Fulan mau menjadi juru hitung di perkebunannya. Dan jika Fulan bersedia juga akan dinikahkan dengan anak perempuan pemilik rumah tersebut.

Dongeng sekali bukan?

Namun harus saya akui, Imajinasi saya cukup terbangun dengan cerita-cerita yang meskipun kelihatannya tidak nyata tersebut. Ini pun juga sama dengan ketika Abah mendongengkan Malin Kundang, Timun Mas, dan Joko Kendil. Semuanya membantu saya sedikit menerka-nerka mana yang baik dan mana yang buruk.

Pramodya Ananta Toer sendiri dalam pengantar 'Cerita Calon Arang' menyebut bahwa Dongeng adalah medium terindah dalam tradisi lisan nusantara. Ia turun temurun dijadikan pembelajaran tentang konsepsi benar dan salah, baik dan buruk, indah dan jelek. Caranya pun adalah dengan yang paling dekat dan akrab dengan masyarakat itu sendiri.

Dan kembali ke perpustakaan Grahatama, Kami berpindah ke ruangan koleksi umum. Buku-buku sastranya banyak. Saya sempat mendapati Novel Nagabumi-nya seno gumira dan Senopati Pamungkas-nya Artswendo dengan edisi lengkap. Amba terlihat asyik membaca novelnya Mark Twain 'Adventures of Huckleberry Finn'. Sedangkan buku yang saya cari belum ketemu. Padahal ruang bagian filsafat sudah saya cari sambil memutari tiga kali, namun Also Sprach Zarathustra-nya Neitschze belum juga ketemu.

Jam hampir pukul Tiga sore. Perpustakaan hampir tutup.

Kami meninggalkan perpustakaan dan langsung bergerak menuju Shopping (toko buku dekat Malioboro). Sebelum sehari lagi mudik, Amba hendak membawakan buku-buku untuk adiknya: Naila. Dan membawakan untuk adik saya juga: Zahra. Total buku yang diborong kurang lebih Delapan.

Buku untuk Naila adalah cerita-cerita dan novel mini untuk usianya yang baru menginjak smp dan buku untuk zahra yang baru kelas 1 sd adalah dongeng-dongeng nusantara dan Si Kancil. Kami percaya, meskipun buku itu sangat sederhana --atau bahkan sia-sia-- semoga tetap saja sedikit banyak memiliki arti. Ya. Minimal mengisi ruang aksara dan imajinasi untuk tetap terjaga di pusaran pesatnya teknologi. Atau mengisi hari-hari senyum mereka. Sebagaimana yang Buya Hamka kayakan, Ikhlas dan sejati akan bertemu di dalam senyuman anak kecil, senyum yang sebenarnya senyum, senyum yang tidak disertai apa-apa.

Dan Hari ini (14/6) Amba mudik. Baru saja saya mengantarnya ke terminal. Pulau seberang tak lama lagi akan dipijaknya. Tempat ia bisa memanggil ibunya sepuasnya.

Saya hanya bisa berpesan "Hati-hati di jalan". Yang itu berarti jangan menerima buah apel dari orang tak dikenal sebagaimana dongeng si jubah merah dan serigala atau putri salju. Bahkan meskipun itu berarti kasihan atau buahnya terlihat menakjubkan.

Karena tahu sendiri kan bagaimana ending kisah putri salju? Saya belum punya kuda untuk berlari kencang ke kotamu. Untuk membangunkan tidurmu. Hehe


Jogja, Pertengahan Juni 2017

Comments

Popular posts from this blog

'Menikah itu Biasa Saja'

/1/. Saya sepertinya akan selalu memikirkan pembuka novel Anna Karenina karangan Leo Tolstoy sampai kapan pun. "Keluarga bahagia, bahagia dengan cara yang sama. Keluarga tidak bahagia, tidak bahagia dengan caranya masing-masing," tulisnya. Dan saya menikah. Mengucap janji di hadapan penghulu, orang tua, saksi, hadirin yang datang, dan tentu saja pacar saya yang menjadi istri saya: Yeni Mutiara. Mungkin aneh. Tapi saya berharap ini biasa saja. Seperti menggubah lagu Efek Rumah Kaca yang dimuat dalam album debut eponimnnya. Ketika rindu, menggebu gebu, kita menunggu Jatuh cinta itu biasa saja. /2/. Saya masih mengingatnya. Tertanggal 4 Maret. Pagi tiba ketika kapal laut mengangkat sauh di selat sunda. Itu kali pertama Abah, Ibuk, Adek, dan Budhe mengalaminya. Kami duduk di ruang terbuka. Mengamati gugusan pulau kecil dengan pepohonan kelapa yang berjejer, seperti lanskap di buku gambar anak-anak. Sesekali kami minum kopi, memakan cemilan, dan meresapi udara se

Kau, Cahaya

Di hadapan pintu kebahagiaan. Kesedihan menyeruak, membawa pedih, menggigilkan tubuh waktu sebelum keberangkatan. Segala yang bernyawa, berujung tiada. Pada keheningan itu, sebelum maut. Nama umat yang kau sebut Seorang penyair melagukannya. Sebatang pohon kurma menangis, tatkala kau pergi. Air matanya luruh melebur embun shubuh. Kesejukan pagi itu, angin yang berhembus di sekitarnya, dan tangis yang belum berhenti, seperti pertanda perasaan kehilangan, yang akan selamanya. Tapi mengapa nama umat yang kau sebut, bukan sorga, juga bukan Tuhan yang menciptakan semuanya, saat kematian itu tiba?  Kau manusia. Mengembala. Berniaga. Bersedih dan bercanda. Dan di hatimu, terbuat dari apa relung sanubari itu, begitu hidup, begitu luasnya. Begitu jernih, menarik semuanya.  Kau yang penuh cinta.  Cahayamu terbit dari kegelapan suatu masa. Pendarnya membuat orang-orang menghampirimu. Bahkan di hari lahirmu, orang yang kelak sangat membencimu, pernah begitu bahagia. Ia haru, ia merdeka

Selamat Ulang Tahun, Istriku

Beberapa puisi ini untukmu.   /1/. Pohon-pohon meranggas di sekujur tubuhnya,  usia dan waktu  berkejaran.  pernah kita memandanginya  di sana-sini  menghitung hari-hari  yang ditinggalkan hujan.  kita terus saja berbicara  menginginkan suatu hari  hanya angin, dingin,  dan luasnya cakrawala.    kau sandarkan kepalamu  di pundakku  tangan kita berpegangan.  Rasanya seperti  menggenggam erat seluruh isi dunia ini.    /2/. Cat yang belum kering  wangi ini akan selalu kuingat  dengan cara terbaik  yang kumiliki.    saat itu, dinding kusam  tubuhnya mengelupas  oleh lupa  dan terabaikan.    kita mengingat suasana  yang kita inginkan  sebelum bulan berganti  dengan penyesalan.    kuas menyapu sekeliling  menghapus kesedihan,  dan dendam  di balik pintu.    perlahan, udara baru  masuk dari ruang tamu  untuk tinggal  dan menetap.    dunia ini bukan ruang tunggu kita memang sengaja diundang  untuk berbahagia.   /3/. Kacamata di atas meja    seringkali aku menemukannya