Skip to main content

JADI, CERITANYA

buat Yeni Mutiara

Usia. Kata Sakhespare, seperti cinta. Tak dapat disembunyikan. Jadi kamu memang harus menyadari benar, Ndel. Kamu semakin tua. Dan iya gitu, tambah tua.

Jogja malam itu sepi. Sepi dalam pengertian saya sendiri tentu saja. Lalu dengan segenap kesepian itu saya bersama kawan bergerak ke kedai kebun. Niat merayakan kesepian bersama musik puisi Ari Reda. Biar gembira.

Gembira sih memang. Tapi meskipun klise, kurang lengkap karena kamu tidak ikut. Saya ingat kita pernah gagal nonton konser ini. Kurang lebih setahun yang lewat. Saat kita tengah bersemangat-semangat niat membeli tiket. Yang tertulis: Sold Out.

Dan beberapa hari yang lalu lewat jejaring facebook, seorang kawan jauh memberitahukan Ari Reda akan menggelar acara mendadak konser di Jogja. Dan sialnya, kamu sudah balik. Iya. Saya lumayan kecewa. Dan kamu: lumayan kecewa banget.

Bukan bermaksud sok romantis. Hanya saja ketika lagu puisi "Di Restoran" dilantunkan, saya ingat kamu sering mendendangkan bait-bait ini di boncengan motor. Lagu puisi favoritmu tentu saja. Dan betapa kemudian lagu puisi "Pada Suatu Hari Nanti" selalu berhasil membawa kita pada refleksi atas sisa hidup dan cinta yang terus menjaga lewat apa saja dari kematian.

Ya. Total kurang lebih 15 lagu puisi dinyanyikan malam itu.

Dan selepas konser, saya sempatkan menghampiri Mbak Reda dan Mas Ari yang sedang membubuhkan tanda tangan untuk buku yang dibawa para penggemarnya.

"Mbak Reda boleh minta ucapannya bentar ya"

"Oke. habis ini ya"

Dan begitulah, Kurang lebih secara sangat singkat video itu terjadi. Hal yang hampir tidak pernah saya lakukan sebelum-sebelumnya.

Kemudian kembali soal umurmu yang bertambah dan berkurang dalam satu waktu ini. Saya teringat pada penulis yang novelnya sempat kamu baca sepintas: Mark Twain. Dia bilang di buku itu juga, "umur adalah harga tertinggi untuk membayar kedewasaan." Nampaknya itu juga bisa diartikan sebagai tantangan seberapa jauh kita mampu untuk membayarnya. Membayar tuntas usia-usia kita. Melewati hal-hal yang belum sempat kita kerjakan untuk kita sesali.

Pokoknya yang jelas, mari terus menjaga kehidupan, sebagaimana jantung. Merawat kehidupan, sebagaimana pohon-pohon. Mari berani jatuh dan bangkit lagi. Jatuh lagi. Berani lagi. Bangkit lagi. Sebagaimana ajaran dunia persilatan bahwa Pendekar yang tangguh menolak mati tanpa perlawanan.

Saya tahu. Saya belum bisa berbuat banyak. Hanya banyak ngomong dan kutip sana-sini. Bahkan, di tulisan yang singkat inipun saya kutipkan satu penggalan percakapan di novel Atheis karangan Adiat K Mihardja,

"Ya, Tin, umur manusia singkat, tapi kemanusiaan lama. Lupakanlah kesedihanmu itu dengan lebih giat lagi bekerja. Bekerja untuk kemanusiaan."


Bojonegoro, 26 Juni 2017

Nb.

1. Jangan lupa. Setiap ulang tahun kita. Selalu ada hak orang tersayang untuk mendapat traktirannya.
2. Masakan juga boleh
3. Jangan lupa beneran loh. Hahaa

Comments

Popular posts from this blog

'Menikah itu Biasa Saja'

/1/. Saya sepertinya akan selalu memikirkan pembuka novel Anna Karenina karangan Leo Tolstoy sampai kapan pun. "Keluarga bahagia, bahagia dengan cara yang sama. Keluarga tidak bahagia, tidak bahagia dengan caranya masing-masing," tulisnya. Dan saya menikah. Mengucap janji di hadapan penghulu, orang tua, saksi, hadirin yang datang, dan tentu saja pacar saya yang menjadi istri saya: Yeni Mutiara. Mungkin aneh. Tapi saya berharap ini biasa saja. Seperti menggubah lagu Efek Rumah Kaca yang dimuat dalam album debut eponimnnya. Ketika rindu, menggebu gebu, kita menunggu Jatuh cinta itu biasa saja. /2/. Saya masih mengingatnya. Tertanggal 4 Maret. Pagi tiba ketika kapal laut mengangkat sauh di selat sunda. Itu kali pertama Abah, Ibuk, Adek, dan Budhe mengalaminya. Kami duduk di ruang terbuka. Mengamati gugusan pulau kecil dengan pepohonan kelapa yang berjejer, seperti lanskap di buku gambar anak-anak. Sesekali kami minum kopi, memakan cemilan, dan meresapi udara se

Kau, Cahaya

Di hadapan pintu kebahagiaan. Kesedihan menyeruak, membawa pedih, menggigilkan tubuh waktu sebelum keberangkatan. Segala yang bernyawa, berujung tiada. Pada keheningan itu, sebelum maut. Nama umat yang kau sebut Seorang penyair melagukannya. Sebatang pohon kurma menangis, tatkala kau pergi. Air matanya luruh melebur embun shubuh. Kesejukan pagi itu, angin yang berhembus di sekitarnya, dan tangis yang belum berhenti, seperti pertanda perasaan kehilangan, yang akan selamanya. Tapi mengapa nama umat yang kau sebut, bukan sorga, juga bukan Tuhan yang menciptakan semuanya, saat kematian itu tiba?  Kau manusia. Mengembala. Berniaga. Bersedih dan bercanda. Dan di hatimu, terbuat dari apa relung sanubari itu, begitu hidup, begitu luasnya. Begitu jernih, menarik semuanya.  Kau yang penuh cinta.  Cahayamu terbit dari kegelapan suatu masa. Pendarnya membuat orang-orang menghampirimu. Bahkan di hari lahirmu, orang yang kelak sangat membencimu, pernah begitu bahagia. Ia haru, ia merdeka

Selamat Ulang Tahun, Istriku

Beberapa puisi ini untukmu.   /1/. Pohon-pohon meranggas di sekujur tubuhnya,  usia dan waktu  berkejaran.  pernah kita memandanginya  di sana-sini  menghitung hari-hari  yang ditinggalkan hujan.  kita terus saja berbicara  menginginkan suatu hari  hanya angin, dingin,  dan luasnya cakrawala.    kau sandarkan kepalamu  di pundakku  tangan kita berpegangan.  Rasanya seperti  menggenggam erat seluruh isi dunia ini.    /2/. Cat yang belum kering  wangi ini akan selalu kuingat  dengan cara terbaik  yang kumiliki.    saat itu, dinding kusam  tubuhnya mengelupas  oleh lupa  dan terabaikan.    kita mengingat suasana  yang kita inginkan  sebelum bulan berganti  dengan penyesalan.    kuas menyapu sekeliling  menghapus kesedihan,  dan dendam  di balik pintu.    perlahan, udara baru  masuk dari ruang tamu  untuk tinggal  dan menetap.    dunia ini bukan ruang tunggu kita memang sengaja diundang  untuk berbahagia.   /3/. Kacamata di atas meja    seringkali aku menemukannya