Skip to main content

MENULIS DAN MEMBACA SEBAGAI USAHA YANG SIA-SIA

Coretan saya. Sia-saya, Juni 2017
Pemuda itu bernama Sifisus. Dia masih saja mendorong batu raksasa ke puncak gunung. Begitu batu menggelinding ke bawah, sifisus mendorong dengan susah payah batu tersebut menuju ke puncak gunung lagi. Lalu menggelinding ke bawah lagi. Sifisus turun. Mendorong lagi ke puncak. Menggelinding ke bawah. Mendorong lagi ke puncak. Turun. Naik lagi. Terus diulang. Tak pernah berhenti.

Kemudian Ekalawya. Pemanah terbaik yang berasal dari kasta sudra itu terus berlatih tak kenal waktu. Kecintaan pada guru Durna membuatnya membaktikan seluruh kemampuannya untuk terus berlatih agar bisa diangkat murid oleh sang guru. Namun Durna telah terikat tugas untuk membuat pemanah terbaiknya adalah Arjuna. Sang guru menolak Ekalawya. Ekalawya tak menyerah. Dia bahkan membuat patung guru Durna untuk membuatnya merasa seakan-akan guru Durna mengawasi dan melatihnya. Sampai kemampuan memanahnya diketahui Durna bahwa itu adalah kemampuan yang bisa melampaui Arjuna. Durna khawatir. Dibuatlah rencana buruk yang strategis. Dimintanya Ekalawya untuk membuat pertimbangan. Durna mau mengangkatnya menjadi murid asalkan ia mau memotong ibu jari tangannya --yang berarti menghilangkan kemampuan memanah terbaiknya. Dan Ekalawya menyanggupi. Ia memotong ibu jari tangannya. Demi menjadi murid. Dan tentu saja. Ia kehilangan kemampuan memanah terbaiknya. Selamanya.

Sungguh, Betapa kisah sifisus dari peradaban yunani kuno dan ekawlaya dari epos mahabharata tersebut menggambarkan ke-sia-sia-an yang tak terampuni. Namun adakah yang lebih sia-sia lagi?

Saya terkadang perlu berfikir ulang. Bahwa segala hal yang nampaknya baik pasti berarti baik adalah belum tentu. Sebut saja ketaatan semacam Sifisus yang nampaknya baik tapi ternyata lebih mirip usaha mengulang hal yang sudah jelas sia-sia. Begitu juga Ekalawya dalam hal ketundukan pada guru yang ternyata mencelakakanya. Menyianyiakannya.

Saya semakin yakin. Hal ini tentu saja sangat berpeluang besar terjadi pada kasus lain.

Seperti halnya membaca. Suatu aktifitas kultural yang disebut sebagai usaha membuka jendela dunia, menyerap ilmu pengetahuan, memperluas wacana, dan segala contoh harapan baik yang lain. Nyatanya adalah aktifitas yang memunculkan kantuk, membuang-buang waktu, dan membuat lupa apa saja yang dibaca. Itupun masih ditambah harga buku yang mahal dan seringkali dijumpai kalimat yang tak bisa dimengerti. 

Atau aktifitas menulis, yang oleh penyair Chairil Anwar sebut karena aktifitas tersebut, 'aku mau hidup seribu tahun lagi'. Juga Pramodya Ananta toer yang dengan sangat mulia menggambarkan bahwa menulis adalah bekerja untuk keabadian. Toh pada kenyataanya, aktifitas menulis sebenarnya memang adalah aktifitas yang tidak mudah. Butuh keahlian khusus. Kesabaran. Itupun belum tentu tulisan kita akan dibaca orang. Memiliki pengaruh. Bisa memicu perubahan. Dan menulis tak jarang berarti usaha yang melelahkan untuk hasil yang seringkali tak sesuai harapan.

Saya teringat kata pengantar di cerpen Puthut EA "Drama itu berkisah terlalu jauh" disebutkan proses kreatif Puthut yang menulis cerpen setiap hari satu buah cerpen selama tujuh bulan penuh untuk kemudian dihapus begitu saja, bukan untuk disimpan ataupun dipubliskan. Si penulis Kata pengantar menyebut itu sebagai upaya Puthut mengukuhkan jalan kepenulisan. Namun, tetap sia-sia sekali, bukan?

Jangan-jangan membaca dan menulis adalah memang perbuatan yang sia-sia. Sehingga kita barangkali dianjurkan untuk tidak terlalu berharap atau bermimpi. 

Dalam hal harapan atau mimpi tersebut, Sukarno mengatakan, "Bermimpilah setinggi langit, jika jatuh engkau akan jatuh diantara bintang-bintang". Menurut tafsiran saya, Sukarno benar sekali. Kita jangan terlalu berharap, sebab kalau jatuh akan sakit. Jatuh diantara bintang-bintang. Dan bintang itu nampaknya bersrtuktur keras dan panas membakar.

Masih mengenai harapan, Leo Tolstoy dalam cerpen legendarisnya, "Tuhan maha tahu, tapi dia menunggu". Saya mengumpamakam Kita seperti dua tokoh utama dalam cerita itu yang melakukan usaha keras untuk saling memberikan hadiah dan akhirnya (Tuhan tahu kedua tokoh itu) gagal. Sia-sia.

Dan setalah saya menimbang-nimbang dan berfikir-fikir cukup keras. Akhirnya saya memutuskan untuk terus melakukan aktifitas membaca dan menulis yang sia-sia tersebut.

"Iya. Saya siap untuk menjadi sia-sia."

Jika toh hasilnya ada manfaat, kebaikan, dan segala nilai positif yang lain,

Itu hanyalah bonus.

Bukankah ada orang bijak mengatakan, "Dia yang lebih siap menghadapi hidup, adalah dia yang selalu siap dengan resiko terburuk"

Dan Puthut, Ekalawya, ataupun Sifisus nampaknya mengerti benar tentang hal tersebut.
        
Jogja, Awal Juni. 2017


Comments

Popular posts from this blog

'Menikah itu Biasa Saja'

/1/. Saya sepertinya akan selalu memikirkan pembuka novel Anna Karenina karangan Leo Tolstoy sampai kapan pun. "Keluarga bahagia, bahagia dengan cara yang sama. Keluarga tidak bahagia, tidak bahagia dengan caranya masing-masing," tulisnya. Dan saya menikah. Mengucap janji di hadapan penghulu, orang tua, saksi, hadirin yang datang, dan tentu saja pacar saya yang menjadi istri saya: Yeni Mutiara. Mungkin aneh. Tapi saya berharap ini biasa saja. Seperti menggubah lagu Efek Rumah Kaca yang dimuat dalam album debut eponimnnya. Ketika rindu, menggebu gebu, kita menunggu Jatuh cinta itu biasa saja. /2/. Saya masih mengingatnya. Tertanggal 4 Maret. Pagi tiba ketika kapal laut mengangkat sauh di selat sunda. Itu kali pertama Abah, Ibuk, Adek, dan Budhe mengalaminya. Kami duduk di ruang terbuka. Mengamati gugusan pulau kecil dengan pepohonan kelapa yang berjejer, seperti lanskap di buku gambar anak-anak. Sesekali kami minum kopi, memakan cemilan, dan meresapi udara se

Kau, Cahaya

Di hadapan pintu kebahagiaan. Kesedihan menyeruak, membawa pedih, menggigilkan tubuh waktu sebelum keberangkatan. Segala yang bernyawa, berujung tiada. Pada keheningan itu, sebelum maut. Nama umat yang kau sebut Seorang penyair melagukannya. Sebatang pohon kurma menangis, tatkala kau pergi. Air matanya luruh melebur embun shubuh. Kesejukan pagi itu, angin yang berhembus di sekitarnya, dan tangis yang belum berhenti, seperti pertanda perasaan kehilangan, yang akan selamanya. Tapi mengapa nama umat yang kau sebut, bukan sorga, juga bukan Tuhan yang menciptakan semuanya, saat kematian itu tiba?  Kau manusia. Mengembala. Berniaga. Bersedih dan bercanda. Dan di hatimu, terbuat dari apa relung sanubari itu, begitu hidup, begitu luasnya. Begitu jernih, menarik semuanya.  Kau yang penuh cinta.  Cahayamu terbit dari kegelapan suatu masa. Pendarnya membuat orang-orang menghampirimu. Bahkan di hari lahirmu, orang yang kelak sangat membencimu, pernah begitu bahagia. Ia haru, ia merdeka

Selamat Ulang Tahun, Istriku

Beberapa puisi ini untukmu.   /1/. Pohon-pohon meranggas di sekujur tubuhnya,  usia dan waktu  berkejaran.  pernah kita memandanginya  di sana-sini  menghitung hari-hari  yang ditinggalkan hujan.  kita terus saja berbicara  menginginkan suatu hari  hanya angin, dingin,  dan luasnya cakrawala.    kau sandarkan kepalamu  di pundakku  tangan kita berpegangan.  Rasanya seperti  menggenggam erat seluruh isi dunia ini.    /2/. Cat yang belum kering  wangi ini akan selalu kuingat  dengan cara terbaik  yang kumiliki.    saat itu, dinding kusam  tubuhnya mengelupas  oleh lupa  dan terabaikan.    kita mengingat suasana  yang kita inginkan  sebelum bulan berganti  dengan penyesalan.    kuas menyapu sekeliling  menghapus kesedihan,  dan dendam  di balik pintu.    perlahan, udara baru  masuk dari ruang tamu  untuk tinggal  dan menetap.    dunia ini bukan ruang tunggu kita memang sengaja diundang  untuk berbahagia.   /3/. Kacamata di atas meja    seringkali aku menemukannya