Skip to main content

SEBUAH KISAH KECIL TENTANG OBROLAN DAN KOPI DI PASAR GENTENG, BANYUWANGI

Warung Mbah Kapi
Warung kopi legendaris ini berdiri sejak tahun 1972. Pendirinya bernama Mbah Kapi. Letaknya berada di lantai dua pasar tradisional kecamatan Genteng. Biasa saja. Hanya memang suasananya lumayan ramai.

Ada dua warung yang ternyata keduanya masih keluarga. Warung makan dan jajanan. Lalu, warung kopi. Iya, hanya kopi. Bukan macam-macam pilihan jenis kopi. Saya menduga itu adalah kopi robusta bubuk yang digiling sendiri. Semua meja disana memesan itu: kopi dengan cangkir kecil putih porselin dengan tutupnya yang khas. Tak lupa juga disediakan sendok kecil. Untuk kopi bisa diaduk lagi.

"Biar lebih mantap"

Ucap seorang bapak paruh baya didepan saya.

Saya dipesankan kopi dengan cangkir cukup besar oleh Mas Farid. Kawannya bilang kalau gelasnya seperti itu untuk orang baru, biar besok datang lagi. Saya mengiyakan saja.

Dan kopinya memang enak. Agak manis dan pahit dengan rasa cukup halus. Khas kopi-kopi di jawa timur. Saya menikmatinya sambil tiba-tiba menjadi nyaman berbincang dengan bapak-bapak yang melingkari meja ini.

"Darimana, Mas?"

"Bojonegoro"

"Wah, minyak ya?"

Lalu suasananya menjadi lebih akrab. Obrolan mulai lebih renyah dan penuh senda gurau. Saya merasakan warung kopi ini berfungsi sebagaimana mestinya: tempat berkumpul semua kalangan tanpa perlu merasa memiliki kepemilikannya sendiri dan tanpa memandang kasta.

"Semua orang berkumpul disini, Bung. Dari saya SMP dulu. Mulai dari DPR, pejabat, preman, sampai pengangguran berkumpul disini. Saya dulu sering begitu, dari pas sekolah dan pas jadi pengangguran, Pesan satu kopi saja dari pagi sampai sore. Itu pun kadang bayarnya setelah satu bulan."

Mas farid bercerita sedikit tentang bagaimana kopi ini memang memiliki banyak makna. Terutama sekali buat dia dan kawan-kawannya.

"Ini warung kopinya juga sudah generasi ke-tiga atau ke-empat gitu, bung. Dan selalu ramai dengan banyak jenis orang."

Saya menyeruput kopi lagi. Enak memang. Dan stiker-stiker di tembok warung kopi membuat saya sedikit penasaran.

"Jadi kalau musim Pilgub, Pileg, atau pemilihan gubernur. Selalu ada orangnya calon yang kesini, sering juga malah calonnya langsung. Ngopi disini. Disini barang tentu banyak jenis orang berkumpul dan tentu saja menjadi titik strategis kampanye. Dan semua orang yang ngopi disini pas kampanye-an gitu ndak usah bayar, karena nanti sudah pasti dibayarin orangnya calon. Dan tak lupa stiker-stiker ditempel. Jadinya ya kayak gitu: macam-macam ada."

Saya mantuk-mantuk saja. Dan pandangan saya kemudian sedikit tergelitik melihat stiker untuk mencoblos calon gubernur jatim tempo lalu. Yang satu bertuliskan : pilih Pakde Karwo, coblos brengose. Dan disamping itu tertempel stiker dari Bu Khofifah dengan tulisan : kalau sudah ada Ibu, kenapa ikut Pakde.

Memang. Propaganda politik rezim hari ini selalu memiliki seninya masing-masing, meskipun tak jarang sangat payah.

Meja kami kemudian semakin ramai. Pak Khalid, sang seniman telah datang. Berkacamata, rambutnya gondrong sebahu, keriting, dan sudah dipenuhi uban.

"Kalau kita ngobrol sama bule, kita harus memandang lekat matanya, meskipun di jawa itu dibilang tidak sopan. Dan mengapa nusron wahid bisa memandang orang juga seperti itu, ya bisa jadi seperti itu, nusron kelamaan di barat. Hahaa... Yassalaaam."

Tawanya khas sekali. Seperti tawa almarhum mbah surip. Dan setiap selesai berkelakar ditutup dengan 'Yassalaam'.

Lengkap sudah meja kami. Ada buruh tambang, manajer bank, bekas juragan emas, preman, seniman, pengangguran, sarjana lulusan seni lukis ISI, dan mahasiswa yang belum kunjung lulus. Semuanya satu tawa.

Kopi saya --yang terhitung lumayan banyak tadi-- hampir tandas. Masih juga rasanya enak yang biasa. Dan kepul rokok berhembus dari setiap penjuru.

Para bapak-bapak ini bergembira sekali. Saling meledek kawannya dengan isu janda, politik, dan kebiasaan sehari-hari.

"Oh iya mas, kalau samean mau belajar atau menggunakan santet, bisa sama orang ini. 25 ribu atau 50 ribu, bisa."

Hahaa. Saya hanya ketawa saja.

"Ini boleh dibilang paling ramainya banyuwangi, ya disini mas"

Saya banyak tertawa dan sesekali menimpali. Kota ini baru pertama saya kunjungi. Rasanya menyenangkan. Meskipun terlalu dini juga untuk disimpulkan.

Dan inilah yang selalu saya suka ketika ngopi di beberapa daerah bukan kota besar. Dalam contoh kali ini: banyuwangi. Iya, Kopinya enak. Dan tentu saja: selalu dapat belajar banyak.

Sementara itu. Dari kejauhan, suara klakson dan dengung kendaraan di jalan raya pasar menderu. Banyuwangi siap memberi pengalaman-pengalaman baru.


Banyuwangi, 26 Agustus 2017

Comments

Popular posts from this blog

'Menikah itu Biasa Saja'

/1/. Saya sepertinya akan selalu memikirkan pembuka novel Anna Karenina karangan Leo Tolstoy sampai kapan pun. "Keluarga bahagia, bahagia dengan cara yang sama. Keluarga tidak bahagia, tidak bahagia dengan caranya masing-masing," tulisnya. Dan saya menikah. Mengucap janji di hadapan penghulu, orang tua, saksi, hadirin yang datang, dan tentu saja pacar saya yang menjadi istri saya: Yeni Mutiara. Mungkin aneh. Tapi saya berharap ini biasa saja. Seperti menggubah lagu Efek Rumah Kaca yang dimuat dalam album debut eponimnnya. Ketika rindu, menggebu gebu, kita menunggu Jatuh cinta itu biasa saja. /2/. Saya masih mengingatnya. Tertanggal 4 Maret. Pagi tiba ketika kapal laut mengangkat sauh di selat sunda. Itu kali pertama Abah, Ibuk, Adek, dan Budhe mengalaminya. Kami duduk di ruang terbuka. Mengamati gugusan pulau kecil dengan pepohonan kelapa yang berjejer, seperti lanskap di buku gambar anak-anak. Sesekali kami minum kopi, memakan cemilan, dan meresapi udara se

Kau, Cahaya

Di hadapan pintu kebahagiaan. Kesedihan menyeruak, membawa pedih, menggigilkan tubuh waktu sebelum keberangkatan. Segala yang bernyawa, berujung tiada. Pada keheningan itu, sebelum maut. Nama umat yang kau sebut Seorang penyair melagukannya. Sebatang pohon kurma menangis, tatkala kau pergi. Air matanya luruh melebur embun shubuh. Kesejukan pagi itu, angin yang berhembus di sekitarnya, dan tangis yang belum berhenti, seperti pertanda perasaan kehilangan, yang akan selamanya. Tapi mengapa nama umat yang kau sebut, bukan sorga, juga bukan Tuhan yang menciptakan semuanya, saat kematian itu tiba?  Kau manusia. Mengembala. Berniaga. Bersedih dan bercanda. Dan di hatimu, terbuat dari apa relung sanubari itu, begitu hidup, begitu luasnya. Begitu jernih, menarik semuanya.  Kau yang penuh cinta.  Cahayamu terbit dari kegelapan suatu masa. Pendarnya membuat orang-orang menghampirimu. Bahkan di hari lahirmu, orang yang kelak sangat membencimu, pernah begitu bahagia. Ia haru, ia merdeka

Selamat Ulang Tahun, Istriku

Beberapa puisi ini untukmu.   /1/. Pohon-pohon meranggas di sekujur tubuhnya,  usia dan waktu  berkejaran.  pernah kita memandanginya  di sana-sini  menghitung hari-hari  yang ditinggalkan hujan.  kita terus saja berbicara  menginginkan suatu hari  hanya angin, dingin,  dan luasnya cakrawala.    kau sandarkan kepalamu  di pundakku  tangan kita berpegangan.  Rasanya seperti  menggenggam erat seluruh isi dunia ini.    /2/. Cat yang belum kering  wangi ini akan selalu kuingat  dengan cara terbaik  yang kumiliki.    saat itu, dinding kusam  tubuhnya mengelupas  oleh lupa  dan terabaikan.    kita mengingat suasana  yang kita inginkan  sebelum bulan berganti  dengan penyesalan.    kuas menyapu sekeliling  menghapus kesedihan,  dan dendam  di balik pintu.    perlahan, udara baru  masuk dari ruang tamu  untuk tinggal  dan menetap.    dunia ini bukan ruang tunggu kita memang sengaja diundang  untuk berbahagia.   /3/. Kacamata di atas meja    seringkali aku menemukannya