Skip to main content

AKHIRNYA, THE SIGIT

Foto kamera hp. Riuh, 2017
Setidaknya itu yang saya rasakan. Iya. Setelah sekian lama gagal menyaksikan konser salah satu band indie tanah air yang sekali lagi menegaskan bahwa rock dan garangnya sebuah lagu adalah sesuatu yang harus selalu ada.


Saya, Amba, Jarpo, dan Maiko berangkat malam itu (9/9). Stadiun Mandala Krida Yogyakarta yang mestinya bisa ditempuh kurang dari 10 menit dari kontrakan tiba-tiba menjadi panjang, jauh, dan tentu saja: macet parah. Barangkali memang benar, tak ada belas kasihan untuk malam minggu di kota ini. Ruas jalannya penuh sesak --seperti mau meledak.

Sesampai di tempar parkir, suara Rekti sudah terdengar samar. Saya dan amba langsung masuk kedalam. Jarpo dan Maiko sudah menunggu disana.

Panggung sudah dipadati penonton. Meskipun boleh dibilang tidak terlalu ramai. Terlihat beberapa baliho rokok gudang garam signature. Acara malam itu bertajuk Music After Hours. Band pengisinya adalah The Sigit dan The Cangcuters. Penggila Rock n Roll sudah barang pasti mendapati surganya di tempat ini.

Distorsi dan efek gitar sudah meraung-raung memanaskan suasana. The Sigit menghajar dengan tempo yang tinggi dan sekaligus terjaga. Beberapa nomer penting di album Detourn, Visible Idea Of Persfiction, dan Heart Of Disleksia menjadi materi pokok konser mereka.

Rekti dkk terlihat gagah dengan senjata pamungkasnya masing-masing. Sound systemnya juga mendukung. Jadilah para Insurgent Army berjingkrak-jingkrak riuh dan sesekali koor panjang bergemuruh.

Kami awalnya menikmati pertunjukan di sebelah sisi kanan panggung. Suasana yang tidak terlalu penuh sesak membuat kami leluasa menyaksikan konser tanpa penghalang dalam mengamati gerak gerik personilnya. Itupun masih ditambah Layar LCD besar yang menampilkan lebih dekat permainan Rekti dengan gitar dan Syhntizer, juga Acil yang menabuh drum, Farri dengan gitar, dan Adit dengan bassnya. Ada satu personil yang terlihat cukup tua dengan gitar, entah dia sedang menggantikan Farri atau memang tambahan disana, saya kok lupa mengamatinya dengan detail.

Sampai lagu "Alright" dibawakan. Suasana menjadi semakin panas. Saya dan Jarpo menerobos ke depan. Ini waktu para lelaki untuk saling dorong, melompat-lompat, berbaring di tangan-tangan yang terangkat keatas, dan tentu saja: mengibaskan rambut gondrong dengan penuh kemerdekaan. Iya, setelah sebelumnya pamitan dengan Amba dan Maiko terlebih dahulu,

"Tunggu disini sebentar ya perempuan kita yang manis, kita akan segera kembali"

Tepat didepan panggung, saya dan Jarpo langsung melebur bersama kawanan barisan jingkrak ria yang sudah lebih dulu disana. Tak berselang lama, lagu "Red Summer" menaikkan tensi lagi. Kami terlempar kesana kemari mengikuti gelombang pasang manusia dan musik yang manunggal. Sesekali mengangkat tubuh untuk dibawa tangan-tangan ajaib berterbangan.

Band rock asal bandung ini sukses bermain dengan total. banyak yang bilang, eksplorasi musiknya terdengar semakin matang. Terbilang dibentuk kelompok dari tahun 1997, lalu diberi nama The SIGIT (The Super Insurgent Group of Intemperance Talent) pada tahun 2002, lalu merilis album, berkembang dan terus berkembang sampai saat ini. Saya benar-benar menikmatinya.

Beberapa lagu pun telah sukses membuat kami berkeringat dan ngos-ngosan. Saya lupa menghitung keseluruhan lagunya. Pokoknya banyak. Sempat ada insiden kecil sebungkus rokok jarpo jatuh dan tidak ditemukan. Juga satu kawan Diving yang mendarat kurang sukses. Tapi apapun itu: The Rocks must go on!

Dan kini tiba saat giliran lagu "Detourn" dengan intro yang khas ambil bagian. Kami rasanya seperti terhipnotis sebentar. Tak lama setelah itu, koor lirik bersamaan digaungkan. Alunan musik yang penuh eksplorasi ini membawa kami seperti arti Detourn(ement) --yang diambil dari bahasa prancis-- itu sendiri, yaitu: pengalihan. Kami seperti teralihkan menuju penjiwaan musikalitasnya yang dalam. Sekaligus bersamaan liriknya yang nihilistik.

The Sigit sendiri, yang saya tahu: dari album Visible Idea of persfiction sampai Detourn mengalami banyak perubahan dari segi musik dan lirik yang lebih sublim. Spirit hard rocknya masih kental dengan aura Led Zeppelin. Eksplorasi nadanya banyak membawa unsur psikedelik belakangan.

Nomor-nomor penting yang sudah dimainkan akhirnya sampai juga di penghujung lagu : "Black Amphlifier" (Lagu cover dari band Rollin 'Road yang melejitkan band ini dan menjadi lagu wajib sekaligus andalannya). Koor kawan-kawan mulai semakin membahana untuk mengikuti versi pelannya terlebih dahulu. Hingga tak berselang lama, versi kerasnya kemudian di-hajar-kan habis-habisan. Seperti menyadari momen penghabisan, eksekusi lagu ini pun harus dibuat sadis dan paripurna. Penonton berjingkrak lagi. Lebih riuh. Permainan gitar dan drum semakin digalakkan. Suara vokal rekti yang khas pun melengking mengimbanginya. Penonton mengikuti repetisi lirik akhir dengan buas. Dan seperti yang bisa ditebak, eksekusi itu berhasil : Cadas, Tuntas, dan Beringas.

Saya dan Jarpo lalu kembali menghampiri Amba dan Maiko. Tentu seperti orang yang habis jogging seharian. Kami lalu duduk agak jauh dari panggung. Beristirahat sebentar. Sembari menunggu dua lagu pembuka dari The Cangcuters dan segera bergegas pulang. Tempo musiknya tentu saja tidak sekencang tadi. Tapi rock n roll memang tak pernah berkhianat. Mereka memiliki sisi cadasnya sendiri-sendiri.

"Kok lagu All The Time gak dimainke The Sigit ya?"

Tiba-tiba Amba bertanya pada saya. Kita memang sedikit mem-favorit-kan lagu ini dari sekian lagu The Sigit yang lain. Bisa jadi lagu itu sudah dibawakan dari awal sebelum kita datang, atau mungkin memang benar sedang tidak dimainkan. Tapi yang lebih penting dari itu semua, lagu itu selalu bermakna lebih,

...
I wanna grow my hair and nails
you up my life
I hope to do change your last
name and be a wife

I wanna share my lungs
All the time
...


Diketik dengan hape. Rumah baca Turunan, Yogyakarta, 10 September 2017


Comments

Popular posts from this blog

'Menikah itu Biasa Saja'

/1/. Saya sepertinya akan selalu memikirkan pembuka novel Anna Karenina karangan Leo Tolstoy sampai kapan pun. "Keluarga bahagia, bahagia dengan cara yang sama. Keluarga tidak bahagia, tidak bahagia dengan caranya masing-masing," tulisnya. Dan saya menikah. Mengucap janji di hadapan penghulu, orang tua, saksi, hadirin yang datang, dan tentu saja pacar saya yang menjadi istri saya: Yeni Mutiara. Mungkin aneh. Tapi saya berharap ini biasa saja. Seperti menggubah lagu Efek Rumah Kaca yang dimuat dalam album debut eponimnnya. Ketika rindu, menggebu gebu, kita menunggu Jatuh cinta itu biasa saja. /2/. Saya masih mengingatnya. Tertanggal 4 Maret. Pagi tiba ketika kapal laut mengangkat sauh di selat sunda. Itu kali pertama Abah, Ibuk, Adek, dan Budhe mengalaminya. Kami duduk di ruang terbuka. Mengamati gugusan pulau kecil dengan pepohonan kelapa yang berjejer, seperti lanskap di buku gambar anak-anak. Sesekali kami minum kopi, memakan cemilan, dan meresapi udara se

Kau, Cahaya

Di hadapan pintu kebahagiaan. Kesedihan menyeruak, membawa pedih, menggigilkan tubuh waktu sebelum keberangkatan. Segala yang bernyawa, berujung tiada. Pada keheningan itu, sebelum maut. Nama umat yang kau sebut Seorang penyair melagukannya. Sebatang pohon kurma menangis, tatkala kau pergi. Air matanya luruh melebur embun shubuh. Kesejukan pagi itu, angin yang berhembus di sekitarnya, dan tangis yang belum berhenti, seperti pertanda perasaan kehilangan, yang akan selamanya. Tapi mengapa nama umat yang kau sebut, bukan sorga, juga bukan Tuhan yang menciptakan semuanya, saat kematian itu tiba?  Kau manusia. Mengembala. Berniaga. Bersedih dan bercanda. Dan di hatimu, terbuat dari apa relung sanubari itu, begitu hidup, begitu luasnya. Begitu jernih, menarik semuanya.  Kau yang penuh cinta.  Cahayamu terbit dari kegelapan suatu masa. Pendarnya membuat orang-orang menghampirimu. Bahkan di hari lahirmu, orang yang kelak sangat membencimu, pernah begitu bahagia. Ia haru, ia merdeka

Selamat Ulang Tahun, Istriku

Beberapa puisi ini untukmu.   /1/. Pohon-pohon meranggas di sekujur tubuhnya,  usia dan waktu  berkejaran.  pernah kita memandanginya  di sana-sini  menghitung hari-hari  yang ditinggalkan hujan.  kita terus saja berbicara  menginginkan suatu hari  hanya angin, dingin,  dan luasnya cakrawala.    kau sandarkan kepalamu  di pundakku  tangan kita berpegangan.  Rasanya seperti  menggenggam erat seluruh isi dunia ini.    /2/. Cat yang belum kering  wangi ini akan selalu kuingat  dengan cara terbaik  yang kumiliki.    saat itu, dinding kusam  tubuhnya mengelupas  oleh lupa  dan terabaikan.    kita mengingat suasana  yang kita inginkan  sebelum bulan berganti  dengan penyesalan.    kuas menyapu sekeliling  menghapus kesedihan,  dan dendam  di balik pintu.    perlahan, udara baru  masuk dari ruang tamu  untuk tinggal  dan menetap.    dunia ini bukan ruang tunggu kita memang sengaja diundang  untuk berbahagia.   /3/. Kacamata di atas meja    seringkali aku menemukannya