Foto pribadi. Bukuku, 2017 |
Hari itu kota sudah cukup gelap. Ia melangkahkan kaki memasuki pekarangan sebuah rumah. Seseorang yang ingin ditemuinya sedang duduk di beranda. Tersenyum.
"Mengapa menulis rasanya susah sekali ya, Kyai?"
"Mungkin anda harus menipu setan?"
"Maksudnya?"
"Jadi kalau saya nulis itu dari awal saya tidak niatkan tulisan saya untuk Allah, untuk agama, untuk kebaikan, dan lain-lain. Justru saya malah niatkan tulisan itu untuk sombong, untuk bisa kaya, dan terkenal. Kalau saya dari awal meniatkannya untuk ibadah, setan akan bersemangat sekali menggoda agar tulisannya tidak jadi-jadi. Lha kalau saya meniatkan dari awal untuk urusan dunia, setan juga akan bersemangat sekali untuk mendukung tulisannya agar segera jadi : untuk urusan yang tidak ada kaitannya dengan ibadah. Baru, ketika tulisan saya jadi. Utuh. Saya kemudian baru meniatkan tulisannya untuk Allah. Dan disini lah, setannya ketipu.
Mendengar jawaban itu, ia tersenyum puas. Ia pandangi seseorang yang bersahaja di depannya. Ada keteduhan di sana.
Iya. Seseorang yang ditemui di beranda itu adalah Kyai Bisri Mustofa. Pengarang karya monumental tafsir al-ibriz. Pengasuh pondok pesantren Raudlatul Thalibin Rembang.
Tidak hanya pandai dalam menulis, Kyai Bisri juga menyemangati santri dan rakyat lingkungan sekitar untuk bersastra dan berkesenian. Kyai Bisri selalu menganjurkan mereka untuk menulis, membaca, dan mengembangkan potensi yang dimilikinya.
Sampai zaman berubah. Tahun, bulan, kelahiran dan kematian pun telah silih berganti. Sampai kita dihadapkan pada satu kondisi dimana aktifitas Literasi semakin dekat dengan keterpurukan. Terabaikan.
Data peringkat literasi dari studi "Most Littered Nation In the World" yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada tahun 2016 itu pun rasanya masih segar, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca. Indonesia persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61). Jauh dibawah Amerika. Jauh juga dibawah Malaysia. Jauh dari cita-cita para pendiri bangsa.
Adapun Karl Marx dalam materialisme historis menyebutkan bahwa bukan kesadaran manusia yang menentukan keadaan mereka, tetapi sebaliknya keadaan sosial mereka lah yang menentukan kesadaran mereka. Jika dilihat-lihat, kondisi di Indonesia tidak lebih demikian, keadaan sosialnya masih banyak yang kemudian membuat jarak antara menulis, buku, dan aktifitas membaca yang berkualitas belum bisa terpenuhi dengan baik.
Dan boleh dibilang, jika dibandingkan kyai Bisri Mustofa, tentu kita masih sangat jauh. Jauh sekali.
Lalu tiba-tiba muncul satu pemikiran yang barangkali bisa kita lakukan, yaitu semacam drama Literasi.
Maksud saya, kita tidak menggemborkan aktifitas Literasi yang selama ini teori dan mekanismenya sebenarnya sudah sangat bagus. Kita hanya berpura-pura saja untuk seperti melakukan aktifitas yang seakan-akan literasi, terkhusus pada persoalan membaca dan menulisnya.
Mula-mula kita pura-pura sering membiasakan membaca buku dengan tekun, meskipun sebenarnya kita tidak terlalu paham dan menikmati isi bukunya, kemudian kita membuat tulisan secara kolektif tentang suatu hal yang kita tidak peduli amat dengan bagus dan tepatnya EYD atau pokok pembahasan yang ditulis. Juga menggelar diskusi bersama tentang suatu tulisan atau buku yang tidak harus bernuansa kritis dan membangun, cukup sebagai wadah berkumpul dan menggosipkan apa saja, tapi yang perlu diingat, jargonnya adalah semangat berliterasi. Oh iya, kutip-kutip quote keren untuk dibuat pamer juga boleh.
Alur drama berikutnya, kita membuat publikasi selebaran atau postingan terkait tulisan kita bersama. Bisa lewat media online atau lembar hardcopy secara langsung kepada orang banyak. Publikasinya tentu tidak harus dengan konsep dan bahasa text atau gambar yang memukau. Cukup asal-asalan saja, yang penting berjalan.
Dan harus diingat, semua harus dilakukan ramai-ramai. Embel-embel semangat literasinya juga jangan lupa. Dan terkait menulis, ini adalah aktifitas yang paling menentukan. Tulislah apa saja sejelek mungkin. Sesering mungkin. Simpan tulisannya dan kalau perlu selalu posting di blog sendiri. Ini adalah usaha tambahan untuk membuat drama literasinya semakin meyakinkan.
Kata kuncinya asal-asalan menulis yang sering, pura-pura membaca dengan tekun yang juga sering, dan mempublikasikan tulisan dengan tidak peduli amat pada kaidah yang semestinya dengan sering juga. Dan semuanya itu dilakukan ramai-ramai dari satu gerombolan sampai banyak gerombolan yang terlibat.
Karena pertunjukan drama yang baik adalah yang bisa membuat banyak orang berfikir itu nyata dan membuat banyak orang juga untuk melakukan apa yang menjadi isian dramanya.
Perlahan, kenyataan sosial baru yang menentukan kesadaran orang-orang akan terbentuk. Kesadaran untuk menguasai peradaban dengan membaca, menulis, berdiskusi, dan berliterasi --yang pada mulanya bertahap dari sedikit sampai yang tak terbendung.
Dan pada akhirnya, menambahkan junjungan kita, Kyai Bisri Mustofa,
"Sebelum kita menipu setan, kita akan menipu diri kita sendiri terlebih dahulu."
Selamat menyaksikan, Salam budaya!
Diketik dengan Hape. Jogja, Akhir Oktober, 2017
(MH Maulana)
Comments
Post a Comment