Foto pribadi. Di sekitar stasiun, 2017 |
Kota ini jauh sekali. Sedikit lagi sudah sampai bali. Hujan juga sering turun. Namun wangi tanahnya sama saja dengan kota-kota lainnya.
Saya berangkat bersamaan dengan banjir dan longsor yang terjadi di pacitan dan jogja. Saya sedih tentu saja. Beberapa kawan di jogja saya hubungi untuk menanyakan kabar dan kemungkinan merespon. Sebagaimana bencana yang sering terjadi, semangat kemanusiaan menjadi sangat tinggi. Banyak sekali organisasi, komunitas, dan lembaga kemanusiaan yang mendedikasikan segala usaha demi meringankan dampak dari akibat pergerakan alam yang membabi-buta.
Bencana kemudian membuat orang bersatu. Tidak terpecah belah seperti pilpres dan pilkada. Tidak ada orang yang berpendapat "Ini banjir Jokowi" dan itu "longsor prabowo", sehingga tidak kita jumpai tidak ada orang yang enggan mengulurkan tangan. Mungkin hanya celetukan "Ini kan momen mereka untuk cari muka". Dan ini biasa saja. Yang terpenting adalah dampak bencana harus segera disikapi dengan tepat guna.
Dan di Banyuwangi, saya akan menjalani rutinitas yang mungkin biasa dan tidak, selama 10 hari lamanya.
Di ketapang tepatnya. Di depan pelabuhan penyebrangan menuju bali. Dan Saya menumpang di rumah Mbak sepupu. Atau mungkin lebih tepat disebut bibi.
Saya tentu sangat merepotkan. Ikut makan, mandi, dan tidur tanpa membayar. Beberapa kali bahkan harus meminjam motor untuk berkendara kemana-mana.
Di keluarga ini saya bahagia. Kedua anak perempuan mbak membuat suasana riang gembira. Sesekali saya mengantar mereka ke sekolah, membeli jajan, dan main bersama. Tentu tak lupa dengan kopi hitam yang seringkali hadir setiap harinya.
Aktifitas saya bolak-balik ke rumah buruh. Belajar bersama. Berdiskusi. Merumuskan rencana. Kita meyakini satu hal, di setiap tempat yang terjadi ketidakadilan, mendiamkan bukanlah sikap yang bijaksana.
Beberapa hal yang tidak bisa didiamkan itu diantaranya: jam kerja berlebih yang tidak pernah mendapat kompensasi, upah yang terlambat, slip gaji yang tidak diberikan, potongan dana yang tidak transparan, dan jaminan kerja yang serba tidak pasti.
Apakah alat produksi harus segera kita kuasai? Tidak, tentu tidak sekonyol itu.
Kami masih belajar cara berdiri yang tidak mudah ambruk, cara berjalan yang tidak mudah jatuh, baru kemudian cara melawan yang tak bisa dikalahkan.
Saya selalu memikirkan resiko terburuk. Semoga dengan itu saya bisa lebih berhati-hati dan tepat menentukan langkah-langkahnya.
Tidak mudah memang, tapi bukan berarti tidak mungkin.
Sesekali saya juga bersilaturrahmi dengan buruh yang lain. Untuk belajar. Untuk berbagi cerita dan pengalaman. Adapun dua keluarga buruh yang membuat saya benar-benar kagum. Istrinya mendukung benar mogok kerja yang dilakukan suaminya yang bekerja di perusahaan BUMN. Tak gentar sedikitpun meski beberapa kali diintimidasi. Tuntutannya memang belum dipenuhi, tapi perjuangan menuju kemerdekaan dan keadilan tak pernah kalah, hanya sementara mengalami kemunduran untuk maju kembali.
Kota ini kemudian harus saya akui memang beberapa kali membawa saya pada kesepian yang terkadang lama dan sebentar. Tapi toh biasa saja. Rasa kangen untuk bertemu pada pacar dan kawan dekat saya rasakan sebagai fitrah manusia yang tidak menghalangi aktifitas (saya belum berani menggunakan kata perjuangan) yang sedang saya jalani.
Hari-hari berlalu. Kota ini saya kira dipenuhi makanan enak. Saya sempat menikmati nasi rujak, rujak soto, pentol kenyal dengan campuran telur dan bumbu kacang, serta masakan buatan mbak yang mengingatkan pada masakan rumah. Mengingatkan saya juga pada Pak bondan Winarno yang belum lama ini meninggal dunia. Jagad kuliner tanah air tentu saja berduka.
Hari berlalu. Saya sempat juga didatangi mahasiswa Jember untuk berdiskusi tentang sebuah gerakan mahasiswa. Semangatnya luar biasa tinggi. Dan saya hanya bisa untuk mengatakan "ayo belajar bersama". Saya beberapa kali menyahut dan merespon. Dan saya dan para mahasiswa itu sepakat bahwa debat intelektual terus menerus, sambil ngopi sampai pagi adalah kegiatan yang kurang baik dilakukan. Saya berpendapat jika terjadi perdebatan yang hanya untuk unjuk kepintaran, lebih baik kita katakan "oke, samean pintar, dan saya bodoh, saya masih perlu belajar"
Kesimpulan diskusi itu : kita akan terus belajar sembari tidak membuat jarak dengan rakyat, terutama rakyat yang rentan ditindas kekuasaan.
Hari berlalu lagi. Ada kabar dari Jogja. Kasus penggusuran kulon progo menjadi-jadi. Videonya sungguh membuat geram siapa saja yang melihatnya. Beberapa kawan mengabari saya bahwa sedang disana. Aparat kepolisian berbuat ngawur, mereka tak memiliki sisi kemanusiaan dalam melakukan pekerjaannya. Kabar terbarunya: 11 kawan ditangkap aparat. Mayoritas saya kenal akrab dengan kawan-kawan itu --yang berjuang tak kenal ampun.
Melihat maraknya kasus penggusuran, saya beranggapan ini akan sangat banyak terjadi lagi. Rezim jokowi-jk memang luar biasa dalam proyek pembangunan dan percepatan Infrakstruktur. Ini saya kira bisa (pendapat ini sangat subjektif dan minim data tentu saja) disiasati dengan gerakan mahasiswa atau ormasy lebih optimal lagi dalam pembangunan basisnya. Baik basis petani, buruh, kaum miskin kota, dan kelompok marjinal lainnya. Tidak melulu turun tangan keroyokan ketika kasus penggusurannya terjadi.
Maksud saya, gerakannya harus dihitung benar. Ada indikator yang bertanggung jawab. Biar tidak mudah kecolongan. Contohnya: peta wilayah rentan penggusuran yang sudah ada datanya itu harus segera didiskusikan bersama gerakan untuk bisa terlibat disana. Bisa lewat pendidikan anak gratis, kesenian, kegiatan ekonomi, ataupun kegiatan kebudayaan lain. Lalu menyatu atau berintegrasi disana, tentu saja sambil melakukan investigasi mendalam terkait gerakan dan edukasi bersama yang bisa dilakukan. Sambil menghubungkan jaringan satu dan yang lain. Sambil melakukan penguatan prinsip dan tujuan bersama. Dan tambahannya: tolong jangan bawa LSM atau organisasi non pemerintah yang dapat dana dari lembaga donor itu masuk dan terlibat disana. Kawan-kawan tahu lah, mencegah selalu lebih baik daripada mengobati.
Dan tentu pendapat ini masih bisa didiskusikan dan dievaluasi lagi kesalahannya.
Dan Hari terus saja berlalu. Saya sebentar lagi pulang dari kota ini. Tugas saya sendiri belum sepenuhnya purna sebenarnya. Tapi saya belajar, bahwa saya masih akan terus belajar dan mengevaluasi apa saja yang telah saya kerjakan.
Apakah saya berwisata? Barangkali iya, wisata manusia. Dari kota ini dan juga kabar dari kota lainnya. Dan barangkali saya memang belum sempat saja mengunjungi tempat-tempat hits di kota ini yang ditawarkan media. Saya merasa kurang srek saja berwisata di tempat hits di tengah aktifitas yang belum usai, atau masih kurang gitu lah untuk disebut cukup.
Dari hari ke hari. Saya menguji diri. Mencoba menulis ini sekali duduk. Mengetiknya dengan hp. Tidak banyak beranjak. Dan seperti ini lah hasilnya.
Saya rasa, ini cara yang cukup baik melawan kesepian dan mengatur emosi untuk lebih terjaga : tidak meledak-ledak dan tidak dipenuhi kegelisahan yang tidak jelas juntrungannya.
Dari hari ke hari. Telah kita lewati. Dan secepatnya kita --iya, kita berdua-- akan segera berjumpa. (boleh dong sesekali menutup tulisan untuk pacar tercinta. Haha!)
Banyuwangi. 20.15 s/d 22.32. Selasa, 5 Desember 2017
*Judul tulisan ini dipinjam dari judul novel karya Mahbub Junaedi.
Comments
Post a Comment