Skip to main content

PERCAKAPAN KELUARGA

Foto pribadi. Bercengkrama, 2017
1.
Istri saya terus mendukung saya, mas
Itu yang membuat saya
Terus bertahan
Sampai hari ini

2.
Malam lewat seperti biasa
Di kota ini
Kopi telah sekian kali diteguk
Tembakau dilinting
Rokok bungkusan sudah hampir habis
Mengisi sela antara percakapan dan nafas sejenak
Diantara orang-orang yang berbicara

3.
Anaknya dua, laki-laki semua
Yang perempuan meninggal sesaat setelah dilahirkan
Anaknya yang laki-laki ketiga lahir sehari sebelum bapaknya berangkat mogok kerja
Istrinya tidak mengenal undang-undang buruh dan teori demonstrasi
Mungkin belum,
Tapi kesabaran dan keyakinannya melampaui anggapan orang pada umumnya

4.
Saya boleh dibilang yang paling tua di tempat kerja
Lelaki disamping bapak tadi ikut bersuara
Tapi saya tidak bisa diam melihat ketidakadilan ini
Istrinya disamping pintu tersenyum
Barangkali keyakinan lebih diperlukan daripada pertanyaan-pertanyaan yang membuat suaminya tidak bisa tidur
Bermalam-malam

5.
Ketapang masih riuh terompet kapal dan obrolan di beranda
Bayi yang berusia 6 bulan itu terlelap
Mungkin sambil mengingat cerita bapaknya yang mungkin belum ia mengerti
Tentang jalan kaki dari bandung ke jakarta
Juga batalyon keamanan yang membuat bapaknya bersiap mati

6.
Saya heran
Kagum
Dan perasaan yang lain-lain
Melihat keluarga ini

7.
Beberapa hari kemarin
Kami meminta pendapat kyai, mas
Beliau bilang
Kalau benar serius
Perjuangan ini harus dilanjutkan
Beliau siap pasang badan
Itu juga
Yang membuat kami lebih yakin kembali
Bersatu memperbaiki barisan
Meskipun belum sepenuhnya utuh
Tapi memang tak ada alasan untuk mundur
dan berhenti begitu saja

8.
Saya menyesap kopi lagi
Rasanya manis
Dan dua pasang suami istri ini mengingatkan saya pada sejarah panjang perlawanan
Rakyat dan penguasa
Dimanapun berada
Dan rakyat yang benar-benar tangguh
Sanggup terus terjaga
: berdiri gagah di antara barisan senjata negara
: berprinsip tegas melawan segala tipu daya
: gigih dan tekun menjalaninya bersama keluarga

9.
Kami ingin terus belajar mas,
Biar tidak mudah dibodohi
Meskipun sudah tua
Kami tak mau besok anak cucu dan generasi penerus bangsa mengalami hal yang sama
Saya terdiam sesaat
Langit banyuwangi terlihat terang
Sesekali nampak bintang-bintang
Saya juga mau belajar pak
Biar saya bisa lebih mengerti keadaan
Dan mengevaluasi perjuangan yang seringkali jarang disiapkan sejak awal
Sebagaimana bangunan,
Pondasi yang tidak baik
Seringkali menjadi penyebab utama dinding yang mudah hancur
Dan ambruk
Meskipun seperti belum saatnya

10.
Percakapan masih berlanjut
Seperti tak ada batas,
Semua terlibat membincangkan perusahaan dan pemerintah
Yang tak pernah merasa cukup
Meraup keuntungan
Padahal buruh telah bekerja melebihi kemampuan
Padahal rakyat telah mengorbankan segala apa yang bisa dilakukan
Mengapa tak segera sadar?
Mereka memaki dengan kesal
Dan di suatu tempat yang entah,
Pemilik pabrik sedang resah
Karena produksinya berlimpah
Dan pasar tak sanggup menerima semuanya
Pabrik saingannya pun demikian
Juga mengalami hal itu
Lalu ia berpikir cara menjadi penguasa wilayah
Yang bisa mengeluarkan kebijakan untuk melindungi industrinya
Menjamin keberlangsungan untuk selamat dari musuh-musuhnya

11.
Jam semakin mendekati tengah malam
Kita terus saja berbicara
sampai larut
Dan kami semua menyadari tiga hal
Pertama, percakapan harus diakhiri
Kedua, penindasan masih saja terjadi
Ketiga, kita akan saling berpamitan untuk pulang dan bertemu kembali
Lalu perlahan, belajar menyusun barisan dan pondasi yang sejati


Banyuwangi, November - Desember 2017


Comments

Popular posts from this blog

'Menikah itu Biasa Saja'

/1/. Saya sepertinya akan selalu memikirkan pembuka novel Anna Karenina karangan Leo Tolstoy sampai kapan pun. "Keluarga bahagia, bahagia dengan cara yang sama. Keluarga tidak bahagia, tidak bahagia dengan caranya masing-masing," tulisnya. Dan saya menikah. Mengucap janji di hadapan penghulu, orang tua, saksi, hadirin yang datang, dan tentu saja pacar saya yang menjadi istri saya: Yeni Mutiara. Mungkin aneh. Tapi saya berharap ini biasa saja. Seperti menggubah lagu Efek Rumah Kaca yang dimuat dalam album debut eponimnnya. Ketika rindu, menggebu gebu, kita menunggu Jatuh cinta itu biasa saja. /2/. Saya masih mengingatnya. Tertanggal 4 Maret. Pagi tiba ketika kapal laut mengangkat sauh di selat sunda. Itu kali pertama Abah, Ibuk, Adek, dan Budhe mengalaminya. Kami duduk di ruang terbuka. Mengamati gugusan pulau kecil dengan pepohonan kelapa yang berjejer, seperti lanskap di buku gambar anak-anak. Sesekali kami minum kopi, memakan cemilan, dan meresapi udara se

Kau, Cahaya

Di hadapan pintu kebahagiaan. Kesedihan menyeruak, membawa pedih, menggigilkan tubuh waktu sebelum keberangkatan. Segala yang bernyawa, berujung tiada. Pada keheningan itu, sebelum maut. Nama umat yang kau sebut Seorang penyair melagukannya. Sebatang pohon kurma menangis, tatkala kau pergi. Air matanya luruh melebur embun shubuh. Kesejukan pagi itu, angin yang berhembus di sekitarnya, dan tangis yang belum berhenti, seperti pertanda perasaan kehilangan, yang akan selamanya. Tapi mengapa nama umat yang kau sebut, bukan sorga, juga bukan Tuhan yang menciptakan semuanya, saat kematian itu tiba?  Kau manusia. Mengembala. Berniaga. Bersedih dan bercanda. Dan di hatimu, terbuat dari apa relung sanubari itu, begitu hidup, begitu luasnya. Begitu jernih, menarik semuanya.  Kau yang penuh cinta.  Cahayamu terbit dari kegelapan suatu masa. Pendarnya membuat orang-orang menghampirimu. Bahkan di hari lahirmu, orang yang kelak sangat membencimu, pernah begitu bahagia. Ia haru, ia merdeka

Selamat Ulang Tahun, Istriku

Beberapa puisi ini untukmu.   /1/. Pohon-pohon meranggas di sekujur tubuhnya,  usia dan waktu  berkejaran.  pernah kita memandanginya  di sana-sini  menghitung hari-hari  yang ditinggalkan hujan.  kita terus saja berbicara  menginginkan suatu hari  hanya angin, dingin,  dan luasnya cakrawala.    kau sandarkan kepalamu  di pundakku  tangan kita berpegangan.  Rasanya seperti  menggenggam erat seluruh isi dunia ini.    /2/. Cat yang belum kering  wangi ini akan selalu kuingat  dengan cara terbaik  yang kumiliki.    saat itu, dinding kusam  tubuhnya mengelupas  oleh lupa  dan terabaikan.    kita mengingat suasana  yang kita inginkan  sebelum bulan berganti  dengan penyesalan.    kuas menyapu sekeliling  menghapus kesedihan,  dan dendam  di balik pintu.    perlahan, udara baru  masuk dari ruang tamu  untuk tinggal  dan menetap.    dunia ini bukan ruang tunggu kita memang sengaja diundang  untuk berbahagia.   /3/. Kacamata di atas meja    seringkali aku menemukannya