Skip to main content

BAKSO RAHAYU

Bakso rahayu, dokumen pribadi, 2018
Terlihat sedikit banyak berubah, begitulah pemandangan awalnya. Gerobak dan beberapa pasang meja kursinya memang masih sama, namun kini ada penambahan meja dan kursi yang menjorok ke dalam. Nampak bahwa usaha bakso ini selain memang bertahan, adalah : berkembang.

Pesanan kami datang. Saya melihat ada yang berbeda dari sekian tahun sebelumnya. Yaitu adanya satu bakso agak besar yang disandingkan dengan dua bakso kecil. Padahal dulu. Iya, sejak dulu sekali, menunya adalah tiga bakso kecil yang entah mengapa, selalu saja seperti itu. Padahal pedagang bakso di banyak tempat sudah berinovasi dengan campuran mie ayam, bihun yang tebal, tahu bakso, dan pangsit bermodel kuncup bunga.

Perkenalan saya dengan bakso rahayu sendiri boleh dibilang menyenangkan dan kini berubah menjadi cukup sentimentil. Dulu, dulu sekali, sejak di sekolah dasar, ketika saya sakit demam dan sejenisnya, almarhum mbahbuk (panggilan saya untuk nenek), selalu mengajak saya mampir ke bakso rahayu setelah berobat di dokter. Kami biasanya membungkus untuk dibawa pulang. Setelah memakannya di rumah, minum obat, tahu-tahu besoknya saya biasanya langsung sembuh. Sering sekali seperti itu.

"Rasa baksonya dari dulu sampai sekarang selalu saja: luhur"

Begitu ucap saya pada kawan. Pada pagi yang akan segera hujan di bulan juni. Mengutip percakapan Sungu Lembu di novel Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi.

Kira-kira deskripsi baksonya seperti ini: kuahnya dari saya masih sekolah dasar masih sama. Kaldu daging sapi yang dicampur bawang, sledri, dan rempah lainnnya direbus bersamaan. Tidak dipisahkan sebagaimana bakso lain. Sungguh aroma dan rasanya sedap sekali. Lalu, baksonya benar-benar lembut, benar-benar rasa yang lezat setiap kali kita mengunyahnya. Lezat yang teramat lezat. Selalu saja seperti itu. Termasuk bakso yang cukup besar juga. Boleh dibilang, terasa tajam sekali dagingnya yang membahagiakan. Sekali lagi ya, terasa sekali lembut dagingnya yang membahagiakan. Tidak ada pelengkap lain, seperti tahu, pangsit, mie kuning, dan bihun. Singkatnya, inilah Bakso yang utuh dan purna: Bakso yang indah tanpa banyak bicara.

Saya teringat George Bernard Shaw pernah bilang,

"Tak ada cinta yang lebih tulus daripada cinta pada makanan."

Saya tahu Shaw cukup berlebihan. Bagi saya cinta pada makanan --terutama bakso rahayu itu-- memang penting, tapi mencintai yang lain seharusnya juga tak kalah penting. Meskipun pada yang lain lainnya lagi: biasa saja.

Barangkali saya kemudian akan berucap terimakasih pada pria dari abad ke-17 dari dataran tiongkok yang telah menemukan makanan yang kemudian hari dinamai dengan bakso tersebut. Menurut satu cerita, namanya Meng Bo. Ia hanya tinggal bersama ibunya yang renta dan giginya sudah tak sekuat dahulu. Dan demi agar ibunya bisa makan daging lagi, ia mengembangkan daging yang coba ditumbuk halus seperti tetangganya yang membuat mochi dari beras. Ia berhasil membuat bulatan dari daging yang telah hancur itu. Ibunya bahagia tentu saja. Bahagia yang teramat sangat sepertinya. Percobaanya berhasil dan ditiru tetangga sekitarnya. Desa kecil bernama Fuzhou kemudian menjadi sejarah.

Dalam novel Perempuan Bernama Arjuna 2 yang ditulis Remy Slado disebutkan bahwa kata 'Bak' sebenarnya merujuk pada makanan Tiongkok yang diolah dari daging babi sedang dan 'So' adalah penyebutan untuk suatu jenis makanan. Bakso akhirnya berkompromi dengan tradisi Indonesia. Dagingnya mayoritas berasal dari sapi. Meskipun dari daging binatang lain juga ada, termasuk babi sedang itu sendiri.

"Baksonya benar-benar enak, Sen."

Kawan saya mengulang beberapa kali pernyataan itu setelah mengunyah bulatan bakso yang tinggal separuh terakhir di mangkoknya. Saya manggut-manggut saja.

Pagi itu. Dusun Bayeman yang masih masuk wilayah Baureno kabupaten Bojonegoro terasa haru dan bahagia. Tepat 40 hari setelah mbahbuk meninggal saya memakan bakso terenak itu lagi --bakso yang dikenalkannya sejak saya kecil.

Saya meresapi benar setiap momen bahagia itu. Bagaimana sepulang dari pasar, mbahbuk masih sering membungkuskan saya bakso rahayu itu untuk dimakan di rumah. Biasanya dilengkapi juga dengan es degan. Mbahbuk yang begitu menyayangi cucunya dan tak sempat melihatnya potong rambut di saat-saat terakhir. Saya sedih sekali jika mengingat ini.

Dan hari ini tadi selepas shalat jumat, saya bertandang ke makam mbah buk, mbahkung, dan mbah buyut. Setelah membacakan tahlil dan doa, saya berbicara diatas pusaranya --pusara mbahbuk-- bahwa:

"Bakso rahayu sedikit berubah mbahbuk. harganya sekarang cukup mahal, tapi rasanya masih sama. Teramat sangat enak sebagaimana sedia kala. Semoga di sorga juga ada."
Suasana pagi Bakso rahayu, dokumen pribadi, 2018

Bojonegoro, Minggu Akhir Juni 2018

Comments

Popular posts from this blog

Marathon Pertama, Akhirnya

Langit masih gelap. Ribuan orang berbondong-bondong mengenakan pakaian yang semarak dan outfit lari yang lengkap. Mereka semua, dan saya juga, ini rasa-rasanya termasuk sebagian besar orang-orang yang rela tidur sebentar, menempuh perjalanan jauh, berlatih cukup keras, berharap-harap cemas saat undian acak kelolosan, dan mengeluarkan biaya untuk menyakiti diri sendiri demi berlari puluhan kilometer.  Saya berjalan beriringan bersama yang lain menuju garis start. Ada suasana haru, merinding, cemas, bangga, bahagia, dan semangat yang bercampur di sana, seperti potongan perasaan yang melebur halus dan lembut dalam blender jiwa. Sembari melewati jalanan aspal di kompleks candi, rindang pepohonan, dan basah rerumputan setelah hujan, saya mencoba mengingat bagaimana ini semua dimulai.  Saat itu, akhir tahun 2022. Saya mencoba berlari menggunakan aplikasi pengukur waktu, jarak, dan kecepatan dari Nike. Sebelumnya, setelah saya mengalami gejala covid-19 dan mengisolasi diri dua minggu...
PETILASAN ANGLING DHARMA DAN NYAI AMBARWATI Oleh MH Maulana             Desa Bendo, kecamatan Kapas, Bojonegoro menyimpan sebuah tempat unik, mistik, damai, sekaligus kaya sejarah. Tepatnya di sisi waduk Bendo. disana terdapat sebuah tempat Pamoksaan dan petilasan prabu angling dharma da nyai ambarwati. Sebuah tempat menyerupai labirin dengan hiasan batu-batu dan atap dari ilalang kering membuat suasana petilasan terasa rindang dan tenang. Selain itu disisi petilasan ini terdapat waduk bendo yang merupakan tempat pemancingan gratis dengan pemancing yang tak pernah sepi tiap harinya.             Menurut keterangan juru kunci, pak ali. tempat petilasan ini dulunya adalah tempat dimana prabu angling dharma bertemu pertama kali dengan nyai ambarwati dan saling menumbuhkan benih-benih cinta. Selain itu terdapat pula pohon bambu lumayan tinggi yang dipakai sebagai rumah poh...

'Menikah itu Biasa Saja'

/1/. Saya sepertinya akan selalu memikirkan pembuka novel Anna Karenina karangan Leo Tolstoy sampai kapan pun. "Keluarga bahagia, bahagia dengan cara yang sama. Keluarga tidak bahagia, tidak bahagia dengan caranya masing-masing," tulisnya. Dan saya menikah. Mengucap janji di hadapan penghulu, orang tua, saksi, hadirin yang datang, dan tentu saja pacar saya yang menjadi istri saya: Yeni Mutiara. Mungkin aneh. Tapi saya berharap ini biasa saja. Seperti menggubah lagu Efek Rumah Kaca yang dimuat dalam album debut eponimnnya. Ketika rindu, menggebu gebu, kita menunggu Jatuh cinta itu biasa saja. /2/. Saya masih mengingatnya. Tertanggal 4 Maret. Pagi tiba ketika kapal laut mengangkat sauh di selat sunda. Itu kali pertama Abah, Ibuk, Adek, dan Budhe mengalaminya. Kami duduk di ruang terbuka. Mengamati gugusan pulau kecil dengan pepohonan kelapa yang berjejer, seperti lanskap di buku gambar anak-anak. Sesekali kami minum kopi, memakan cemilan, dan meresapi udara se...