Instagram.com/ringwoloe |
Bisa iya, bisa tidak. Yang pasti, sejak nama band itu dipanggil. penonton yang sudah crowded sejak band sebelumnya semakin mendapatkan pamungkasnya pertunjukan. Dan seperti bisa ditebak: tepuk tangan langsung bergemuruh.
Halaman salah satu kampus malam itu cukup basah setelah hujan. Hawa sejuknya menguar. Penonton yang kebanyakan dari organisaai mahasiswa itu pun serasa mendapatkan suasana terbaik untuk larut dalam irama dan lagu-lagu dari pengisi acara utamanya.
Lima lagu yang sudah disiapkan dari latihan dan telah melewati beberapa panggung itu disuguhkan dengan epik dan total.
Semua terlihat menikmati permainan musiknya. Bisa dilihat, bahwa jam terbangnya memang sudah tinggi.
Dandanan mereka juga nampak santai. Tak ada aksesoris mencolok. Tak ada gaya pakaian yang biasanya menjadi idenditas jenis musik yang mereka bawakan. Saya percaya, bahwa band ini memang fokus pada penampilan musik dan semangat pesan dalam liriknya. Bukan kulit semata.
Sang vokalis sendiri menegaskan hal tersebut,
"Musik adalah tentang feel, bukan hanya tentang gaya"
Selebihnya almanak mencatat. Nama band itu: Ring Woloe. Kolektif reggae yang bersahaja.
2.
Empat tahun yang lalu. Saya membayangkan gerombolan anak muda itu gelisah. Dihisapnya rokok berkali-kali. Ruang kontrakan yang sudah sesak itu semakin penuh oleh asap putih yang membumbung. Tiba-tiba satu suara memecahkan kebisuan,
"Kita harus membuat sebuah band"
Dan sejarah mencatat peristiwa-peristiwa itu. Hari-haru mereka lewati dengan berlatih. Ganti-tambah personil. Patungan membeli nasi bungkus dan menyewa studio. Mereka belajar saling melengkapi kelemahan satu sama lain. Menjadi dekat. Akrab. Mereka adalah barangkali apa yang gitaris Led zeppelin, Jimmy Page sebut sebagai saling mengenali satu sama lain melalui musik: bersambung harmoni dan melengkapi dalam irama.
Tapi sejarah memiliki sisi yang lain. Bisa gelap. Bisa cahaya semu yang memabukkan. Bisa juga: tanda tanya.
Empat tahun bagi sebuah band adalah usia yang cukup rawan. Ada yang gelisah untuk segera rilis album, ada yang mulai bertanya risau dengan jam manggung yang begitu padat, ada yang bersiap dengan warna dan inovasi baru, atau ada juga yang seperti band banda neira: bubar di tengah performa terbaiknya.
3.
Bagi saya, ring woloe tak lain tak bukan ialah doa. Ia digambarkan oleh personil band dengan simbol ring roda motor vespa. Harapanya akan terus melaju. Laiknya band rolling stone. Semakin tua, semakin berumur, terus menggelinding, dan senantiasa menolak renta.
Selebihnya, saya memang cukup akrab dengan kolektif ini. Beberapa memang baru sebatas nama. Mereka ialah Reza pada vocal, Yoga penggebuk drum, Rista pencabik bass, Leo penyayat gitar, irsyad juga gitar, Redo penabuh perkusi, dan Icang pemijat keyboard. Mereka mungkin sudah seperti program wajib pemerintah kita: keluarga bahagia.
Adapun keluarga bahagia, kata leo tolstoy dalam novel anna karenina, mirip satu dengan yang lainnya, sedangkan keluarga tidak bahagia, tidak bahagia dengan caranya masing-masing.
4.
Sudah sekian lagu mereka luncurkan. Bisa dibilang sangat cukup untuk dijadikan album. Merangkum narasi, menangkap peristiwa, dan siap diterbangkan dalam ruang kebudayaan bernama kehidupan yang sementara. Tapi nyatanya memang belum, atau boleh jadi: hampir.
"Ring woloe pokonya harus bikin album. Titik." Kira-kira begitulah teriakan penggemarnnya
Secara pribadi, saya suka band ini. Mereka bermain apik. Musiknya enak, dan liriknya punya daya sentuh yang telak. Apalagi menyoal nihilisme manusia di lagu siuman, merangkul dan menguatkan yang terpinggirkan lewat lagu air mata, dan tentu saja: lagu sahabat. Satu-satunya lagu mereka yang tidak 'reggae' dan mengandung misteri. Haha.
Oh iya. Keberpihakan mereka juga patut diapresiasi. Situasi kritis atas keadaan sosial mengiringi langkah mereka. Ada yang bernyanyi. Ada pula yang turun ke jalan. Mereka pun tak melulu soal musik, mereka bekerja beraneka rupa, menghadapi resiko, menghadapi segala hal yang tiba-tiba. Mereka seakan tahu benar pernyataan itu: hidup yang tak diuji adalah hidup yang tak layak dijalani.
Empat tahun dalam tangis, empat tahun dalam tawa. Mereka tentu tak layak meninggalkan pondasi yang telah dibangun itu begitu saja. Dan waktu. Ia tak menunggu, ia terus melaju.
Tepat tak berselang lama lagi panggung itu akan digelar. Saya harus mengusahakan hadir disana. Namun, saya juga ingin membayangkan mereka sebelum hari itu tiba. Mungkin di warung itu. Beberapa berkumpul tertawa. Lalu sejenak terdiam. Tenggelam dalam pikiran masing-masing. Mata mereka menerawang jauh. Mungkin mengenang yang telah lewat. Mungkin juga menebak apa yang akan terjadi esok hari. Panggung-panggung yang jauh, ruang studio yang berganti-ganti, pertengkaran-pertengkaran kecil yang menggelikan, asap rokok, benturan jadual, masa kuliah yang lucu, perempuan-perempuan itu, bahkan juga tuhan.
Mereka mungkin lalu saling memandang masing-masing. Kembali bersikap biasa. Tapi di benak mereka dan saya masih juga memikirkan sesuatu yang benar-benar susah dimengerti. Tentang perkataan Karl Marx itu,
"Sejarah terulang, pertama sebagai tragedi. Kedua, sebagai sesuatu yang absurd."
Entahlah. Mari mainkan lagi saja musikmu, ring woloe. Jadikan albummu, dan semestinya: sejarah akan terus melaju.
Panjang umur musik keabadian. Sampai bertemu di perjumpaan!
Yogyakarta, Desember 2018
Comments
Post a Comment